Islam adalah agama dakwah, agama yang menugaskan umatnya
untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia.
Sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam dapat menjamin terwujudnya
kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, ajaran Islam yang
mencangkup segenap aspek kehidupan itu dijadikan sebagai pedoman
hidup dan dilaksanakan dengan sungguh – sungguh oleh umat Islam.
Usaha untuk menyebar luaskan Islam, begitu juga untuk merealisasikan
ajaran di tengah – tengah kehidupan umat manusia, merupakan usaha
dakwah yang dalam keadaan bagaimanapun harus dilaksanakan oleh umat
manusia (Sholeh, 1997 : 11).
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa
tidak dapat di lepaskan dari peranan tokoh yang sering di kenal dengan
nama ³kyai´sebagai seorang tokoh dalam pengembangan Islam, kyai
mempunyai banyak keahlian dibanding masyarakat awam pada umumnya.
Pandangan masyarakat yang melebihkan atas diri kyai tersebut
mempengaruhi kegiatan terhadap apa – apa yang difatwakan. Oleh sebab
itu, maka tidak jarang ditemukan adanya pengkultusan kepada kyai oleh
masyarakat. Melihat kenyataan yang demikian, maka keberadaan kyai
mempunyai arti yang cukup besar terhadap perkembangan Islam
selanjutnya. Hal ini disebabkan karena pengkultusan yang bersumber dari
kharisma atau daya tarik Kyai, sedikit banyak telah menjadikan apa yang
diucapkan, diperbuat dan diperintahkan oleh kyai merupakan pedoman
atau ajaran yang harus ditiru dan di perbuat oleh masyarakat.
Kyai diharapkan dapat menyelesaikan segala permasalahan,
menunjukkan kepemimpinan, kepercayaan pada diri sendiri dan
kemampuannya. Ia juga diharapkan untuk rendah hati, menghormati
semua orang, tanpa melihat tinggi rendahnya status ekonomi dan
sosialnya.
Kyai sebagai tokoh yang mempunyai posisi strategi dan sentral
dalam masyarakat dan sebagai diri terdidik. Dengan kedudukannya
tersebut, maka seorang kyai dituntut untuk bisa memberikan pengetahuan
agama Islam kepada masyarakat pesantren sebagai lembaga pendidikan
tradisional yang merupakan sarana untuk mentransfer pengetahuan kepada
masyarakat sebagai pemimpin informal, kyai diyakini mempunyai otoritas
yang sangat besar dan kharismatik (Turmudi, 2003 : 1).
Pesantren merupakan salah satu lembaga dakwah melalui sektor
pendidikan informal. Seperti dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier,
bahwa sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan
tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah
bimbingan seorang kyai.
Berbicara masalah pesantren, jika disandingkan dengan lembaga
pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem
pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia
yang indigenous. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama
Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada
abad ke – 13. Beberapa abad kemudian menyelenggarakan pendidikan ini
semakin teratur dengan munculnya tempat – tempat pengajian (³nggon
ngaji´). Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat –
tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut
pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu
pendidikan pesantren merupakan satu – satunya lembaga pendidikan yang
tersruktur, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.
Lembaga pesantren semakin berkembang secara cepat dengan
adanya sikap non – kooperatif ulama terhadap kebijakan ³politik etis´
pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke – 19. Sikap non –
kooperatif para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan
pesantren di daerah – daerah yang jauh dari kota untuk menghindari
intervensi pemerintah kolonial serta memberi kesempatan kepada rakyat
yang belum memperoleh pendidikan. Sampai abad ke – 19, tepatnya tahun
1860–an, menurut penelitian Sartono Kartodirjo (1984), jumlah pesantren
mengalami peledakan yang luar biasa, terutama di Jawa yang diperkirakan
mencapai 300 buah.
Terlintas dalam berbagai karakter dan komponen yang
melingkupinya yakni kyai – ulama, santri, bangunan pondok atau asrama,
berbagai kitab kuning dan tradisi – tradisi yang berlaku di dalamnya. Cara
pengajaranya pun unik, sang kyai, yang biasanya adalah pendiri sekaligus
pemilik pesantren, membacakan dengan manuskrip – manuskrip
keagamaan klasik berbahasa arab yang dikenal dengan sebutan ³kitab
kuning´, sementara para santri mendengarkan sambil memberi catatan,
dalam bahasa jawanya di sebut ³ngesahi´pada kitab yang sedang dibaca.
Metode ini disebut “bandongan” (layanan kolektif). Selain itu, para santri
juga ditugaskan membaca kitab, sementara kyai atau ustadz hanya
menyimak sambil mengoreksi dan mengevaluasi bacaan dan performance
seorang santri. Metode ini dikenal dengan istilah ³Sorogan´(layanan
individu). Kegiatan belajar mengajar di atas berlangsung tanpa
penjenjangan kelas dan kurikulum yang ketat, dan biasannya dengan
memisahkan jenis kelamin siswa (Sulthon dan Khusnurdilo, 2004 : 1 - 3).
