Perusahaan merupakan salah satu
sendi kehidupan masayarakat modern, karena
perusahaan merupakan salah
satu pusat kegiatan
manusia guna memenuhi kehidupannya. Selain
itu, perusahaan juga
sebagai salah satu sumber pendapatan negara
melalui pajak dan
wadah tenaga kerja.
Dapat dikatakan
bahwa suatu perusahaan
adalah setiap badan
usaha yang
menjalankan kegiatan dalam
bidang perekonomian secara
terus-menerus, bersifat tetap, dan terang-terangan dengan
tujuan memperoleh keuntungan dan atau
laba yang dibuktikan dengan pembukuan, pada dasarnya cukup
berpengaruh dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional hal tersebut sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam
Pasal 33 ayat (4) menyatakan bahwa :
“Perekonomian diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional”.)
Relevansi
CSR (Coorporate Social Responsibility)
dalam bisnis, sebuah teori atau aliran etika yang punya relevansi yang sangat
kuat untuk dunia bisnis, yaitu utilitarianisme.
Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting sebagai sarana untuk
merangkum, serta memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak
tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjuk kaitannya satu sama
lain secara bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara
mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakannya. Kerangka
teori skripsi ini mengunakan teori utilitas (utilitarisme)
yang dipelopori oleh filsuf Inggris Jeremy Bentham (1748-1832) , dan
selanjutnya Utilitarisme diperhalus dan diperkukuh lagi oleh filsuf Inggris
besar, John Stuart Mill (1806–1873), dalam bukunya Utilitarianism (1864) .
Jeremy Bentham dalam karya tulisnya “An Introduction to the Principles of Morals
and Legislation” menyebutkan : Alam telah menempatkan umat manusia dibawah
kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya keduanya yang
menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita
lakukan. Standar benar dan salah disatu sisi, maupun rantai sebab akibat pada
sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam
semua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal
yang kita pikirkan: setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah
padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya.
Dalam kata-kata seorang manusia mungkin akan
berpura-pura menolak kekuasaan mereka. Asas manfaat (utilitas) mengakui
ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan
tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum. Sistem yang mencoba
untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya
dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang
terang.Bentham menjelaskan lebih jauh bahwa asas manfaat melandasi segala
kegiatan berdasarkan sejauhmana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan itu; atau, dengan kata lain
meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu.
Tanggungjawab sosial seseorang atau organisasi adalah etika dan kemampuan berbuat
baik pada lingkungan
sosial hidup berdasarkan aturan, nilai dan kebutuhan masyarakat. Berbuat baik atau kebajikan
merupakan bagian dari kehidupan sosial.
Dan segi kecerdaan,
berbuat kebajikan adalah
salah satu unsur kecerdasan spiritual. Sementara dalam konteks perusahaan,
tanggungjawab sosial itu disebut tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate
Social Responsibility--CSR). Secara etik, perusahaan tidak hanya
mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomis dan legal kepada pesaham atau shareholder, tetapi juga
mempunyai kewajiban terhadap
pihak-pihak lain secara
sosial termasuk masyarakat disekitarnya.
CSR adalah nilai moral yang
semestinya dilaksanakan atas panggilan nurani
pemilik atau pimpinan perusahaan bagi peningkatan kesejahteraan
stakeholder perusahaan. Stakeholders adalah
seseorang atau kelompok orang
yang kena pengaruh langsung atau tidak langsung atau pada kegiatan
bisnis perusahaan, atau
yang mempengaruhi langsung
atau tidak langsung
kegiatan bisnis perusahaan.
Stakeholders perusahaan meliputi pesaham, pemimpin, pekerja,
penyedia barang dan jasa (mitra atau supplier), pesaing, konsumen, pemerintahan dan masyarakat. Penerapan CSR saat ini berkembang pesat, termasuk
di Indonesia. CSR kini dianggap
sebagai peluang untuk meningkatkan daya saing serta sebagai bagian dari
pengelolaan risiko menuju sustainability dari kegiatan usahanya. CSR di
Indonesia baru dimulai pada awal tahun 2000. Namun, kegiatan yang esensi dasarnya
sama telah berjalan sejak tahun 1970-an dengan tingkat yang bervariasi, mulai
dari bentuk yang
sederhana seperti donasi
sampai pada bentuk yang komprehensif
seperti membangun sekolah.
Mengingat
CSR bersifat intagible
(kasat mata), maka
sulit dilakukan pengukuran
tingkat keberhasilan yang
telah dicapai. Oleh
karena itu, diperlukan
berbagai pendekatan kuantitatif
dengan menggunakan triple bottom
line atau lebih dikenal secara sustainability-reporting.
Dari sisi ekonomi, penggunaan sumber
daya
alam dihitung dengan
akuntansi sumber daya
alam, sedangkan pengeluaran
dan penghematan biaya lingkungan dapat dihitung
dengan menggunakan akuntansi
lingkungan. Salah satu alat ukur yang dipakai disebut PROPER. Inilah awal dari pengukuran penerapan CSR dari aspek
social dan lingkungan sustainability-reporting.
Pembangunan adalah apabila dapat memenuhi kebutuhan saat
ini. Dengan mengusahakan berkelanjutan
pemenuhan kebutuhan
bagi hubungan antar generasi,
artinya untuk memberikan kesempatan kepada generasi
selanjutnya. Hal ini mengisyaratkan adanya suatu
alih teknologi bagi hubungan antar generasi, artinya untuk memberikan kesempatan
kepada generasi selanjutnya
dalam memenuhi kebutuhannya.
