Subjek dakwah ialah orang yang melakukan dakwah, yaitu
orang yang berusaha mengubah situasi kepada situasi yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Allah Swt, baik secara individu maupun
berbentuk kelompok (organisasi), sekaligus sebagai pemberi
informasi dan pembawa missi (Anshari, 1993: 105).
Menurut Helmy
(1973: 47) subjek dakwah adalah orang yang melaksanakan tugas-
tugas dakwah, orang itu disebut da'i, atau mubaligh.
Kata da'i ini secara umum sering disebut dengan sebutan
mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran Islam) namun
sebenarnya sebutan ini konotasinya sangat sempit karena masyarakat
umum cenderung mengartikan sebagai orang yang menyampaikan
ajaran Islam melalui lisan seperti penceramah agama, khatib (orang
yang berkhutbah), dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut terdapat pengertian para
pakar dalam bidang dakwah, yaitu:
1. Hasjmy, juru dakwah adalah para penasihat, para pemimpin dan
pemberi periingatan, yang memberi nasihat dengan baik, yang
mengarang dan berkhutbah, yang memusatkan kegiatan jiwa
raganya dalam wa'ad dan wa’id(berita pahala dan berita siksa)
dan dalam membicarakan tentang kampung akhirat untuk
melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia
(Hasymi, 1984: 186).
2. M. Natsir, pembawa dakwah merupakan orang yang
memperingatkan atau memanggil supaya memilih, yaitu
memilih jalan yang membawa pada keuntungan (Natsir, tth:
119).
Dalam kegiatan dakwah peranan da'i sangatlah esensial,
sebab tanpa da'i ajaran Islam hanyalah ideologi yang tidak terwujud
dalam kehidupan masyarakat. "Biar bagaimanapun baiknya ideologi
Islam yang harus disebarkan di masyarakat, ia akan tetap sebagai
ide, ia akan tetap sebagai cita-cita yang tidak terwujud jika tidak ada
manusia yang menyebarkannya" (Ya'qub, 1981: 37).
Da'i merupakan orang yang melakukan dakwah, yaitu orang
yang berusaha mengubah situasi yang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Allah SWT, baik secara individu maupun berbentuk
kelompok (organisasi). Sekaligus sebagai pemberi informasi dan
missi. Pada prinsipnya setiap muslim atau muslimat berkewajiban
berdakwah, melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Jadi mustinya
setiap muslim itu hendaknya pula menjadi da’i karena sudah menjadi
kewajiban baginya.
Sungguhpun demikian, sudah barang tentu tidak mudah
berdakwah dengan baik dan sempurna, karena pengetahuan dan
kesanggupan setiap orang berbeda-beda pula. Namun bagaimanapun,
mereka wajib berdakwah menurut ukuran kesanggupan dan
pengetahuan yang dimilikinya.
Sejalan dengan keterangan tersebut, yang berperan sebagai
muballigh dalam berdakwah dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Secara umum; adalah setiap muslim atau muslimat yang
mukallaf, dimana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan
suatu yang melekat tidak terpisahkan dari missionnya sebagai
penganut Islam.
2. Secara khusus; adalah mereka yang mengambil keahlian khusus
(mutakhassis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan
ulama (Tasmara, 1997: 41-42)
Anwar Masy'ari (1993: 15-29)dalam bukunya yang berjudul:
"Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah" menyatakan, syarat-
syarat seorang da'i harus memiliki keadaan khusus yang merupakan
syarat baginya agar dapat mencapai sasaran dan tujuan dakwah
dengan sebaik-baiknya.
Syarat-syarat itu ialah:
Pertama, mempunyai pengetahuan agama secara mendalam,
berkemampuan untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan
keterangan yang memuaskan.
Syarat kedua, yaitu tampak .pada diri da'i
keinginan/kegemaran untuk melaksanakan tugas-tugas dakwah dan
penyuluhan semata-mata untuk mendapatkan keridaan Allah dan
demi perjuangan di jalan yang diridhainya.
Syarat ketiga, harus mempelajari bahasa penduduk dari suatu
negeri, kepada siapa dakwah itu akan dilancarkan. Sebabnya dakwah
baru akan berhasil bilamana da'i memahami dan menguasai prinsip-
prinsip ajaran Islam dan punya kemampuan untuk
menyampaikannya dengan bahasa lain yang diperlukan, sesuai
dengan kemampuannya tadi.
Harus mempelajari jiwa penduduk dan alam lingkungan
mereka, agar kita dapat menggunakan susunan dan gaya bahasa yang
dipahami oleh mereka, dan dengan cara-cara yang berkenan di hati
para pendengar. Sudahlah jelas bahwa untuk setiap sikon ada kata-
kata dan ucapan yang sesuai untuk diucapkan; sebagaimana untuk
setiap kala-kata dan ucapan ada pula sikonnya yang pantas untuk
tempat menggunakannya.
Syarat keempat, harus memiliki perilaku, tindak tanduk dan
perbuatan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan suri-teladan
bagi orang-orang lain.
Hamka, (1984: 228-233) mengingatkan kepada seorang da'i
tentang delapan perkara sebagai berikut :
1. Hendaklah seorang da’i melihat dirinya sendiri apakah niatnya
sudah bulat dalam berdakwah. Kalau kepentingan dakwahnya
adalah untuk kepentingan dirisendiri, popularitas, untuk
kemegahan dan pujian orang, ketahuilah bahwa pekerjaannya itu
akan berhenti di tengah jalan. Karena sudah pasti bahwa di
samping orang yang menyukai akan banyak pula yang tidak
menyenangi.
2. Hendaklah seorang da’i mengerti benar soal yang akan
diucapkannya.
3. Seorang da’i harus mempunyai kepribadian yang kuat dan teguh,
tidak mudah terpengaruh oleh pandangan orang banyak ketika
memuji,dan tidak tergoncang, ketika orang-orang melotot karena
tidak senang. Jangan ada cacat pada perangai, meskipun ada
cacat jasmani.
4. Pribadinya menarik, lembut tetapi bukan lemah, tawadhu tetapi
bukan rendah diri, pemaaf tetapi disegani.
5. Seorang da’i harus mengerti pokok pegangan kita ialah Al
Qur’an dan As Sunnah, di samping itu pun harus mengerti ilmu
jiwa (Ilmu Nafs), dan mengerti adat-istiadat orang yang hendak
didakwahi.
6. Jangan membawa sikap pertentangan, jauhkan dari sesuatu yang
membawa perdebatan, sebab hal itu akan membuka masalah
khilafiyah.
7. Haruslah diinsyafi bahwa contoh teladan dalam sikap hidup,
jauh lebih berkesan kepada jiwa umat daripada ucapan yang
keluar dari mulut.
8. Hendaklah seorang da'i itu menjaga jangan sampai ada sifat
kekurangan yang akan mengurangi gengsinya dihadapan
pengikutnya.