Kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan. Maka tali pengikat serban terkadang berwarna hitam dan terkadang berwarna emas. Arti asli dari kata ‘aqala adalah mengerti, memahami dan berfikir.Dalam Al-Qur’an sebagai dijelaskan dalam QS.Al-Hajj (22 ) : 46, pengertian, pemikiran, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusatdi dada. Ayat-ayat berikut juga menjelaskan demikian:
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (QS.Al-Hajj : 46)
Seperti yang dapat dilihat dalam falsafah emanasi. Bahwa akal manusia yang telah mencapai derajat perolehan dapat mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh, yang dalam penjelasan Ibnu Sina adalah jibril. Komunikasi itu bisa terlaksana terjadi karena akal perolehan telah begitu terlatih dan begitu kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni.Dan komunikasi Nabi dengan Tuhan dilakukan melalui akal dalam derajat materil.
Bahwa seorang Nabi dianugrahi Tuhan akal yang mempunyai daya tangkap luar biasa sehingga tanpa latihan ia dapat mengadakan komunikasi langsung dengan jibril. Akal demikian mempunyai kekuatan suci dan tidak ada akal yang lebih kuat dari akal demikian, hanya nabi-nabi yang memperoleh akal yang demikian kuat. Dan dalam ajaran Tasawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat di hati sanubari. Sedangkan kaum filosof Islam mempertajam daya fakir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak. Sufi mempertajam kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa. Dengan banyak beribadat, yaitu melakukan shalat, puasa membaca Al-qur’an dan mengingat Tuhan, kalbu seorang sufi akan menjadi demikian bersih dan jernih, sehingga ia akan menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan. Sehingga sufi bisa bertemu dengan Tuhan lewat mata batinnya.
|
Akal |
Menurut kaum teolog akal adalah sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Yaitu daya untuk memeperoleh pengetahuan dan juga daya yang membuat seseorang dapat memperbedakan antara dirinya dan benda-benda lain. Akal juga dapat mengabtrasikan benda-benda yang ditangkap panca indra. Di samping memperoleh pengetahuan, akal juga mempunyai daya untuk membedakan kebaikan dan kejahatan.
Mengenai masalah akal dan wahyu menurut Harun Nasution, yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam bukan akal dan wahyu itu sendiri, tetapi penafsiran tentang teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Maka sesungguhnya antara akal dan wahyu itu tidak ada pertentangan.
Harun Nasution dalam bukunya Akal dan Wahyu dalam Islam, ia menjelaskan telah diketahui bersama bahwa Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, tetapi jugasebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya hanya sebagai agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi Negara, selanjutnya berkembang di Damsyik menjadi kekuatan politik internasional yang luas daerahnya dan akhirnyaberkembang di Baghdad menjadi kebudayaan bahkan peradaban yang tidak kecil pengaruhnya, sebagai telah disebut di atas. pada peradaban modern. Dalam perkembangan Islam dalam kedua aspeknya itu, akal memainkan peranan penting bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang agama. Dalam membahas masalah-masalah keagaman, banyak ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetapi juga bergantung padaakal. Bisa dijumpai dalam pembahasan-pembahasan bidang fiqih, teologi dan filsafat.
Menurut pendapat Harun, peranan akal dalam bidang fikih atau hukum Islam itu diperlukan. Kata faqiha mengandung makna faham atau mengerti. Untuk mengerti sesuatu diperlukan pemikiran dan pemakaian akal. Dengan demikian fikih merupakan ilmu yang membahas tentang pemahaman dan tafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, yang berkenaan dengan hukum. Untuk penafsiran dan pemahaman ini diperlukan al-ijtihad.
Ijtihad banyak dipakai dan kedudukannya penting dalam fikih. Begitu pentingnya kedudukannya sehingga Ali Hasaballah membuat ijtihat menjadi sumber ketiga dari hukum islam setelah Al-Qur’an dan sunnah. Dan ia mempunyai argumen yang kuat untuk ini, yaitu hadis Mu’az ibn Jabal. Dalam hadis itu Nabi SAW bertanya kepada Mu’az apa yang akan diperbuatnya di Yaman jika ia tidak menemui ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah ketika hendak memutuskan sesuatu perkara. Muaz menjawab akan memakai ijtihadnya.