Dalam kegiatan manajemen, seorang kyai diidentikan dengan
seorang manajer atau pemimpin, yang merupakan faktor penentu sukses
dan tidaknya sebuah lembaga dakwah atau dalam hal ini adalah pondok
pesantren, seorang kyai harus mampu mengantisipasi perubahan yang
terjadi secara tiba – tiba, dapat mengoreksi kelemahan – kelemahan dan
sanggup membawa pondok pesantren kepada sasaran dalam jangka waktu
yang telah ditetapkan atau direncanakan (Munir dan Ilahi 2006 : 212).
Tugas memimpin dalam kegiatan dakwah dalam rangka dakwah
yang dilaksanakan kelompok atau berjama`ah. Begitu pula pengertian
kepemimpinan tidak hanya terdapat pada kepemimpinan dakwah dalam
usaha kelompok saja, tetapi secara individu pun da`i harus mempunyai
nilai – nilai kepemimpinan. Da`i secara individu juga bertugas
mempengaruhi dan menggerakkan manusia supaya menuju ke jalan Allah
baik perasaan, pikiran dan tingkah lakunya. Dengan demikian setiap da`i
adalah pemimpin.
Pada dasarnya kepemimpinan dalam rangka dakwah telah
dicontohkan Rosulullah, pada saat beliau melaksanakan tugas dakwah dan
kerasulannya untuk memimpin umat Islam. Setiap periode dakwah dan
fase perjuangan yang panjang, senantiasa terlihat bahwa itu lebih banyak
ditentukan oleh orang – orang yang memimpin penyelenggaraan proses
dakwah tersebut. Suatu periode mengalami pasang surut, hal ini lebih
banyak diwarnai oleh para penyelenggara dakwah. Dalam periode pertama
dakwah Islam, proses dakwah telah mencapai hasil yang gemilang ketika
itu penyelenggaraan dakwah dipimpin langsung oleh Rosulullah sediri.
Dalam tempo relatif singkat, Nabi Muhammad telah berhasil merubah tata
kehidupan bangsa Arab dari lembah yang hina dengan kehidupan Zaman
jahiliyahnya menjadi masyarakat Islam yang berbudi luhur dan berakhlak
mulia.
Keberhasialan dakwah Islam pada waktu itu adalah karena usaha
dan pejuangan yang dipimpin langsung oleh Rosulullah yang memiliki
kepribadian, nilai –nilai kepemimpinan dan kemampuan manajemen yang
baik, sehingga agama Islam tidak hanya tersebar di jazirah Arab tetapi
tersebar di berbagai penjuru dunia. Demikian juga apabila diteliti
keberhasilan dakwah Islam pada masa lampau di Indonesia digerakkan
oleh Walisongo, cukup memberikan gambaran dan bukti bahwa karena
nilai – nilai kepemimpinan serta kemampuan dan keahlian manajemen
mereka, maka penduduk nusantara khususnya tanah Jawa mau menerima
ajaran islam, padahal penduuk setempat sebelumnya telah memeluk
kepercayaan dan keyakinan yang telah mendarah daging selama berabad –
abad (Sanwar, 1984 : 48 – 49)
Dari uraian sejarah diatas, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan bahwa peranan pemimpin yaitu orang – orang yang memiliki
nilai kepemimpinan dan kemampuan serta keahlian manajemen sangatlah
menentukan keberhasilan dakwah dan sudah barang pasti memiliki nilai –
nilai pribadi atau moralitas yang tinggi, nilai – nilai kepemimpinan
(leadership) dan kemampuan manajemen untuk menjaga reputasi dalam
rangka menuju suksesnya usaha dakwah dalam pesantren.
Kepemimpinan
yang membaur ini menjadi faktor pendukung aktivitas sehari – hari di
lingkungan pondok pesantren (Masyhud dan Mhusnurdilo, 2003 : 25).
Pemimpin dakwah sangat menghargai aktivitas manusia sebagai
penentu keberhasilan untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan dakwah juga
sangat menghargai kreativitas individu untuk mengadakan perubahan,
mendorong, inovasi, menghargai adaptasi serta meningkatkan loyalitas.
Proses pengembangan dakwah harus dilandasi rasa optimisme bahwa
segala problematika dalam kegiatan dakwah dapat diadaptasi dengan baik.
Kyai merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren.
Selain
sebagai pemimpin pesantren, kyai juga sebagai pengajar bagi para
santrinya, selain itu kyai dengan sifat dan sikapnya dalam kehidupan
sehari – hari dipandang sebagai sosok pemimpin yang sangat berpengaruh
dalam menggerakkan manusia menuju jalan Allah, oleh karena itu boleh
dikatakan bahwa kepemimpinan dakwah yang berbentuk kepemimpinan
kharismatik merupakan syarat yang harus dimiliki oleh seorang kyai.
Sebagaimana hakekat dari kepemimpinan dakwah yaitu kemampuan
(ability)untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain (motorik)
untuk mencapai tujuan dakwah (Munir dan ilahi 2006 : 215).