Perkembangan wacana dan
praktik CSR di Indonesia memang sangat
menggembirakan. Dari sebuah konsep asing, CSR kini
menjadi konsep yang banyak sekali diperbincangkan, diperdebatkan
dan digunakan untuk melabel banyak aktivitas. Tentu
saja, hal tersebut sangat patut disukuri. Hanya saja, karena tidak cukup banyak pihak yang menekuni wacana CSR sebagaimana yang termuat dalam berbagai literatur di negara-negara maju, maka
banyak kesalahan umum yang kerap ditemui kalau kita
benar-benar memperhatikan bagaimana kini
CSR digunakan. Kesalahan
umum yang kerap
ditemui tersebut adalah :)
a. community development ( CD) adalah Corporate
Social Responsibility (CSR)
Kesalahan paling umum dijumpai
mungkin adalah menyamakan
CD (community development atau
pengembangan masyarakat) dengan CSR.
Pengembangan masyarakat sebetulnya adalah upaya sistematis untuk meningkatkan
kekuatan kelompok-kelompok masyarakat
yang kurang beruntung (disadvantaged
groups)
agar menjadi lebih
dekat kepada kemandirian. Jadi, CD sangatlah menyasar kelompok masyarakat yang spesifik, yaitu mereka yang mengalami masalah. Perusahaan jelas punya kepentingan besar untuk melakukan CD, karena kelompok ini adalah yang paling rentan terhadap dampak negatif operasi, sekaligus paling jauh aksesnya dari dampak positifnya. Kalau tidak secara khusus perusahaan membuat kelompok ini menjadi sasaran, maka
ketimpangan akan semakin terjadi dan disharmoni hubungan pasti akan terjadi suatu saat. Hanya saja, menyamakan CD dengan CSR adalah kesalahan besar. CD hanyalah bagian kecil dari CSR. CSR punya cakupan yang sangat luas,
yaitu terhadap seluruh
pemangku kepentingan. Bandingkan dengan CD
yang menyasar kelompok
kepentingan sangat spesifik, yaitu kelompok masyarakat rentan. Di masyarakat sendiri, ada berbagai
pemangku kepentingan di luar mereka yang rentan, belum lagi organisasi
masyarakat sipil, kelompok bisnis maupun lembaga-lembaga pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa CD adalah bagian dari CSR, dan boleh jadi salah satu yang sangat penting mengingat di
Indonesia kelompok masyarakat rentan
jumlahnya masih sangat besar. Mereka benar-benar membutuhkan perhatian perusahaan.
Menyamakan tindakan karitatif/amal dengan CSR
juga kini banyak dilakukan, baik
oleh perusahaan maupun media masa. Banjir besar yang baru saja
melanda Jakarta atau
kejadian-kejadian bencana alam
telah membuat iklan mengenai
“CSR” menjamur di media masa. Padahal, yang dilakukan
oleh sebagian besar perusahaan itu adalah tindakan karitatif belaka, yaitu membantu pihak lain agar
penderitaan mereka berkurang. Tidak ada yang
salah dengan tindakan mulia tersebut,
namun menyamakannya dengan CSR
tentu saja salah. Nama generik untuk tindakan membantu
sesama manusia adalah filantropi, yang
kerap juga dilakukan oleh perusahaan. Pada kondisi yang lebih maju,
yaitu dengan pertimbangan kegunaan optimum dan dampak terbesar terhadap reputasi perusahaan
pemberi, tindakan filantropi
itu diberi nama filantropi
strategis. Melihat sejarahnya,
tindakan sosial perusahaan banyak
dimulai dari filantropi, kemudian menjadi filantropi strategis, baru kemudian CSR. Tentu saja, banyak juga percabangan lain yang
tidak mengikuti alur tersebut. Yang mau ditegaskan adalah bahwa tindakan karitatif
merupakan bentuk “primitif” dari
tindakan sosial perusahaan yang hingga kini masih penting dan akan
terus penting
dilakukan, namun kini sudah dianggap
tidak lagi mencukupi. Ini berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan, yang
akan dibahas berikut ini.
c. CSR harus menonjolkan aspek sosial.
Banyak
perusahaan juga pengamat yang menekankan CSR pada aspek sosial semata. Mereka mengira bahwa karena S yang berada di tengah C dan R merupakan singkatan dari social, maka aspek sosial di dalam CSR haruslah yang
paling menonjol, kalau bukan satu-satunya. Padahal,
sebagian besar literatur mengenai
CSR sekarang sudah bersepakat
bahwa CSR mencakup aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Ini terutama terjadi setelah pembangunan
berkelanjutan menjadi arus utama
berpikir walau hingga kini belum juga
jadi arus utama bertindak. Pembangunan
berkelanjutan yang didefinisikan
sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan kemampuan generasi
mendatang dalam memenuhi kebutuhannya secara sangat tegas
menyatakan pentingnya keseimbangan
dalam tiga aspek tersebut.
d. Organisasi CSR cuma tempelan.
Banyak perusahaan
yang mula-mula mengadopsi
CSR merasa punya
kebutuhan untuk membuat struktur baru, yang diberi nama-nama yang
berhubungan dengan CSR. Pembuatan
organisasi yang khusus sesungguhnya merupakan hal yang sangat menggembirakan, karena itu merupakan
bukti komitmen perusahaan
untuk menyediakan organisasi khusus, relatif independen dengan
sumberdaya manusia yang
bekerja secara fokus. Tentu
saja, komitmen seperti itu patut diacungi dua jempol. Namun yang kemudian menjadi pertanyaan adalah
apakah benar bahwa CSR
itu bisa dilaksanakan oleh bagian itu saja, sementara yang lain bisa berpangku tangan.
e. CSR hanya untuk perusahaan
besar.