Dalam aliran-aliran teologi islam terjadi polemik yang penting dalam masalah akal dan wahyu, terutama antaraMu’tazilah, Asy’ariah dan Maturudiyah. Yang dipermasalahkan kesanggupan akaldan fungsi wahyu terhadap adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan. Pertanyaan yang dimajukan adalah:
1. Dapatkah akal mengetahui Tuhan?
2. kalau ya, apakah akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?
3. Dapatkah akal mengatahui apa yang baik dan apa yang jahat
4. Kalau ya, dapatkah akal mengetahu bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib baginya menjauhi perbuatan buruk?
Harun Menjelaskan bahwa, Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah tersebut dapat diketahui oleh akal. Semua pengetahuan dapat diketahui melalui akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berteri kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu wahyu wajib. Baik dan buruk adalah sifat esensil bagi kebaikan dan kejahatan. Kebaikan dan kejahatan wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk.
Sedangkan golongan Asy’ariah berpendapat bahwa akal hanya dapat mengetahui satu dari keempat masalah itu, yaitu adanya Tuhan. Semua kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Akal tak dapat menentukan sesuatu menjadi wajib dan dengan demikian tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat adalah wajib. Bahwa akal dapat mengetahui adanya Tuhan, tetapi mengetahui kewajiban terhadap Tuhan diperoleh hanya melalui wahyu.
Kaum Maturidiyah Samarkand berpendapat tentang keempat masalah di atas. Hanya satu, yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat yang tidak dapat diketahui oleh akal. Sedangkanketiga masalah lainnya dapat diketahui oelh akal. Kaum Maturidiyah Bukhara hanya pengetahuan-pengetahuan yang dapat diperoleh oleh akal adapun kewajiban-kewajiban itu wahyulah yang menentukannya.hanya dua dari keempay masalah yang dapat diketahu oleh akal, yaitu adanya Tuhan dan kebaikan serta kejahatan.
Harun Nasution melihat dari keempat golongan di atas, bahwa ada dua aliran yang memberi daya kuat pada akal yaitu aliran Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand dan dua aliran yang memandang akal manusia lemah, yaitu Asy’ariah dan Maturidiyah Bukhara. Jika dipirinci lebih lanjut Mu’tazilah memberi angka 4 kepada akal, Maturidiyah Samarkand memberi angka 3 pada akal, Maturidiyah Bukhara memberi angka 2 pada akal, dan Asy’ariyah memberi angka 1 pada akal.
Jika demikian peranan akal dalam agama, apa jadinya fungsi wahyu? Terutama dihadapkan padaMu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand. Dalam pendapat Mu’tazilah akal hanya dapat mengetahui garis besar dari keempat masalah di atas. Yaitu mengetahui kewajiban-kewajiban secara umum, tetapi tidak sanggup mengetahuiperinciannya. Wahyu datang untuk menjelaskan perincian garis besar itu. Umpanya akalmengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui cara dan perinciannya. Wahyulah yang menjelaskan cara dan perincian kewajiban tersebut yaitu dengan salat lima kali sahari, zakat setahun sekali, puasa sebulan dalam setahun dan haji sekali seumur hidup. Dan tidak semua kebaikan dan kejahatan diketahui oleh akal, yaitu akal mengatakan bahwa memotong kambing adalah perbuatan tidak baik. Tetapi wahyu turun menjelaskan bahwa menyembelih binatang untuk keperluan tertentu, seperti memperingati peristiwa keagamaan bersejarah, memperkuat tali persaudaraan dan menunjukkanrasa kasih saying kepada fakir miskin adalah baik. Dan wahyu turun juga untuk memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima kalak. Wahyu juga datang untuk memperkuat apa yang telah diketahui akal. Maka jelas bahwa Mu’tazilah tidak membelakangkan wahyu, tetapi berpegang dan berhajat pada wahyu, demikian pula Maturudiyah Samarkand. Adapun Maturidiah Bukhara dan Asy’ariah fungsi wahyu lebih banyak dari pada Muktazilah dan Maturidiyah Samarkand.
Perbedaan pandangan tentang akal dan wahyu membawa perbedaan pula dalam pendapat teologi. Menurut Harun Nasution dalam bukunya Teologi Islam, menjelaskan bahwa akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akalnyalah maka manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain. Bertambah tinggi akal manusia bertambah tinggi kesanggupannya untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia bertambah rendah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain..Maka manusia dalam pandangan Muktazilah dan Maturidiah Samarkand merupakan manusia yang kuat (manusia dewasa dan dapat berdiri sendiri) sedang dalam pandangan Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara manusia lemah (merupakan anak yang belum dewasa dan masih banyak bergantung pada bimbingan orang tua). Muktazilah dan Maturidiah Samarkand mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatannya, sedangkan yang lain berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatannya. Muktazilahdalam memahami Al-Qur’an lebih banyak memakai penafsiran majazi atau metaforis. Sedangkan Asy’ariah banyak berpegang pada arti lafzi atau leterlek (tangan artinya tangan).
