Pada tahun 1990 Corporate Social
Responsibility (CSR) menjadi
suatu gagasan yang menyita banyak kalangan, dari masyarakat akademisi, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) sampai para pelaku bisnis.Tidak mengherankan jika
laporan tahunan beberapa perusahaan multinasional yang telah melakukan praktik CSR
keberhasilan meraih keuntungan tidak lagi ditempatkan sebagai satu-satunya alat
ukur keberhasilan dalam mengembangkan eksistensi perusahaan. CSR merupakan
salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
perusahaan sesuai dengan isi Pasal 74
Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT)
yang terbaru, yakni UU No. 40 Tahun
2007. Melalui undang-undang ini, industri atau korporasi wajib
untuk melaksanakanya, tetapi
kewajiban ini bukan
suatu beban yang memberatkan.
Pembangunan suatu negara bukan hanya
tangungjawab Pemerintah dan
industri saja, tetapi setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat. “ Industri dan
korporasi berperan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi
yang sehdengan mempertimbangkan pula
faktor lingkungan hidup”.)
Melihat pada
kondisional semcam ini, maka peneliti
mencoba mengangkat permasalahan ini kepermukaan. Peneliti menganggap
bahwa pengambilan judul di atas
cukup strategis.
1. Konsep tanggungjawab sosial perusahaan telah dikenal sejak awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan
dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat,
lingkungan, serta komitmen
dunia usaha untuk berkontribusi dalam
pembangunan secara berkelanjutan. Seiring perjalanan waktu, di satu sisi sektor industri atau korporasi-korporasi
skala besar telah mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional, tetapi di sisi lain ekploitasi sumber-sumber daya alam oleh
sektor industri sering kali menyebabkan
kerusakan lingkungan.
2. Sebagai upaya untuk menegaskan hubungan perusahaan dengan aktivitas perniagaan yang
diselenggarakan oleh para
perusahaan. Dalam
konteks perniagaan yang diselenggarakan
terdapat hubungan timbal-balik antara personal perusahaan secara
internal dan antara
internal perusahaan dengan
masyarakat luar perusahaan. Corporate Social Responsibility adalah
suatu bagian hubungan perniagaan yang
melibatkan perusahaan di satu pihak dan masyarakat sebagai lingkungan sosial perusahaan di pihak yang
lain.
3. CSR
adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan
harmonis dengan masyrakat domisili.
Secara teoritik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggungjawab moral
suatu peusahaan terhadap
para stakeholdersnya, terutama
komunitas atau masyarakat
di sekitar wilayah
kerja atau operasionalnya.
Di
tahun 1970-an, topik
CSR mengemuka melalui
tulisan Milton Friedman
tentang “ bentuk tunggal
tanggungjawab sosial dari
kegiatan
bisnis. Bahkan Estes”, menilai bahwa roh atau
semangatnya telah ada sejak mula berdirinya perusahaan-perusahaan (di Inggris), yang tugas
utamanya adalah
untuk membantu Pemerintah
dalam memberikan pelayanan
dan memenuhi kebutuhan
masyarakat sikap dan
pendapat pro-kontra selalu merupakan bagian dari sejarah
kehidupan perusahaan dan perkembangan konsep
CSR itu sendiri.
Pro dan kontra terhadap perkembangan CSR
terus bergulir.
Salah satunya, apakah
tanggungjawab sosial tersebut
sifatnya wajib atau
sukarela, dimana ketika kegiatan Corporate
Social Responsibility (CSR) diwajibkan
dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU.PT),
Sontak menuai protes. pasalnya aktivitas CSR diasumsikan sebagai aktivitas
berdasarkan kerelaan dan bukanya
”paksaan”. CSR berawal
dari semangat filantropis perusahaan. Namun, tekanan dari komunitas
yang keras, terutama ditengah masyarakat yang kritis semacam masyarakat Eropa,
yang menjadikan CSR menjadi semacam
social license
to operation, dan
ini dilakukan oleh komunitas,
bukan oleh negara.)
Program CSR yang dijalankan oleh perusahaan hanya memiliki
pengaruh jangka pendek dengan skala
yang terbatas. Program-program CSR
yang dilaksanakan seringkali kurang
menyentuh akar permasalahan komunitas yang sesungguhnya.
