Yang dimaksud dengan kata-kata
"jarimah" ialah, larangan-larangan syara' yang diancam oleh Allah
dengan hukuman hadatau ta'zir. Larangan-larangan tersebutadakalanya berupa
mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan. Dengan kata-kata "syara'" pada pengertian tersebut di
atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimahapabila
dilarang oleh syara'. Juga berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai
jarimah, kecuali apabila diancamkan hukuman terhadapnya. Di kalangan fuqaha,
hukuman biasa disebut dengan kata-kata "ajziyah" dan mufradnya,
"jaza". Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian
tindak-pidana, (peristiwa pidana, delik) pada hukum-pidana positif.
Korupsi (bahasa arab: ikhtilas)
sebagai jarimahadalah merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
dan/atau bersama-sama beberapa orang secara profesional yang berkaitan dengan
kewenangan atau jabatan dalam suatu birokrasi pemerintahan dan dapat merugikan
departemen atau instansi terkait. Lain halnya perbuatan mencuri yang adakalanya
dilakukan langsung dalam bentuk harta dan adakalanya pula dalam bentuk
administrasi. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan pelanggaran bidang
administrasi seperti memberikan laporan melebihi kenyataan dana yang
dikeluarkan merupakan jenis perilaku yang merugikan pihak yang berkaitan dengan
laporan yang dibuatnya. Perbuatan semacam ini jika berkaitan dengan jabatan
atau profesi dalam birokrasi jelas merugikan departemen atau instansi terkait.
Perbuatan dimaksud, disebut korupsi dan pelaku akan dikenai hukuman pidana
korupsi.
Hukum Islam disyariatkan Allah
SWT untuk kemaslahatan manusia. Di antara kemaslahatan yang hendak diwujudkan
dengan pensyariatan hukum tersebut ialah terpeliharanya harta dari pemindahan
hak milik yang tidak menurut
prosedur hukum, dan dari pemanfaatannya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah
SWT. Oleh karena itu, larangan mencuri, merampas, mencopet, dan sebagainya
adalah untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan yang tidak sah. Larangan
menggunakan harta sebagai taruhan judi dan memberikannya kepada orang lain yang
diyakini akan menggunakannya dalam berbuat maksiat, karena pemanfaatannya tidak
sesuai dengan kehendak Allah SWT, menjadikan kemaslahatan yang dituju dengan
harta itu tidak tercapai.
Ulama fikih telah sepakat
mengatakan bahwa perbuatan korupsi adalah haram (dilarang) karena bertentangan
dengan maqasidasy-syari'ah (tujuan hukum Islam). Keharaman perbuatan korupsi
dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut.
a)
Perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan
penipuan yang secara langsung merugikan keuangan negara (masyarakat). Allah SWT
memberi peringatan agar kecurangan dan penipuan itu dihindari, seperti pada firman-Nya:
"Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan rampasan perang.
Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang itu, maka pada
hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian
tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan
(pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya" (QS.3:161). Nabi Muhammad SAW telah menetapkan suatu
peraturan bahwa setiap kembali dari
peperangan, semua harta rampasan baik yang kecil maupun yang besar jumlahnya
harus dilaporkan dari dikumpulkan di hadapan pimpinan perang, kemudian
Rasulullah SAW membaginya sesuai dengan ketentuan bahwa 1/5 dari harta rampasan
itu untuk Allah SWT, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu
sabil, sedangkan sisanya (4/5 lagi) diberikan kepada mereka yang ikut berperang
(QS.8:41). Nabi Muhammad SAW tidak
pernah menggunakan jabatannya sebagai panglima perang untuk mengambil harta
rampasan di luar dari ketentuan ayat ini. alam satu riwayat diterangkan bahwa
ayat di atas turun berkenaan dengan hilangnya sehelai kain wol berwarna merah
yang diperoleh dari rampasan perang. Setelah dicari, kain itu tidak ada dalam
catatan inventaris harta rampasan, ada yang berkata: "Mungkin Rasulullah
SAW sendiri yang mengambil kain itu untuk beliau." Agar tuduhan itu tidak
menimbulkan keresahan umat Islam, Allah SWT menurunkan ayat tersebut yang
menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mungkin berlaku curang/korupsi dalam
hal harta rampasan. Ayat tersebut
mengandung pengertian bahwa setiap perbuatan curang, seperti korupsi akan
diberi hukuman yang setimpal kelak di akherat. Hal itu memberi peringatan agar
setiap pejabat tidak terlibat dalam perbuatan korupsi. Dalam sejarah Islam
tercatat peristiwa-peristiwa yang mengandung arti bahwa Islam melarang keras
perbuatan korupsi. Misalnya, pengawas perbendaharaan negara (baitulmal) di masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63 H/682 M-102 H/720 M) memberikan sebuah kalung
emas kepada putri khalifah, karena ia menganggap hal itu patut untuk menghargai
pengorbanan khalifah. Setelah mengetahui hal itu, Umar bin Abdul Aziz marah dan
memerintahkan agar saat itu juga kalung tersebut dikembalikan ke baitulmal,
karena kalung tersebut adalah milik negara dan hanya untuk negara-lah harta itu
boleh digunakan.
b)
Perbuatan korupsi yang disebut juga sebagai
penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atauorang lain adalah
perbuatan mengkhianati amanah yang diberikan masyarakat kepadanya. Berkhianat
terhadap amanat adalahperbuatan terlarang dan berdosa seperti ditegaskan Allah
SWT dalam Al-Qur'an: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui" (QS.8:27).
