Newmont
Mining Corporation (NMC), merupakan
perusahaan penghasil emas
terkemuka yang beroperasi di lima benua. Didirikan pada Tahun 1921 di kota New York dan didaftarkan pada Bursa Saham New
York (NYSE) sejak Tahun 1925, Newmont juga terdaftar di Bursa Saham Australia
dan Toronto, dengan domisili hukum di Denver, Colorado, Amerika Serikat. Di
Indonesia NMC mendirikan
dua anak perusahaan
yaitu Newmont Minahasa
Raya (MNR) di
Sulawesi Utara dan
Newmont Nusa Tenggara (NTT) di Nusa Tenggara. Sebagai
perusahaan publik yang terdaftar di bursa saham terkemuka di dunia Newmont terikat pada standar profisiensi yang tinggi
serta kepemimpinan di
bidang-bidang manajemen lingkungan, kesehatan dan keselamatan bagi para karyawannya dan masyarakat
sekitar.
Sebagai anak perusahaan dari Newmont Mining Corporation, PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan Newmont Nusa Tenggara (NNT)
menandatangani Kontrak Karya dengan Pemerintah
Indonesia, juga terikat untuk menerapkan standar profisiensi yang tinggi serta kepemimpinan di
bidang-bidang manajemen lingkungan,
kesehatan dan keselamatan bagi para karyawannya
dan masyarakat sekitar.
Salah satu bagian dari proses penaatan terhadap standard profisiensi yang tinggi adalah komitmen PT NMR dan NNT
untuk mematuhi hukum dan peraturan yang
berlaku. Lebih dari 30-40 izin atau persetujuan mulai dari yang sederhana seperti izin untuk mempekerjakan
seorang ekspatriat sampai ke izin untuk
membuang tailing,
telah dipenuhi.. Seperti halnya
perseroan terbatas lainnya di Indonesia, PT NMR dan NNT terdiri dari para pemegang saham, dewan komisaris dan dewan
direksi. Dewan Direksi mengadakan
pertemuan per caturwulan
dalam masa satu tahun,
yang diikuti dengan pertemuan dewan komisaris, sebagai tambahan dari Rapat Umum Pemegang Saham. Dewan direksi yang
terdiri dari 4 orang direktur
bersama-sama dengan Richard Bruce Ness, masing-masing memiliki fungsi, tugas dan tanggung jawabnya. Dalam masa
operasional, salah satu direktur
ditempatkan di lokasi pertambangan yang sekaligus menduduki posisi sebagai
general manager dan Kepala Teknik Tambang, dengan fungsi utama mengatur dan menetapkan keadaan yang
dipertanggungjawabkan untuk semua masalah
yang berhubungan dengan Kesehatan kerja,
Keselamatan dan Lingkungan, sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi
No.555K/26/M.PE/1995 perihal Kesehatan, Keselamatan Tenaga Kerja, dan Lingkungan.
Perkembangan tingkat kehidupan ekonomi masyarakat yang terus
berkembang, juga berpengaruh pada perkembangan dunia usaha. Iklim usaha
semakin mengalami kemajuan
yang pesat. Hal
ini juga diikuti
dengan kemajuan di
bidang teknologi, yang mengakibatkan semakin mutakhirnya teknologi yang digunakan
oleh kalangan dunia usaha
tersebut. Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat
ditandai dengan munculnya berbagai
perusahaan yang berskala
produksi besar dan menyerap
banyak tenaga kerja. Bidang-bidang usaha yang tersedia juga semakin banyak sehingga semakin membuka lapangan
pekerjaan bagi masyarakat. Apalagi didukung dengan adanya kebijakan
Otonomi Daerah, yang menyebabkan daerah-daerah juga turut berlomba-lomba
untuk memajukan dirinya dengan cara
memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan
untuk beroperasi di daerahnya.
