Pelaporan mengenai
penyelenggaraan CSR
mulai menghiasi media massa.
Setidaknya sepanjang Januari 2007, terdapat dua laporan
CSR yang dimuat di harian besar ibukota. Bank Negara Indonesia (BNI) 1946, melaporkan kegiatan CSR-nya kepada khalayak melalui harian Kompas (15/01/07) dengan tajuk Dari Masyarakat, Kembali ke Masyarakat, sepanjang empat
halaman penuh. Disusul oleh
Bank Indonesia (BI) mengambil satu halaman
penuh harian Tempo (31/01/07)
menurunkan laporan kegiatan CSR-nya
dengan tajuk: CSR=Cara Sejahterakan Rakyat.)
Jika kita menelaah lebih tajam laporan CSR BNI 46 dan BI di atas, untuk sementara, wacana terkuat yang berkembang adalah memahami CSR hanya sebagai kegiatan filantropis. Meski ada kesadaran bahwa kegiatan CSR bukan sekadar
kegiatan karitatif menyadari bahwa
CSR adalah mencoba berkontribusi pada pembangunan dan pengembangan masyarakat secara
berkelanjutan, akan tetapi hal ini agak bertabrakan dengan pilihan program yang diselenggarakannya.
Program CSR masih didominasi oleh kegiatan bantuan infrastruktur
dan donasi untuk
berbagai kegiatan keagamaan, penanggulangan bahaya
kesehatan dan bantuan
untuk penanganan bencana. Jika pun ada
program jangka panjang seperti program pembinaan kualitas pendidikan dan
pemeliharaan kesehatan lingkungan, terasa masih rentan dan diragukan keberlanjutannya. Pandangan ini dilatarbelakangi
oleh besarnya kecenderungan perusahaan
melakukan program CSR-nya sendirian. Belum tampak
adanya kesadaran untuk
menyelenggarakan kemitraan
strategis dengan unsur masyarakat sipil, Pemerintah Daerah dan sejumlah institusi
lain, baik dalam
hal kesesuaian dengan
perencanaan jangka panjang
pembangunan daerah, maupun dalam hal matching resources dengan pelaku
bisnis lain dan pemerintah daerah.
Pola kerjasama kemitraan jangka panjang ini penting mendapat tekanan karena
substansi tanggungjawab kesinambungan
kehidupan sosial, ekonomi dan
lingkungan merupakan tanggungjawab
bersama. Boleh jadi apa dilaporkan oleh dua institusi perbankan di atas
adalah sebuah laporan mengenai keharusan menyelenggarakan program
bina lingkungan yang diwajibkan oleh Kementrian BUMN. Jika perspektif
ini yang dipegang, maka kegiatan
filantropis itu memang sebuah bentuk ketaatan
perusahaan pada peraturan negara.
Ini merupakan bagian
dari kewajiban yang setara dengan
kewajiban-kewajiban penyelenggaraan aturan negara lainnya. Lepas dari kepatuhan terhadap peraturan atau diselenggarakan
atas motivasi lain, yang jelas dua perusahaan
itu memahaminya sebagai
sebuah bentuk kegiatan CSR. Untuk mampu memaksimumkan dampak positif dan
meminimumkan dampak negatif
kehadiran perusahaan, maka
implementasi CSR harus mendukung tujuan-tujuan core business perusahaan. Untuk itu, Philip
Kotler dan Nancy
Lee, memberikan catatan
yang menarik untuk digarisbawahi: “bahwa di dalam
suatu perusahaan sekali pun, gagasan dan pelaksanaan CSR
itu patut diperjuangkan
dan dipasarkan pada
staf-staf perusahaan yang lain baik secara
horizontal (kepada bagian lain) maupun secara
vertikal (kepada bawahan atau atasan).”
Sebagai salah satu instrumen untuk mendorong mewujudkan gagasan pemerataan ekonomi, keadilan sosial dan pemeliharaan lingkungan yang berkelanjutan, implementasi CSR
merupakan tanggungjawab perusahaan dalam arti
menyeluruh. Implementasi yang
baik dari instrumen
ini membutuhkan penjabaran nilai-nilai etika
sosial dan lingkungan lebih jauh dalam organisasi perusahaan.