Prosedur Poligami - Mengenai prosedur atau tata cara ijin poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti, Namun di Indonesia dengan Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tentang prosedur poligami, yaitu:
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat ijin dari pengadilan agama, yang pengajuannya telah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa ijin pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hukum.
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai poligami, alasan-alasan yang menjadi dasar adalah sama. Baik warga sipil, PNS, POLRI, TNI, atau pejabat Negara tetap harus mendasarkan poligami, minimal pada salah satu alasan poligami. Hal ini, sedikit berbeda pada tahap selanjutnya. Pada tahap prosedur yang harus ditempuh bagi suami yang akan berpoligami, antara masyarakat sipil/umum, PNS, POLRI, TNI berbeda-beda.
|
Prosedur Poligami |
Adapun prosedur poligami bagi masyarkat sipil/umum yaitu sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 4ayat (1), yaitu sebagai berikut:
Pasal 4
Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya.
Surat permohonan yang diajukan, yaitu berupa surat permohonan tertulis, bukan dalam bentuk lisan. Jika pemohon tidak dapat menulis atau buta huruf, maka pihak pengadilan atau penasehat hukum dapat memberikan bantuan terhadap kesulitan tersebut. Pengajuan permohonan ijin poligami secara tertulis juga sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975, pasal 40 sebagai berikut:
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan surat tertulis kepada pengadilan.
Selain tertulis, surat permohonan harus berisi identitas yang jelas dari kedua pihak, alasan-alasan yang menjadi dasar permohonan ijin poligami, dan dilengkapi dengan lampiran-lampiran penting, seperti terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 5 ayat (1), yaitu:
Pasal 5
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka.
Lampiran-lampiran penting sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) poin a, b dan c, harus dipenuhi seluruhnya. Artinya, ketiga-tiganya harus disertakan dan dimasukkan bersama surat permohonan. Pemenuhan ketiga surat/lampiran inilah yang disebut sebagai syarat kumulatif. Artinya, pemohon wajib melampirkan ketiga surat keterangan/lampiran tersebut.
Setelah surat permohonan masuk ke Pengadilan, prosedur selanjutnya sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 pasal 41, sebagai berikut:
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
(1) Ada tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi.
a. Bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan
(2) Ada tidaknya persetujuan dari isteri baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.
(3) Ada tidaknya kemampuan suami untuk menjamin perluan hidup isteri-isteri dan anak -anaknya dengan memperlihatkan:
a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
b. Surat keterangan pajak penghasilan, atau
c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan
(4) Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan persyaratan dari suami yang dibuat dalam bentuk untuk ditetapkan untuk itu.
Adapun dalam kompilasi hukum islam, pembahasan tentang syarat dan prosedur poligami dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 55
(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu orang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat ijin dari Pengadilan Agama
(2) Pengajuan permohonan ijin dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa ijin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 59
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan ijin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian ijin setelah memeriksa dan mendengan isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Sedangkan prosedur poligami bagi PNS, diatur sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, dan Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) Nomor 08/SE/1983, yaitu sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh ijin lebih dahulu dari pejabat,
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diijinkan untuk menjadi isteri kedua, ketiga, keempat dari pegawai negeri sipil
(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua, ketiga dan keempat dari bukan pegawai negeri sipil wajib mendapat ijin terlebih dahulu dari pejabat.
(4) Permintaan ijin sebagamana maksud dalam ayat (1) dan ayat
(3) diajukan secara tertulis.
(5) Dalam surat permintaan ijin dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan ijin untuk beristeri lebih dari seseorang atau untuk menjadi isteri kedua, ketiga, dan keempat.
Pasal 5
(1) Permintaan ijin sebagaimana termaksud dalam pasal 3 dan pasal 4 diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki.
(2) Setiap atasan yang menerima permintaan ijin dari pegawai negeri sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau beristeri lebih dari seorang maupun untuk menjadi isteri kedua, ketiga, dan keempat wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 3(tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan ijin dimaksud.
Pasal 6
(1) Pejabat yang menerima permintaan ijin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua, ketiga, dan keempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan ijin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
(2) Apabila alasan-alasan yang dikemukakan dalam permintaan ijin tersebut kurang meyakinkan, maka pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil tersebut atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.
(3) Sebelum mengambil keputusan, pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasihat.
Pasal 10
(1) Ijin untuk beristeri lebih dari seorang hanya diberikan oleh pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dengan ayat (2) dan ayat (3) pasal ini.
(2) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud ayat (1) ialah:
a. Ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasil yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
c. Ada jaminan dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3) Ijin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh pejabat apabila:
a. Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b. Tidak memenuhi syarat alternatif sebagamana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);
c. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat, dan atau;
e. Ada kemungkinan menggangu tugas-tugas kedinasan.
Pasal 11
(1) Ijin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua, ketiga dan keempat sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (3), hanya diberikan oleh pejabat apabila;
a. Ada persetujuan tertulis dari isteri bakal suami,
b. Bakal suami mempunyai penghasila yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibutuhkan dengan surat keterangan pajak penghasilan, dan
c. Ada jaminan tertulis dari calon suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(2) Ijin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua, ketiga dan keempat sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat
(3), hanya diberikan oleh pejabat apabila:
a. Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan atau calon suaminya;
b. Tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud ayat (1);
c. Bertentangan dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku, dan atau;
d. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
Sedangkan syarat dan prosedur poligami bagi POLRI dan TNI, hampir sama sebagaimana prosedur poiligami bagi PNS, hanya saja pejabat berwenang yang memberi ijin, menyesuaikan pada jabatan di jajaran POLRI dan TNI masing-masing.