Seringkali pihak perusahan
masih menganggap dirinya
sebagai pihak yang paling memahami
kebutuhan komunitas, sementara komunitas dianggap sebagai kelompok pinggiran yang menderita sehingga memerlukan
bantuan perusahaan.
Aktivitas CSR dianggap hanya semata-mata dilakukan
demi terciptanya reputasi
perusahaan yang pasif
bukan demi perbaikan kualitas hidup komunitas dalam
jangka panjang. Kritik
lain dari pelaksanaan CSR adalah karena
seringkali diselenggarakan dengan jumlah biaya yang tidak sedikit, maka
CSR identik dengan perusahan besar yang ternama. Yang
menjadi permasalahan adalah dengan kekuatan
sumberdaya yang ada dengan kekuatan sumber daya yang dimilikinya, perusahan-perusahan besar dan ternama
ini mampu membentuk opini publik.
“ yang mengesankan seolah-olah, mereka telah melaksanakan CSR, padahal yang
dilakukannya hanya semata-mata
hanya aktivitas filantropis, bahkan boleh jadi dilakukan untuk menutupi perilaku-perilaku
yang tidak etis serta perbuatan melanggar hukum.”)
Diidentikkannya CSR dengan perusahaan besar
dan ternama membawa
implikasi lain. Bila perusahaan besar
dan ternama tersebut melakukan perbuatan
yang tidak etis bahkan melanggar
hukum, maka sorotan tajam publik
akan mengarah kepada
mereka. Namun bila
yang melakukannya perusahaan kecil atau menengah yang kurang ternama,
maka publik cenderung untuk kurang peduli,
ataupun publik menarik perhatian, perhatian yang
diberikan tidak sebesar
bila yang melakukannya adalah
perusahaan besar yang ternama. Padahal perilaku-perilaku yang tidak etis serta perubahan melanggar
hukum yang dilakukan oleh siapapun tidak dapat diterima.)
Seberapa penting CSR bagi perusahaan tetap
menjadi wacana dalam praktis bisnis, pro dan kontra ini
tidak bisa dilepaskan
dari fenomena perbenturan kepentingan antara pencapaian
profit dengan pencapaian tujuan sosial.
Jika diperhatikan, masyarakat sekarang hidup dalam kondisi yang dipenuhi beragam
informasi dari berbagai
bidang, serta dibekali kecanggihan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pola seperti ini mendorong terbentuknya cara pikir, gaya hidup, dan
tuntutan masyarakat yang lebih tajam.
Seiring dengan perkembangan ini, tumbuh suatu gerakan konsumen yang dikenal sebagai vigilante
consumerism yang kemudian berkembang
menjadi ethonical
consumerism.)
Riset yang dilakukan oleh
Roper Search Worldwide menujukan :
“75% responden
memberi nilai lebih kepada produk dan jasa yang dipasarkan oleh perusahaan yang memberi
kontribusi nyata kepada
komunitas melalui program
pembangunan. Sekitar 66% responden juga
menunjukan mereka siap berganti merk kepada merek perusahaan
yang memiliki citra sosial yang positif. Hal ini
membuktikan terjadinya perluasan ”minat” konsumen dari produk menuju
korporat. Konsumen menaruh
perhatianya terhadap tanggungjawab sosial perusahaan yang lebih luas, yang menyangkut etika bisnis
dan tanggungjawab sosialnya. Kepedulian konsumen telah meluas dari sekedar
kepada korporetnya”).
Konsumen semacam
ini tidak hanya peduli
pada faktor pemenuhan kebutuhan pribadi sesaat saja. Tetapi juga peduli pada penciptaan kesejahteraan jangka panjang.
Meningkatnya tingkat kepedulian kualitas kehidupan,
harmonisasi sosial dan lingkungan ini juga mempengaruhi
aktivitas dunia bisnis, maka, lahirlah
gugatan terhadap peran perusahaan agar mempunyai tanggungjawab sosial. Disinilah salah satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari kegiatan
CSR. Dalam konteks inilah
aktivitas Corporate Social Responsibility
(CSR) menjadi menu wajib bagi
perusahaan, di luar kewajiban
yang digariskan undang-undang.).
