Lester
Thurow, tahun 1066 dalam bukunya “The
Future of Capitalism”, sudah memprediksikan bahwa
pada saatnya nanti, kapitalisme akan berjalan
kencang tanpa perlawanan. Hal ini disebabkan, musuh utamanya, sosialisme dan komunisme telah lenyap. Pemikiran Thurow ini menggarisbawahi
bahwa kapitalisme tak
hanya berurusan pada
ekonomi semata, melainkan
juga memasukkan unsur
sosial dan lingkungan
untuk membangun masyarakat,
atau yang kemudian
disebut sustainable
society. Pada jamannya,
pemikiran Thurow tersebut
sulit diaplikasikan, hal
ini ia tuliskan seperti there is no
social ‘must’ in capitalism16.
Jaman pun berlalu, tahun 1962, Rachel Calson
lewat bukunya “The Silent
Spring”, memaparkan pada dunia tentang kerusakan
lingkungan dan kehidupan yang diakibatkan oleh
racun pestisida yang mematikan. Paparan yang
disampaikan dalam buku “Silent Spring” tersebut menggugah kesadaran banyak pihak bahwa tingkah laku korporasi
harus diluruskan sebelum menuju kehancuran bersama.
Corporate Social Responsibility (CSR ) pun mulai digaungkan. Tepatnya di era 1970-an. Banyak
professor menulis buku tentang pentingnya tanggungjawab sosial
perusahaan, di samping kegiatan mengeruk
untung. Buku-buku tersebut antara lain; “Beyond the Bottom
Line” karya Prof. Courtney C. Brown, orang pertama
penerima gelar Professor of Public Polecy and
Business Responsibility dari
Universitas Pemikiran para ilmuwan
sosial di era itu masih banyak mendapatkan
tantangan, hingga akhirnya muncul buku yang menghebohkan dunia hasil pemikiran para intelektual dari
Club of Roma, bertajuk “The Limits to Growt”. Buku
ini mengingatkan bahwa,
disatu sisi bumi
memiliki keterbatasan
daya dukung (carrying capacity), sementara di sisi lain populasi manusia
bertumbuh secara eksponensial. Karena itu, eksploitasi sumber daya alam mesti dilakukan secara cermat agar
pembangunan dapat berkelanjutan. Era 1980 - 1990, pemikiran dan perbincangan
tentang isu ini terus berkembang, kesadaran
dalam berbagi keuntungan
untuk tanggungjawab sosial, dan
dikenal sebagai community development.
Hasil menggembirakan datang dari
KTT Bumi di Rio de Jenerio Tahun 1992 yang menegaskan bahwa konsep
pembangunan berkelanjutan menjadi
hal yang harus
diperhatikan, tidak saja oleh negara, terlebih
lagi oleh kalangan korporasi yang diprediksi bakal
melesatkan kapitalisme di masa mendatang.
Konsep
CSR terus bergulir, berkembang dan diaplikasikan dalam berbagai bentuk. James Collins dan Jerry Poras dalam bukunya
Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies (1994), menyampaikan bukti bahwa perusahaan
yang terus hidup
adalah yang tidak
semata mencetak limpahan uang saja, tetapi perusahaan yang
sangat peduli dengan lingkungan sosial dan
turut andil dalam
menjaga keberlangsungan lingkungan
hidup. Konsep dan
pemikiran senada juga ditawarkan oleh John Elkington lewat bukunya yang berjudul “Cannibals
with Fork, the Triple Bottom Line of Twentieth Century
Business. Dalam
bukunya ini, Elkington
menawarkan solusi bagi perusahaan
untuk berkembang di masa mendatang, dimana mereka harus
memperhatikan 3P, bukan sekedar
keuntungan (Profit), juga
harus terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan
rakyat (People) dan berperan aktif dalam
menjaga kelestarian lingkungan (Planet).) Agenda
World Summit di
Johannesburg (2002),
menekankan pentingnya
tanggungjawab sosial perusahaan. Dari situ program CSR mulai terus
berjalan dan berkembang
dengan berbagai konsep
dan definisi.
Kesadaran
menjalankan CSR akhirnya tumbuh menjadi trend global, terutama produk-produk yang ramah lingkungan yang
diproduksi dengan memperhatikan kaidah sosial dan hak asasi
manusia. Di pasar
modal globalpun, CSR
juga menjadi faktor
yang diperhitungkan. Misalnya
New York Stock
Exchange (NYSE) saat
ini menerapkan program Dow
Jones Sustainable Index (DJSI)
untuk saham perusahaan yang dikategorikan memiliki Social Responsible
Investment (SRI). Kemudian Index
and Financial Times Stock Exchange (FTSE) menerapkan FTSE4 Good
sejak 2001. Konsekuensi
dari adanya index-index
tersebut memacu investor global seperti perusahaan dana pensiun dan
asuransi yang hanya akan menanamkan
investasinya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam index tersebut.)