Menurut Harun Nasution, bahwa semua aliran teologi ini memperkuat pendapat mereka masing-masing, di samping membawa argument-argumen rasional, juga membawa ayat-ayat Al-Qur’an dianggap belum cukup kuat. Demikian juga semua aliran itu, termasuk Muktazilah dalam pemikiran teologis mereka tidak menentang teks ayat. Semua tunduk kepada nas atau teks Al-Qur’an, hanya nas itu diberi interpretasi yang sesuai dengan pendapat akal. Perbedaannya hanyalah bahwa golongan Muktazilah memberikan interpretasi yang lebih liberal dari golongan Asy’ariah. Dengan kata lain, penafsiran Asy’ariah dekat kepada arti lafzi sedang penafsiran Muktazilah jauh dari arti lafzi. Menurut Harun semua aliran mempergunakan akal dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Falsafah sebagai pemikiran sedalam-dalamnya tentang wujud, dan akal lebih banyak dipakai dan dianggap lebih besar dayanya dari pada yang dianggap fikih dan teologi. Sebagai akibatnya pendapat-pendapat keagamaan filosof lebih liberal dari pada pendapat-pendapat keagamaan fikih dan teolog. Sehingga timbul sikap salah menyalahkan bahkan kafir mengkafirkan. Filosof-filosof islam berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafah dan agama tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi, dan antara keduanya terdapat keharmonisan. Dalam memberikan penjelasan rasional tentang adanya wahyu, Menurut Harun, bahwa pertentangan antara wahyu dan akal, pada hakekatnya adalah pertentangan antara ulama-ulama mengenai pemahaman dan penafsiran nas atau teks wahyu. Sebagaian ulama memberikan penafsiran yang lebih atau kurang liberal dari penafsiran yang diberikan ulama lain. Pada umumnya penafsiran yang diberikan filosof lebih liberal dari pada yang diberikan teolog, dan penafsiran teolog lebih liberal dari penafsiran ulama fikih.
Penjelasan sedikit di atas tentang posisi akal dan wahyu di zaman islam klasik. Menurut Harun, kedudukan tinggi dari akal di zaman modern dapat dilihat dalam pemikiran Ahmad Khan. Bagi pemimpin pembaharuan dalam Islam di India ini hanya Al-Qur’an lah yang bersifat absolut dan harus dipercayai, dan yang lainnya bersifat relatif. Disamping Al-Qur’an ia mempunyai kepercayaan yang kuat kepada akal dan hukum alam. Menurutnya bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan kemajuan yang dihasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Juga Muhammad Abduh, yang berpendapat bahwa kedudukan akal dalam diri manusia adalah sama dengankedudukan nabi bagi sesuatu umat. Akal adalah sendi kehidupan dan dasar kelanjutan hidup manusia.
Jika timbul kesalahpahaman bahwa Islam adalah bersifat sempit dan tidak sesuai dengan prkembangan zaman, karenamereka menhetauhi Islam dari satu pandangan saja Menurut Harun bahwa akal di zaman modern ini mulai dipakai kembali dalam bidang keagamaan, mulai dipisahkan antara faham-faham lama yang tidak sesuai dengan akal dan ilmu pengetahuan modern dan faham lama yang sejalan dengan akal. Yang bertentangan dengan akal mulai ditinggilkan sedikit demi sedikit. Akal juga mulai dipakai kembali untuk memeberi interpretasi baru kepada ayat-ayat yang bersifat zanniartinya, interpretasi yang sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Diantara faham lama yang ditinggalkan adalah faham fatalisme atau faham kada dan kadar, bahwa segala sesuatu yang terjadi telah ditentukan Tuhan semenjak azal.
Manusia hanya menunggu suratan tangan yang telah ditentukan. Kini umat Islam menganut faham ikhtiyar yang dekat dengan faham qadariah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Faham statis lama yang telah banyak tinggalkan dan sebagai gantinya timbul faham baru yang dekat dengan faham dinamika.