Mengenai wahyu sebagai pasangan dari akal, maka kata Al Wahyu sebagai kata benda disebut enam kali dalam Al-Qur’an, selainn disebut berkali-kali kata kerjanya. Untuk lebih jelasnya perlu dirinci penyebutannya dalam al-Qur’an yaitu sebagai berikut Kata Al wahyu yang disebut enam kali tersebut adalah:
Wahyun disebut dua kali (S.2:45 dan S.53:4), kata wahyan Disebut satu kali (S.2:45), kata wahyina disebut dua kali (S.11:37 dan S.23:27), kata Wahyuh Disebut sekali (S.20:114). Selebihnya disebut dalam bentuk kata kerja dengan perincian sebagai berikut: awha disebut 8 kali, kata awhin Disebut sekali, kata awhina disebut 24 kali, kata nuwhi disebut 4 kali, kata nuwhihi Disebut 2 kali, kata nuwhiha disebut sekali, kata layuwhuna disebut sekali, kata yuwhin disebut 4 kali, kata yuwhi disebut sekali, kata uwhi disebut 11 kali, kata yuwh disebut sekali dan Al Wahyu disebut 4 kali. Dengan demikian kata Al Wahyu beserta mustaqotnya secara keseluruhan berjumlah 67 buah.
Muhammad Abduh dalam Risalah Tauhid, menyebutkan bahwa wahyu adalah berita dan juga pemberitahuan secara rahasia dalam arti isi beritanya. Kemudian oleh M.Abduh ditarik pada satu pengertian bahwa yang dikatakan wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan penuh, bahwa pengetahuan itudatangnya dari Allah baik dengan perantara ataupun tidak. Yang pertama itu ialah dengan perantaraan suara yang dapat didengarkan dengan telinga atau tanpa suara sama sekali. Bedanya dengan ilham adalah bahwa ilham itu perasaan, yangmeyakinkan hati, yang mendorongnya untuk mengikuti tanpa diketahui dari mana datangnya. Dan ilham itu hampir serupa dengan perasaan lapar, haus, duka dan suka.
|
Wahyu - Bismillah |
Prof.Dr.Hamka memberikan batasan wahyu sebagai berikut: wahyu secara sara’ adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi-nabi Nya, secara langsung maupun tidak langsung (dengan perantara malaikat) tetap dia faham dari apa yang telah diterimanya.wahyu itu adalah suatu kebenaran yang datang dari Allah kepada manusia tertentu. Wahyu itu terjadi karena adanya komunikasi yang langsung antara Tuhan dan manusia. Tetapi dalam menerima dan kesanggupan memahami diantara manusia berbeda-beda dikarenakan kadar kemampuannya yang berbeda-beda pula.M.Abduhh membagi wahyu dalam tiga bentuk berdasarkan kesanggupan manusiauntuk menerimanya, diantaranya:
1. Wahyu diberikan kepda kaum khawas dan juga diberikan kepada kaum awam, dan ini merupakan bagian yang paling besar.
2. Wahyu yang hanya ditujukan kepadakaum awam saja, menurut jumlahnya hanya sedikit.
3. Wahyu yang diturunkan kepada kaum khawas saja dan jumlahnya paling sedikit dibanding yang kedua.
Bagi kaum khawas wahyu bukan merupakan informasi yang baru, tetapi malah menjadi penyempurna pengetahuannya karena ketinggian akalnya. Sedangkan bagi kaum awam wahyu merupakan Agama datang dengan ajaran-ajaran zuhud, yang menjauhkan manusia dari kehidupan dunia dan memusatkan perhatian pada kehidupan yang lebih mulia di akhirat. Kemudian sampailah umat manusia pada masa dewasanya dan agamapun datang berbicara dengan akal bukan lagi hanya kepada perasaannya.Agamapun mulai memperlakukan bangsa-bangsa ,sebagai manusia yang telah dewasa.
Bagi
Muhammad Abduh islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan agama didasarkan pada akal. Dalam pendapatnya, pemikiran rasional adalah jalan untuk memperoleh iman sejati. Iman, tidaklah sempurna, kalau tidak didasarkan atas akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akallah yang menjadi sumberkeyakinan pada Tuhan, ilmu serta kemahakuasaan-Nya dan pada Rasul.
Maka dalam Islamlah “agama dan akal buat pertama kalinya menjalin hubungan persaudaraan”. Di dalam persaudaraan ittu akal menjadi tulang punggung agama yang terkuat dan wahyu sendinya yang terutama. Antara wahyu dan akal tidak bisa ada pertentangan. Mungkin agama membawa sesuatu yang di luar kemampuan manusia memahaminya, tetapi tidak mungkin agama membawa sesuatu yang mustahil menurut akal.