Kemajuan yang seperti
ini tentunya membawa
dampak yang positif bagi perkembangan
dunia investasi dan
bisnis di Indonesia. Selain itu turut berperan serta
dalam peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Namun, yang sangat disayangkan, tidak jarang perusahaan-perusahaan yang ada terlalu terfokus
kepada kegiatan ekonomi dan
produksi yang mereka lakukan, sehingga
melupakan keadaaan masyarakat di sekitar
wilayah beroperasinya dan
juga melupakan aspek-aspek
kelestarian lingkungan. Padahal, sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 28H ayat 1,
yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Hak yang sama juga diatur di dalam Pasal 9
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai berikut: Ayat (2) “Setiap orang berhak hidup
tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.” Ayat (3) “Setiap
orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Dari
kedua aturan hukum tersebut dapat dilihat dengan jelas, bahwa masyarakat memiliki hak akan kehidupan sosial yang baik dan atas lingkungan
hidup yang sehat.
Selanjutnya, kewajiban untuk melakukan pelestarian lingkungan
hidup juga diatur di dalam Pasal 65 Undang-Undang
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
yang menyatakan : “Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian haak asasi manusia.” Di
lain pihak, seiring
dengan perkembangan jaman,
juga mendorong masyarakat untuk menjadi semakin kritis dan menyadari
hak-hak asasinya, serta berani mengekspresikan tuntutannya
terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia.
Hal ini menuntut para pelaku bisnis
untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung jawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk
memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya,
melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.
CSR adalah suatu konsep yang bermaterikan
tanggung jawab sosial dan
lingkungan oleh perusahaan kepada masyarakat luas, khususnya di wilayah perusahaan tersebut
beroperasi. Misalnya, CSR bisa berupa program yang
memberikan bantuan modal kerja lunak bagi para petani, nelayan, pengusaha
kecil, pemberian beasiswa bagi pelajar dan
mahasiswa terutama yang tidak mampu dan berprestasi, perbaikan infrastruktur jalan, gedung-gedung sekolah,
sarana keagamaan dan olah raga, pendidikan
dan pelatihan keperempuanan
dan pemuda, serta pemberdayaan masyarakat adat.
Termasuk pula memelihara
kondisi alam agar tetap dalam
kondisi yang sehat dan seimbang. Pada posisi demikian, perusahaan telah
ikut serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Economic
Growth)
masyarakat dari segi
ekonomis dan ekologis.
Implementasi
CSR oleh perusahaan-perusahaan pada umumnya dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Yang pertama adalah terkait dengan komitmen pimpinannya. Perusahaan yang
pimpinannya tidak tanggap dengan
masalah-masalah sosial dan lingkungan, kecil kemungkinan akan mempedulikan
aktivitas sosial. Kedua,
menyangkut ukuran dan kematangan
perusahaan. Perusahaan besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberikan kontribusi ketimbang
perusahaan kecil dan belum mapan.
Namun, bukan berarti perusahaan menengah, kecil dan belum mapan tersebut tidak
dapat menerapkan CSR.
Ketiga, regulasi dan sistem
perpajakan yang diatur pemerintah. Semakin overlap-nya regulasi dan penataan pajak akan membuat semakin kecil
ketertarikan perusahaan untuk
memberikan donasi dan sumbangan sosial kepada masyarakat. Sebaliknya, semakin kondusif regulasi atau
semakin besar insentif pajak yang diberikan,
akan lebih berpotensi
memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat.
Program CSR dapat dilihat sebagai suatu
pertolongan dalam bentuk rekrutmen tenaga kerja dan memperjakan masyarakat sekitar,
terutama sekali dengan adanya persaingan kerja diantara para lulusan sekolah. Akan terjadi peningkatan kemungkinan untuk ditanyakannya kebijakan CSR perusahaan pada rekrutmen tenaga
kerja yang berpotesi, maka dengan
memiliki suatu kebijakan
komprehensif akan menjadi suatu nilai tambah
perusahaan. CSR dapat
juga digunakan untuk membentuk suatu
atmosfir kerja yang
nyaman diantara para
staf, terutama apabila mereka dapat dilibatkan dalam "penyisihan
gaji" dan aktifitas "penggalangan
dana" atapun suka relawan. Perubahan pada tingkat kesadaran
masyarakat memunculkan kesadaran baru
tentang pentingnya melaksanakan Corporate
Social Responsibility (CSR).