Pada ayat lain Allah SWT memerintahkan untuk memelihara dan menyampaikan amanat
kepada yang berhak .menerimanya: "Sesungguhnya Allah menyuruh |kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya..." (QS.4:58). Kedua
ayat ini mengandung pengertian bahwa mengkhianati amanat seperti perbuatan
korupsi bagi pejabat adalah terlarang (haram).
c)
Perbuatan korupsi untuk memperkaya diri dari harta
negara adalah perbuatan lalim (aniaya), karena kekayaan negara adalah harta
yang dipungut dari masyarakat termasuk masyarakat yang miskin dan buta huruf
yang mereka peroleh dengan susah payah. Oleh karena itu, amatlah lalim seorang
pejabat yangmemperkaya dirinya dari harta 'masyarakat tersebut, sehingga Allah
SWT memasukkan mereka ke dalam golongan yang celaka besar, sebagaimana dalam
firman-Nya: "Kecelakaan besarlah bagi orang-orang lalim yakni siksaan di
hari yang pedih"(QS.43:65). Termasuk ke dalam kategori korupsi, perbuatan
memberikan fasilitas negara kepada seseorang karena ia menerima suap dari yang
menginginkan fasilitas tersebut. Masalah korupsi jika dihubungkan dengan qiyas,
maka dapat dikatakan masuk dalam jarimah hirabah. Karena korupsi dan hirabah memiliki
kesamaan yaitu merampas harta yang bukan miliknya. Qiyasmenurut bahasa Arab
berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur.
Menurut Hanafi, qiyas menurut
istilah, ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada
ketentuannya, berdasarkan sesuatu
yang sudah ada ketentuan hukumnya. Menurut Abd al-Wahhâb Khalâf,qiyasmenurut
istilah ahli ilmu ushul fiqhadalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada
nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada
nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illathukumnya.
Sejalan dengan itu, menurut Abu
Zahrah, qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam
al-Qur'an dan hadis dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash atau menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illathukum.
Apabila suatu nash telah
menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu
metode untuk mengetahui illathukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan
kasus yang ada nashnya itu dalam suatu illatyang illathukum itu juga terdapat
pada kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada
nashnya, berdasarkan atas persamaan illatnya, karena sesungguhnya hukum itu ada
di mana illathukum ada.
Qiyas baru dianggap sah bilamana
lengkap rukun-rukunnya. Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi rukun
qiyas ada empat yaitu:
(1)
Ashal (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu), yaitu
masalah yang telah ditetapkan hukumnya baik dalam Al-Qur'an atau dalam Sunnah Rasulullah.
Ashaldisebut juga al-maqis 'alaih(tempat mengiyaskan sesuatu). Misalnya, khamar
yang ditegaskan haramnya dalam ayat: Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Al-Qur'an.
(QS. al-Maidah/5:90). Beberapa syarat ashal, seperti dikemukakan A. Hanafi
adalah: a). Hukum yang hendak dipindahkankepada cabang masih ada pada pokok (ashal).
Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (mansukh) di masa Rasulullah,
maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum. b). Hukum yang terdapat pada
ashalitu hendaklah hukum syara', bukan hukum akal atau hukum yang berhubungan
denganbahasa, karena pembicaraan kita adalah qiyassyara'. c). Hukum ashalbukan
merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa orang yang lupa, meskipun
makan dan minum. Mestinya puasa menjadi rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap
ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya (meniadakannya), tetapi
puasanya tetap ada.
(2)
Adanya hukum ashal, yaitu hukum syara' yang terdapat
pada ashalyang hendak ditetapkan pada far'u(cabang) dengan jalan qiyas.
Misalnya hukum haram khamar yang ditegaskan dalam Al-Qur'an. Syarat-syarat
hukum ashal, menurut Abu Zahrah, antara lain adalah: a). Hukum ashalhendaklah
berupa hukum syara' yang berhubungan dengan amal perbuatan, karena yang menjadi
kajian Ushul Fiqh adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan. b). Hukum
ashaldapat ditelusuri 'illat(motivasi) hukumnya. Misalnya hukum haramnya khamar
dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan yaitu karena memabukkan dan bisa
merusak akal pikiran, bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui 'illat hukumnya
(gairu ma'qul al-ma'na), seperti masalah bilangan rakaat shalat. c). Hukum
ashalitu bukan merupakan kekhususan bagi Nabi Muhammad SAW misalnyakebolehan
Rasulullah beristri lebih dari empat orang wanita sekaligus.
(3)
Adanya cabang (far'u), yaitu sesuatu yang tidak ada
ketegasan hukumnya dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau ijma', yang hendak ditemukan
hukumnya melalui qiyas, misalnya minuman keras wisky. Syarat-syaratnya, seperti
dikemukakan A. Hanafi, antara lain yang terpenting: a). Cabang tidak mempunyai
ketentuan tersendiri. Ulama ushul fiqh menetapkan bahwa: "Apabila datang
nas (penjelasan hukumnya dalam Al-Qur'an atau sunnah), qiyasmenjadi
batal". Artinya, jika cabang yang akan di-qiyas-kan itu telah ada
ketegasan hukumnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, maka qiyastidak lagi berfungsi
dalam masalah tersebut. b). 'Illatyang terdapat pada cabang terdapat sama
dengan yang terdapat pada ashal. c). Hukum cabang harus sama dengan hukum
pokok.
(4)
'Illat, rukun yang satu ini merupakan inti bagi praktik
qiyas, karena berdasarkan 'illat itulah hukum-hukum yang terdapat dalam
Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah dapat dikembangkan. 'Illatmenurut bahasa
berarti "sesuatu yang bisa mengubah keadaan", misalnya penyakit
disebut 'illatkarena sifatnya mengubah kondisi seseorang yang terkena penyakit
itu.