Benar bahwa akal harus percaya kepada semua apa yang dibawa wahy dan mungkin ada diantaranya yang tidak bisa diketahuinya hakikatnya, tetapi begitupun akal tidak wajib menerima apa yang mustahil, seperti bersatunya dua yang bertentangan, atau adanya dua yang berlawanan di satu tempat pada waktu yang sama, karena agama suci dari hal-hal yang serupa itu. Jika wahyu membawa sesuatu yang pada lahirnya kelihatan bertentangan dengan akal, demikian ia lebih lanjut menjelaskan, wajib bagi akal untuk meyakini bahwa apa yang dimaksud bukanlah arti harfiah, akal kemudian mempunyai kebebasan memberi interpretasi kepada wahyu atau menyerahkan maksud sebenarnya dari wahyubersangkutan kepada Allah.
Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran Al-Qur’an. Al-Qur’an kata M.Abduh memerintahkan kita untuk berfikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid. Al-Qur’an tidak semata-mata memberi perintah-perintah, tetapi mendorong manusia berfikir.
Perbedaan manusia dari segi akal menurut Muhammad Abduh, bahwa bukan lagi ditekankan pada taqwanya, tetapi pada kekuatan akal, Tauhid pada penjelasannya, membuat manusia hamba hanya bagi Allah dan bebas dari perbudakan lain, manusia semuanya sama, tidak ada perbedaan antara mereka kecuali dalam amal, dan tidak ada yang lebih mulia kecuali karena ketinggian akal dan pengetahuan, dan yang mendekatkan manusia kepada Tuhan hanyalah kesucian akal dari keraguan.
Kekuatan akal dalam sistem tologinya, bahwa Al-Qur’an mengajarkan penggunaan akal dan meneliti fenomena alam untuk sampai kepada rahasia-rahasia yang terletak di belakangnya. Dengan cara inilah akal sampai kepada kesimpulan bahwa bagi alam nyata ini harus ada pencipta. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa ada soal-soal keagamaan, seperi adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya mengirim Rasul tidak dapat diyakini, kecuali melalui pertolongan akal.
Pengiriman rasul, diperlukan bukan untuk mengetahui adanya Tuhan, tetapi untuk mengetahui sifat-sifat-Nya. Tidak dapat dielakkan bahwa akal dengan sendirinya dapat sampai kepadakeyakinan tentang adanya Tuhan. Disamping adanya Tuhan, akal juga dapat mengetahui sifat-sifat Tuhan. Yang Pada Esensi-Nya Mesti Ada, yaitu harus qadim, tidak mempunyai permulaan pada wujudnya. Yang Pada Esensi-Nya Mesti ada, ada dengan sendiri-Nya datidak berhajat kepada pencipta. Ia juga mesti baqi, tidak mempunyai kesudahan dalam wujud, dalam arti ia tidak bisa menjadi tiada. Ia juga harus tidak tersusun, karena jika ia mempunyai bahagian-bahagian, wujud nya harus didahului oleh wujud bahagian-bahagian Nya.
Yang pada Esensi-Nya mesti Ada, karena merupakan wujud tertinggi dan sumber dari segala wujud, harus mempunyai sifat-sifat yang paling sempurna. Hayat mempu nyai sifat yang paling sempurna dan oleh karena itu Tuhan harus hidup, sungguhpun hayat-Nya berbeda dengan hayat yang mungkin ada. Jika ia tidak mempunyai sikap hidup, sebahagian dari yang mungkin ada akan mempunyai wujud yang lebih mulia daripada Nya. Ia harus mempunyai sifat ilmu, karena ilmu adalah juga sifat kesempurnaan. Bahwa Allah mempunyai ilmu terbukti dari adanya peraturan yang tepat lagi sempurna yang mengatur alam ini. Karena Allah mempunyai ilmu, Ia dengan sendirinya harus pula mempunyai kemauan. Ia juga mempunyai kekuasaan, qudrah karena yang menciptakan sesuai dengan ilmu dan kemauan Nya, harus mempunyai kekuasaan. Ia harus pula mempunyai kebebasan memilih (ikhtiyar), artinya ialah melaksanakan kekuasaan sesuai dengan pegetahuan dan kemauan. Ia adalah pencipta bebas, karena Allah adalah yang tersempurna dari semua maujudatyang lain, Allah harus pula Esa dan unik. Demikianlah penjelasan bagaimana akal dapat mengetahui sifat-sifat Tuhan. Ada sifat-sifat lain yang di bawa oleh wahyu karena akal tidak dapat mengetahuinya, yang dimaksud adalah sifat yang berbentuk jasmani, seperti berbicara, melihat, mendengar. Karena menurut pendapat akal, sifat-sifat jasmani tak dapat diletakkan kepada Allah yang bersifat rohani, tanpa bicara, melihat dan mendengar, Allah bisa mencapai kesempurnaan.