Pemahaman itu memberikan
pedoman bahwa korporasi bukan
lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja sehingga ter-alienasi atau
mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat
di tempat mereka bekerja, melainkan suatu entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan
lingkungan sosialnya. Hal yang sama
juga terjadi pada aspek lingkungan hidup, yang menuntut perusahaan untuk lebih
peduli pada lingkungan
hidup tempatnya beroperasi. Sebagaimana hasil
KTT Bumi (Earth Summit)
di Rio de
Janerio, Brasil, pada tahun 1992, yang
menegaskan mengenai konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) sebagai suatu hal yang bukan hanya menjadi kewajiban negara,
namun juga harus diperhatikan
oleh kalangan korporasi. Konsep pembangunan
berkelanjutan menuntut korporasi, dalam menjalankan usahanya, untuk turut memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
1. Ketersediaan dana;
2. Misi lingkungan;
3. Tanggung jawab sosial;
4. Terimplementasi dalam kebijakan
(masyarakat, korporat, dan pemerintah);
5. Mempunyai nilai keuntungan/manfaat).
Substansi
keberadaan Prinsip Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan bagi perusahaan
(Corporate Social
Responsibility; selanjutnya
disebut CSR), adalah dalam rangka memperkuat kemampuan perusahaan untuk beradaptasi
dengan lingkungannya, komunitas
dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasioal, maupun
global. Di
dalam
pengimplementasiaannya,
diharapakan agar unsur-unsur perusahaan,
pemerintah dan masyarakat
saling berinteraksi dan mendukung, supaya CSR dapat diwujudkan secara komprehensif,
sehingga dalam pengambilan keputusan, menjalankan
keputusan,dan pertanggungjawabannya
dapat dilaksanakan bersama. Peraturan
pemerintah pada beberapa negara mengenai lingkungan hidup dan
permasalahan sosial
melatarbelakangi lahirnya konsep CSR.
Beberapa investor dan perusahaan manajemen investasi telah mulai memperhatikan kebijakan CSR dari
suatu perusahaan dalam membuat
keputusan investasi mereka,
sebuah praktek yang
dikenal sebagai "Investasi bertanggungjawab sosial" (socially responsible investing).
CSR berhubungan
erat dengan pembangunan
berkelanjutan" , dimana ada
argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus
mendasarkan keputusannya tidak
semata hanya berdasarkan
faktor keuangan belaka
seperti halnya keuntungan
atau deviden melainkan
juga harus berdasarkan
konsekwensi sosial dan lingkungan
untuk saat ini maupun untuk jangka panjang. Diskursus CSR dewasa ini, mengalami perkembangan
yang cukup tematik, yang ikut mempengaruhi
perusahaan-perusahaan untuk melaksanakan CSR.
Salah satu pendorongnya
adalah perubahan dan pergeseran
paradigma dunia usaha, untuk tidak semata-mata mencari keuntungan,
tetapi turut pula
bersikap etis dan
berperan dalam penciptaan investasi sosial.
Di antaranya, yang lazim dilakukan oleh perusahaan adalah melakukan kegiatan karitatif, filantropis, dan meyelenggarakan
program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat (community development). Di sisi lain, pemicunya adalah ketika disahkannya
Undang-Undang No. 40 Iahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) terutama Pasal 74 yang mewajibkan perseroan untuk menyisihkan sebagian laba
bersih dalam menganggarkan
dana pelaksanaan tanggungjawab social terutama bagi
perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber
daya alam. Namun,
UU PT secara
eksplisit tidak mengatur berapa jumlah nominal dan atau berapa besaran persen laba bersih dari
suatu perusahaan yang harus disumbangkan, karena pengaturan lebih lanjut merupakan domain
daripada Peraturan Pemerintah (PP) sebagai manifestasi dari
UU, dan saat
ini PP tersebut
masih dibahas oleh Pemerintah.