Hubungan antara komunitas
dan perusahaan telah mengalami pergeseran. Awalnya perusahaan meluncurkan
program Community Development (CD) dalam
upayanya membina hubungan dengan komunitas. Kemudian dengan aktivitas CSR sebagai lisensi sosial untuk
beroperasi. Terakhir, perusahaan dituntut untuk mempunyai peranan kepemimpinan dalam
komunitasnya. Namun, ternyata hanya
sekedar menjalankan aktivitas CSR tidak lagi mencukupi. Sekali lagi, ini bukan
berarti CSR kehilangan relevansinya. CSR tetap
penting dan harus dijalankan, disamping CSR, perusahaan perlu
mengambil insentif kepemimpinan sosial.
Inilah yang diistilahkan oleh Hills dan Gibbon dengan Corporate Social Leadership (CSL).)
Konteks CSL menegaskan bahwa
perusahaan bukan hanya dituntut
untuk menjalankan tanggungjawab sosialnya,
namun juga harus menjadi
sebuah institusi yang memimpin, memberikan inspirasi bagi terjadinya
perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga
kualitas hidup masyarakat secara umum meningkat dalam jangka panjang. Perusahaan harus menyadari bahwa dirinya adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat yang lebih luas, sehingga hal buruk yang menimpa dan
merugikan masyarakat pada giliranya akan
berdampak pada mereka juga. perusahaan
harus memerlukan komunitasnya sebagai mitra, program-program yang dilaksanakan harus mampu
benar-benar memberdayakan masyarakat,
artinya masyarakat yang memiliki daya tahan yang tinggi serta mampu memecahkan
setiap persoalan yang
dihadapi dengan kekuatan
sendiri dalam jangka panjang.
Dunia
industri sering menjadi tertuduh utama dalam masalah kerusakan
lingkungan, karena “kerakusanya” dalam
mengekpoitasi sumber daya alam,
sebagaimana dalam kasus pencemaran
teluk buyat oleh PT Newmont Minahasa Raya, tetapi industri pula yang
menjadikan peradaban manusia maju dengan
pesat. Tak dapat dipungkiri, bahwa kemampuan dalam menguasai industry
menjadi parameter kualitas
kehidupan manusia. Masalahnya adalah
bagaimana mengolah jalan simpang
diantara dua kepentingan : kepentingan
industri dan kelestarian lingkungan.
Tekanan dari stakeholders yang tumbuh dari
kesadaran terhadap kelestarian
lingkungan, telah merasuk ke dalam dunia korporasi dan praktik-praktik manajemen, misalnya
institusionalisasi yang dituangkan dalam ISO 14000. Demikian juga konsep
produksi telah mengalami kemajuan dari konsep cradle to grave menjadi daur ulang. Cradle to cradle seperti yang diterapkan oleh
Xerox. Berarti industri
tidak hanya mengamankan
agar sampah atau limbah tidak
mencemari lingkungan, tetapi juga berusaha agar sampah atau limbahnya dapat didaur ulang. Menjadi “hijau” bukan hanya
mengubah proses dan produk, yang hanya berkuat diproses internal pabrik belaka. Tetapi juga memperdulikan ke “hijauan”nya
mulai dari bahan baku yang digunakan
dan kualitas perusahaan pemasok dipandang dari kacamata sadar lingkungan, seperti yang tertuang dalam
standarisasi ISO 140000.
Perusahaan juga harus bertanggungjawab
terhadap aktivitas-aktivitas
untuk meminimalkan dampak negatif dari sisa
produk yang dihasilkan,
penanganan limbah maupun ”sampah” dari produk yang sudah terpakai,
seperti kemasan, namun kesemuanya hanya
dapat terlaksana secara efektif
dan efisien, bila didukung sistem manajemen
yang baik, serta dilandasi oleh
budaya perusahaan yang peduli terhadap lingkungan, dimana hal ini
dapat
dilakukan terutama pada perusahaan-perusahaan
besar. Karena itu salah satu
cara untuk menyebarkan ide-ide
“hijau” adalah dengan mendorong perusahaan-perusahaan
besar agar memaksa para pemasoknya atau
sub kontraknya untuk lebih
ramah terhadap lingkungan.