Penerapan pembangunan seperti itu
harus didukung oleh aspek social-sustainability,
yang berhubungan dengan lingkungan. Hal ini harus disosialisasikan
oleh para pelaksana pembangunan di Indonesia dan harus diterapkan pada setiap manusia pelaksana
kegiatan pembangunan tersebut. Social-sustainability
itu terdiri dari
tiga aspek, yaitu
ekonomi, sosial dan lingkungan.
Untuk pelaksanaannya adalah human-sustainability
yaitu peningkatan kualitas manusia secara etika seperti pendidikan,
kesehatan, rasa empati, saling menghargai,
dan kenyamanan yang
terangkum dalam tiga kapasitas yaitu spiritual, emosional,
dan intelektual.
Pembangunan di bidang ekonomi,
lingkungan dan sosial
dapat dilakukan oleh
korporasi yang mempunyai
kebudayaan perusahaan sebagai suatu
bentuk tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility). Corporate social
responsibility dapat dipahami sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara
etis, beroperasi secara legal, dan
berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan
keluarganya, komunitas lokal dan
komunitas secara lebih luas.
Secara
umum, Corporate Social Responsibility
merupakan peningkatan kualitas kehidupan
mempunyai arti adanya
kemampuan manusia sebagai individu anggota komunitas untuk
dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat
menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada sekaligus memelihara,
atau dengan kata lain merupakan
cara perusahaan mengatur
proses usaha untuk
memproduksi dampak positif
pada suatu komunitas,
atau merupakan suatu
proses yang penting dalam pengaturan biaya yang dikeluarkan dan
keuntungan kegiatan bisnis
dari stakeholders baik
secara internal (pekerja,
shareholders, dan penanaman modal)
maupun eksternal (kelembagaan
pengaturan umum, anggota-anggota
komunitas, kelompok komunitas sipil dan perusahaan lain). Jadi, tanggung
jawab perusahaan secara
sosial tidak hanya
terbatas pada konsep
pemberian donor saja, tapi konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis
dan pasif dan statis, hanya dikeluarkan dari perusahaan akan tetapi hak dan
kewajiban yang dimiliki bersama antara stakeholders.
Konsep Corporate Social Responsibility melibatkan tanggungjawab kemitraan antara
pemerintah, lembaga, sumberdaya komunitas, juga komunitas lokal (setempat).
Kemitraan ini tidaklah bersifat pasif dan statis. Kemitraan ini merupakan tanggungjawab bersama
secara sosial antara stakeholders. Konsep kedermawanan perusahaan (corporate philantrophy) dalam tanggungjawab
sosial tidaklah lagi memadai karena konsep
tersebut tidaklah melibatkan
kemitraan tanggung jawab perusahaan
secara sosial dengan stakeholders lainnya. Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate
social responsibility) pada dasarnya juga terkait dengan budaya
perusahaan (coporate culture)
yang ada dipengaruhi
oleh etika perusahaan
yang bersangkutan.
Budaya
perusahaan terbentuk dari
para individu sebagai
anggota perusahaan yang
bersangkutan dan biasanya dibentuk
oleh sistem dalam perusahaan. Sistem perusahaan khususnya alur dominasi
para pemimpin memegang
peranan penting dalam
pembentukan budaya perusahaan, pemimpin
perusahaan dengan motivasi yang kuat dalam etikanya
yang mengarah pada kemanusiaan akan dapat memberikan nuansa budaya perusahaan secara keseluruhan. Keberadaan
Pasal 74 UUPT mengenai CSR dapat dikatakan telah memenuhi syarat predictability karena adanya kepastian
tentang kewajiban CSR yang dianggarkan sebagai beban biaya perseroan. Namun
unsur ini menjadi tidak tegas karena Pemerintah belum menetapkan besaran CSR
dalam peraturan pelaksana dari UUPT itu sendiri.
Ketidak tegasan ini juga
menyebabkan Pasal 74 tersebut menjadi tidak memenuhi syarat clearity of status and definition,
karena tidak jelasnya konsep perusahaan yang wajib CSR berdasarkan UUPT dan
tidak jelasnya definisi dari kepatutan dan kewajaran dalam pelaksanaan
kewajiban CSR. Belum lagi jika dianalisis dengan menggunakan syarat fairness
(keadilan), apakah adil bagi perusahaan yang diwajibkan CSR dalam kondisi
buruknya iklim usaha dan biaya usaha yang cukup tinggi di Indonesia baik yang berasal
dari kewajiban-kewajiban finansial resmi (pajak dan retribusi) maupun pungutan-pungutan
yang tidak resmi yang terus membebani dunia usaha.
Aspek fairness ini juga akan terkait
dengan penentuan porsi anggaran biaya CSR bagi setiap perusahaan yang berbeda
kinerja, risiko, dan pendapatan. Apakah pengaturan CSR yang demikian sudah
dapat dikatakan sebagai ketentuan yang sudah mengakomodasi secara berkeadilan
aspirasi dunia usaha. Keseluruhan pertanyaan tersebut jika tidak terjawab
dengan baik, maka ketentuan CSR justru dapat menimbulkan keadaan yang tidak
stabil.