Banyak
keengganan perusahaan atau dalih saja dari mereka yang tak peduli untuk mengadopsi CSR karena anggapan bahwa CSR adalah untuk perusahaan berskala besar
saja. Hal ini
boleh jadi merupakan kesalahan besar
dari mereka yang membiarkan C di depan SR tetap sebagai singkatan dari corporate. Sebagaimana
yang banyak diketahui, corporate
juga corporation berarti
perusahaan besar. Sementara istilah generik untuk
entitas bisnis yang mencari keuntungan tanpa memerhatikan ukuran adalah company. Karenanya,
prihatin dengan ketidaktertarikan perusahaan skala
sedang dan kecil
pada CSR serta kerancuan akibat digunakannya “social”, Edward
Freeman dan Ramakhrisna Velamuri mengusulkan agar CSR diartikan sebagai company stakeholder
responsibility. Dengan demikian, CSR berarti tanggung
jawab perusahaan (apapun ukurannya) terhadap (seluruh)
pemangku kepentingan mereka.
f. Memisahkan CSR dari bisnis
inti perusahaan.
Banyak sekali perusahaan yang
membuat berbagai program CSR dengan curahan sumberdaya
yang sangat besar, namun hingga sekarang belum banyak
perusahaan yang membuat program-program yang berkaitan dengan bisnis intinya. Tidak mengherankan kalau kebanyakan program CSR kebanyakan dikotak-kotakkan ke dalam bidang pendidikan, kesehatan,
lingkungan, sarana fisik, dsb sementara dampak perusahaan itu sendiri tidaklah diurus secara memadai.
g. CSR untuk diri sendiri, bukan
sepanjang supply chain.
Kalau sebuah perusahaan
beroperasi dalam sebuah rantai produksi yang sangat
panjang, apakah layak ia membatasi diri untuk melakukan CSR dalam lingkup
perusahaannya saja? Pembatasan ini
banyak sekali dilakukan oleh perusahaan. Kilahnya adalah
bahwa mereka tidak berhak untuk mencampuri kinerja
CSR perusahaan lain. Logika ini jelas tak dapat diterima,
karena itu berarti bahwa produknya tidaklah bisa dibuktikan berasal dari seluruh operasi yang berkinerja CSR baik.
h. Setelah sampai konsumen, tak
ada lagi CSR.
Dalam perkembangan awal,seluruh
perusahaan membatasi CSRnya sampai di tangan salah satu pemangku kepentingan terpenting: konsumen. Belakangan, setelah
sampai tangan konsumen,
perusahaan yang bersungguh-sungguh
ingin memberikan kepuasan kepada
mereka manambahkan after sales service. Garansi produk adalah salah satu bentuk dari jasa itu. Kalau konsumen
mengajukan keberatan atas mutu produk sampai batas waktu
tertentu pada beberapa kasus
ada “life time guarantee” maka
konsumen berhak atas pengembalian, perbaikan atau penggantian.
i. CSR cuma tambahan biaya
belaka.
Ketika perusahaan
mulai mengadopsi CSR,
tidak terelakkan adanya penambahan
pengeluaran. Ini mungkin
penyebab utama keengganan untuk mengadopsi
CSR. Banyak pihak
yang menyatakan tambahan pengeluaran itu
sia-sia belaka, dan
boleh jadi juga
bahwa anggapan tersebut memiliki
dukungan empiris. Penelitian-penelitian mengenai filantropi perusahaan
banyak mendapatkan kenyataan bahwa pengeluaran
perusahaan itu benar-benar tidak bias dilacak keuntungannya.
j. CSR adalah pemolesan citra
perusahaan. Ketika inisiatif CSR digulirkan, banyak
organisasi gerakan sosial yang langsung
skeptis dengannya. Menurut
mereka, CSR hanya
akan menjadi cara baru untuk memoles citra perusahaan. Kalau citra ramah
lingkungan yang diinginkan perusahaan padahal kinerja
lingkungannya
tidak setinggi pencitraan yang dilakukan hal
itu disebut sebagai greenwash. Belakangan
juga muncul istilah bluewash
untuk pemolesan citra sosial.
Secara retoris, Craig
Bennett dari Friends
of The Earth International pernah
menyatakan “For every
company that sincerely implements its CSR policies, there
are hundreds who greenwash, and for each
of these there are hundreds more who don’t even bother with that.”
k. Menganggap bahwa CSR sepenuhnya voluntari atau sukarela.
Apakah konsep
tanggungjawab itu adalah sebuah konsep yang benar-benar
bisa dilaksanakan dengan sukarela? Tampaknya menyatakan bahwa
tanggungjawab itu sukarela adalah contradictio in terminis atau keduanya merupakan istilah yang bertentangan. Yang “benar”, tanggungjawab itu wajib dilaksanakan. Namun demikian, harus
diakui bahwa di antara kubu pendirian
bahwa CSR itu mandatori atau voluntari, kini lebih cenderung pada kemenangan
kubu voluntari. Salah satu alasannya adalah bahwa perusahaan-perusahaan memang menginginkan kondisi
yang demikian.
l. Mempraktikkan CSR dalam ranah
eksternal saja.
Banyak
kejadian beberapa tahun belakangan ini, ketika perusahaan hendak mulai
menerapkan CSR nya banyak
pekerjanya bertanya-tanya mengapa
mereka merasa menjadi anak tiri. Memang, belakangan banyak sekali
perusahaan tiba-tiba mencurahkan uang dalam jumlah yang besar, yang
seakan-akan memberi sinyal bahwa kondisi
perusahaan sedang sangat membaik.
Sayangnya curahan sumberdaya untuk pemangku kepentingan eksternal itu tidak dibarengi dengan
curahan yang sama untuk pemangku kepentingan internalnya.