Tekanan masyarakat agar perusahaan lebih
peduli kepada lingkungan
merupakan kesempatan untuk memperkuat antara perusahaan dengan konsumen, bahkan dapat dijadikan keunggulan
kompetitif. Konsumen yang semakin sadar terhadap isu lingkungan akan mencari produk yang
bersahabat dengan lingkungan. Sebagai
dampak ikutannya perusahaan akan mencari
pemasok yang bisa memecahkan persoalan-persoalan lingkungan Hubungan antar
perusahaan pun akan berubah, karena sama-sama ditekan untuk menjadi
hijau. Maka banyak perusahaan,terutama perusahaan besar, mulai memperketat terhadap perusahaan-perusahaan
pemasoknya. Bagi perusahaan-perusahaan
besar reputasi adalah aset terpenting perusahaan. Walaupun hanya belakangan ini istilah CSR dikenal,
sesungguhnya aktivitas community outreach atau penjangkauan masyarakat sudah dilakukan oleh perusahaan sejak dahulu kala.
Bentuk community
outreach yang paling primitif adalah corporate
philanthropy. Yang terakhir ini merupakan sebuah usaha yang
dilakukan
oleh perusahaan, atau seseorang, untuk
memberikan dana kepada individu
atau kelompok masyarakat,
misalnya dalam bentuk
beasiswa.) Seiring
waktu berlalu, Corporate philanthropy (CP) kemudian berkembang menjadi
Corporate
Social Responcibility (CSR). CSR
berbeda dengan philantropy
dari dimensi keterlibatan si pemberi
dana dalam aktivitas yang dilakukannya.
Kegiatan CSR seringkali dilakukan sendiri oleh perusahaan, atau dengan
melibatkan pihak ketiga (misalnya yayasan
atau lembaga swadaya masyarakat)
sebagai penyelenggara kegiatan tersebut. Yang jelas, melalui
CSR perusahaan jauh lebih terlibat dan terhubung dengan pihak pertama
(beneficiaries) dalam aktivitas
sosial dibandingkan dengan CP. Aktivitas sosial
yang dilakukan melalui
CSR pun jauh
lebih beragam.)
CP
maupun CSR biasanya dilakukan oleh
para miliyoner ataupun perusahaan multinasional yang memiliki
pendapatan yang tinggi. Oleh karena
itu. Banyak kegunaan dari usaha menengah dan kecil untuk melakukan CP dan CSR. Namun dalam praktiknya, CP
maupun CSR sering dilakukan sebagai
salah satu bagian dari promosi produk, atau yang sering disebut sebagai social-marketing. Newmont
Mining Corporation merupakan perusahaan penghasil emas terkemuka yang beroperasi di lima benua. Didirikan
pada tahun 1921 di kota New York dan didaftarkan pada Bursa Saham New
York (NYSE) sejak Tahun 1925,
Newmont juga terdaftar di Bursa Saham Australia dan Toronto, dengan domisili hukum di Denver, Colorado, Amerika
Serikat.
Sebagai perusahaan publik
yang terdaftar di bursa saham
terkemuka di dunia Newmont
terikat pada standar profisiensi yang tinggi serta kepemimpinan di bidang-bidang
manajemen lingkungan, kesehatan dan keselamatan bagi para karyawannya
dan masyarakat sekitar.
Sebagai anak perusahaan
dari Newmont Mining
Corporation, PT Newmont Minahasa Raya yang didirikan pada tahun 1986 dan selanjutnya menandatangani Kontrak
Karya dengan Pemerintah Indonesia, juga terikat untuk menerapkan standar
profisiensi yang tinggi serta kepemimpinan di bidang-bidang manajemen
lingkungan, kesehatan dan keselamatan bagi para
karyawannya dan masyarakat sekitar, termasuk melaksanakan CSRnya,
oleh karena itu
peneliti tertarik untuk mengkaji lebih
jauh mengenai implementasi CSR dengan mengambil lokasi penelitian pada PT Newmont Minahasa Raya.
) Dikutip dari A.B. Susanto, Corporate Social Responsibility, The Jakarta Consulting
Group, 2007,
hlm. 3
)
Ari
Margiono, Menuju Corporate
Social Leadersip, Suara Pembaruan, 11 Mei 2006
4)
.Ari Margono,ibid.,
) Dikutip
dari A.B. Susanto, Corporate Social
Responsibility , The Jakarta
Consulting Group, 2007, hlm. 6
7)
A.B. Susanto, ibid,
hlm 7
) Ari Margiono, Menuju Corporate Social Leadersip, Suara Pembaruan, 11 Mei 2006