M.Abduh menjelaskan, bahwa ada perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kesenangan tetapi mempunyai akibat buruk seperti makan dan minum yang berlebihan. Perbuatan semacam ini merusak kesehatan tubuh dan melemahkan akal. Kesenangan seperti ini dikategorikan buruk. Sebaliknya, ada perbuatan-perbuatan yang menimbulkan rasa sakit, tetapi dimasukkan dalam kategori baik, umpamanya bekerja keras untuk mencari rezeki guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, mengekang hawa nafsu untuk memelihara kesehatan tubuh dan akal.
Perbuatan yang lain menimbulkan kesenangan tetapi termasuk buruk, adalah mengambil harta orang lain. Semua perbuatan ini menurut Abduh, dapat diketahui baik buruknya oleh akal. Akal dapat membedakan yang membawa manfaat dan membawa kemudaratan. Akal juga dapat mengetahui keadaan hidup manusia di alam gaib.
Jelas bahwa menurut M.Abduh, tidak semua yang baik atau tidak semua yang buruk bisa diketahui oleh akal, tetapi memerlukan pertolongan wahyu. Dengan demikian wahyu menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Dan wahyu mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Bahwa akal tidak mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua ini dapat diketahui hanya dengan perantaraan wahyu. Dan wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Wahyu datang untuk menolong dan meyakinkan akal bahwa apa yang diketahuinya melalui usahanya sendiri tentang Wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya dan sebagainya adalah benar. Mengetahui adanya Tuhan,umpamanya adalah baik dan wahyu datang memperkuat kenyataan ini. Wahyu datang bukan memberi informasi tentang baiknya pengetahuan mengenai adanya Tuhan.
Wahyu mempunyai dua fungsi, fungsi informasi dan konfirmasi. Menurut M.Abduh. Informasi yaitu sebagai pengetahuan bagi manusia dan konfirmasi sebagai pembenaran atas pengetahuan yang telah diperoleh oleh manusia. Dalam pendapat M.Abduh wahyu mempunyai dua fungsi pokok pertama timbul dari keyakinan bahwa jiwa manusia akan terus ada dan kekal sesudah tubuh mati. Keyakinan akan adanya hidup kedua sesudah hidup pertama ini, bukanlah hasil dari pemikiran yang sesat dari akal dan bukan pula suatu khayalan. Fungsi kedua mempunyai kaitan erat dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk social. Yaitu untuk terwujudnya hidup social damai dan rukun.
Lebih lanjut M.Abduh menjelaskan bahwa wahyu menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya. Dalam mendidik manusia untuk hidup dengan damai dengan sesamanya dan dalam membukakan rahasia cinta yang menjadi dasar ketentraman hidup dalam masyarakat. Selanjutnya wahyu membawa syariat yang mendorong manusia untuk melaksanakan kewajiban seperti kejujuran, berkata benar, menepati janji dan sebagainya.
Hal di atas adalah fungsi pokok wahyu menurut M.Abduh, tetapi disamping itu ada fungsi lain dariwahyu yang dapat disimpulkan dari keterbatasan yang ia tentukan terhadap akal. Wahyu menolong akal dalam menyempurnakan pengetahuannya tentang Tuhan, sifat-sifat-Nya, kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan dan kebaikan serta kejahatan. Sungguhpun akal dapat mengetahui adanya Tuhan, dapat mengetahui bahwa manusia wajib beribadat dan berterimakasih kepada-Nya tetapi akal tak sanggup mengetahui semua sifat-sifat Tuhan dan tak dapat mengetahui cara yang sebaiknya beribadat kepada-Nya, wahyulah yang mejelaskankepada akal cara beribadat kepada-Nya.
Fungsi lain dari wahyu dalam pendapat M.Abduh adalah menguatkan pendapat akal melalui sifat sakral dan absolute yang terdapat dalam wahyu. Sifat sacral dan absolutlah yang membuat orang mau tunduk kepada sesuatu. Sedangkan dalam masalah qadariah, kebebasan manusia dalam kehendak serta berbuat dan jabariahfatalisme atau faham kada dan kadar, M.Abduh berpendapat bahwa manusia selain mempunyai daya berfikir, juga mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang mesti ada dalam diri manusia. Kalau sifat ini hilang maka maka dia bukan lagi manusia. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauan sendiri dan kemudian selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
Jelas bahwa menurut M.Abduh manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Manusia tidak berbuat sesuatu kecuali setelah mempertimbangkan akibat-akibatnya. Maka sejalan dengan keyakinannya bahwa manusia, menurut hukum alam ciptaan Tuhan, mempunyai kebebasan dalam kemauan. Dan manusia mempunyai daya dalam dirinya sendiri untuk mewujudkan perbuatan yang dikehendakinya.