Di Indonesia, kini kita menyaksikan
perbincangan yang terus berlanjut seputar
konsep dan perjalanan CSR ini. Ada persetujuan dan pula pertentangan. Terlebih
pihak Pemerintah secara khusus membuatkan Undang-Undang tentang tanggungjawab
sosial ini, yakni dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Pasal 74. Terlepas
dari itu, isu
tentang Corporate Social
Responsibility (CSR) memang kian hangat. Persoalannya bukan lagi
melulu dari aspek sosial, tetapi sudah jauh merasuk ke aspek bisnis dan
penyehatan korporasi. Lama-kelamaan, CSR tidak
lagi dipandang sebagai
keterpaksaan, melainkan sebagai kebutuhan.
Dari yang semula dianggap sebagai cost, kini mulai diposisikan sebagai investasi.
Para pelaku
dituntut untuk ikut memikirkan program yang mampu
mendukung sustainability perusahaan dan aktivitas CSR itu sendiri. Dalam hal ini, strategi
perusahaan mesti responsif terhadap kondisi-kondisi yang mempengaruhi bisnis, seperti perubahan global, tren baru di
pasar, dan kebutuhan stakeholders yang belum terpenuhi20 Berkaitan dengan masalah imbas tadi, Global
CSR Survey paling tidak bisa memperlihatkan betapa
pentingnya CSR. Bayangkan, dalam survei di
10 negara tersebut, mayoritas konsumen (72%) mengatakan sudah membeli produk dari suatu perusahaan serta merekomendasikan
kepada yang lainnya sebagai respon
terhadap CSR yang dilakukan perusahaan tersebut. Sebaliknya, sebanyak 61% dari mereka sudah memboikot produk
dari perusahaan yang tidak punya
tanggungjawab sosial. CSR kini bukan lagi sekadar program charity
yang tak berbekas. Melainkan
telah menjadi pedoman
untuk menciptakan
profit dalam jangka
panjang (CSR for
profit). Karena
itu, hendaknya kegiatan sosial yang dijalankan
harus berhubungan dengan kepentingan
perusahaan dan harus mendukung core business perusahaan.)
Philip
Kotler, dalam buku CSR: Doing the Most Good for Your Company and Your
Cause, membeberkan beberapa alasan tentang perlunya perusahaan menggelar aktivitas itu. Disebutkannya,
CSR bisa membangun positioning merek,
mendongkrak penjualan, memperluas
pangsa pasar, meningkatkan loyalitas
karyawan, mengurangi biaya
operasional, serta meningkatkan daya tarik korporat di mata
investor.
Menurut Godo Tjahjono, Chief
Consulting Officer Prentis menyatakan, CSR
memang punya beberapa manfaat yang bisa dikategorikan dalam empat aspek, yaitu:
license
to operate, sumber daya manusia, retensi, dan produktivitas
karyawan. Dari sisi marketing, CSR juga bisa
menjadi bagian dari brand differentiation. Kini
kita menyaksikan dan
mengharap gairah perusahaan-perusahaan raksasa dunia
untuk menerapkan program
kepedulian sosial. Semoga ini tak hanya jadi sekedar angin segar
ditengah kekosongan isu saja, melainkan
mampu menjadi virus baik yang menyebar cepat di Indonesia.
Istilah CSR di Indonesia semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa
perusahaan sebenarnya telah
lama melakukan CSA (Corporate Social
Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”.
Walaupun tidak menamainya
sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap
aspek sosial dan
lingkungan. Melalui konsep
investasi sosial perusahaan “seat belt”, sejak Tahun 2003 Departemen
Sosial tercatat sebagai lembaga Pemerintah
yang aktif dalam
mengembangkan konsep CSR
dan melakukan advokasi kepada
berbagai perusahaan nasional. Kepedulian
sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasannya kegiatan
perusahaan membawa dampak (for better or
worse), bagi kondisi lingkungan dan
sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi.
Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya sharehold atau para pemegang saham. Melainkan
pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.) Stakeholders
dapat mencakup karyawan
dan keluarganya, pelanggan,
pemasok, masyarakat sekitar
perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan Pemerintah
selaku regulator. Jenis dan prioritas
stakeholders
relatif berbeda antara satu perusahaan
dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan.
Sebagai contoh, PT
Aneka Tambang, Tbk.
dan Rio Tinto
menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders
dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen
seperti Unilever atau Procter
& Gamble adalah para customer-nya.
Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial
perusahaan yang sering diterapkan di Indonesia adalah
community
development. Perusahaan yang
mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan sosial dan
pembangunan kapasitas masyarakat
sehingga akan menggali
potensi masyarakat lokal
yang menjadi modal
sosial perusahaan untuk
maju dan berkembang. Selain
dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan,
cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang ramah dan
peduli lingkungan. Selain
itu, akan tumbuh
rasa percaya dari
masyarakat. Rasa memiliki
perlahan-lahan muncul dari
masyarakat sehingga masyarakat merasakan
bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.