Pesantren menurut sejarah berdirinya di Indonesia, ditemukan dua
versi pendapat. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pondok
pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri. Kedua, pendapat yang
mengatakan bahwa pada mulanya pondok pesantren yang kita kenal
sekarang ini, merupakan pengambil alihan dari sistem pondokan
pesantren yang diadakan orang – orang Hindu di Nusantara (Depag, 2003
: 10).
Oleh karenanya pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa
dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem
pendidikan nasional.
Dari perspektif historis pesantren tidak hanya identik dengan
makna ke Islaman tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia
(indigenous)sebab ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan
Hindu – Budha sehingga di sini Islam tinggal meneruskan dan
mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada, tentunya hal tidak
berarti mengecilkan peranan Islam dalam melopori pendidikan di
Indonesia (Madjid, 1997 : 3).
Tradisi pesantren sudah ada sejak zaman Walisongo yaitu sekitar
abad 15 – 16 di Jawa, tetapi Walisongo sendiri sebenarnya mengikuti
jejak langkah Nabi Muhammad SAW, karena itu ada dua contoh yang
diambil sebagai dalam dunia pesantren, model pertama Nabi Muhammad
SAW, dan model kedua Walisongo. Yang telah berhasil
mengkombinasikan aspek – aspek sekuler dan spiritual dalam
memperkenalkan Islam pada masyarakat, sehingga pengaruh dunia
pesantren demikian kuat di lingkungan masyarakat indonesia (Mas`ud,
2002 : 3). Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan
sekomplek sekarang, pada masa awal pesantren hanya berfungsi sebagai
alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan yakni :
ibadah untuk menanamkan keimanan, tablig untuk menyebarkan ilmu
dan terakhir amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam
kehidupan sehari – hari.
Satu abad setelah masa Walisongo, yaitu pada abad ke – 17
pengaruh Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah
kerajaan Mataram dari tahun 1613 – 1645, dan masa ini telah diadakan
pembagian tingkatan – tingkatan pesantren sebagai berikut; tingkat
pengajian Al Qur`an, tingkat pengajian kitab, tingkat pesantren besar,
pondok pesantren tingkat keahlian (takhassus)(Yunus, 1979 : 223 – 225)
Sementara itu pada abad 19 aspirasi dan simpati kaum santri
tampak jelas di antaranya tertumpu pada tokoh Pangeran Diponegoro
(1785 – 1855). Pangeran Diponegoro adalah simbol mujahidin Jawa yang
menjadi contoh terbaik bagi kaum santri, karena anti kolonialismenya
dan perlawanan agungnya terhadap penjajahan Belanda yang didasari
atas panggilan dan sentimen keagamaan, sehingga pengaruhnya telah
memainkan peran yang sangat besar dalam memotivasi perlawanan
rakyat pada masa itu (Mas`ud, 2002 : 13).
Pondok pesantren tak lepas dari proses perubahan yang terjadi
secara menyeluruh dan global itu, dan tentunya perubahan dalam
pengertian yang positif yaitu proses atau kemajuan. Ada berbagai cara
untuk melihat ciri – ciri kondisional pesantren saat ini. Salah satu cara
yang dapat digunakan ialah dengan melihat ciri – ciri kontekstual, ciri
relasional dan ciri analitisnya (Billah, 1985 : 29).
Meskipun demikian ciri
– ciri tersebut di atas baik kontekstual, rasional maupun yang analitis
adalah ciri – ciri global sehingga dalam kenyataan ada variasi dalam hal
kuat atau tidaknya ciri – ciri itu tertanam dalam pesantren. Di samping itu
mulai ada pesantren yang menyerap teknologi baru, baik yang bersifat
hardware maupun sofware, mulai dari penerapkan manajemen yang tidak
lagi murni tradisional, meskipun belum pula bisa disebut modern.
Bahkan ada pula pesantren yang sangat terbuka dengan memanggil atau
menggantungkan pada bantuan dari luar, baik dari pemerintah maupun
lembaga swasta. Maka dari itu, kodisi pesantren dewasa ini sedang
menghadapi masalah – masalah yang sangat dilematis, pilihan – pilihan
yang saling bertentangan dengan setiap pilihan yang diambil
mendatangkan resiko yang harus dibayar mahal, tentu saja pesantren
mempunyai cara sendiri – sendiri, dan sebagian tampak mengadakan
skala prioritas tentang program yang di kembangkan. Pesantren yang
sangat banyak jumlah dan variasi ini memiliki skala prioritas yang
berbeda – beda sesuai dengan masalah yang dianggap mendesak
dipecahkan, sedang tekadnya sama, yakni turut berkiprah dalam proses
pembangunan menuju hari depan umat dan bangsa Indonesia yang lebih
cerah (Tebba, 1985 : 288).
Sementara itu sebagai institusi pendidikan
Islam yang dinilai paling tua, pesantren memiliki akar tramisi sejarah
yang jelas. Orang yang pertama kali mendirikan ada sedikit perbeda
pemahaman. Di kalangan ahli sejarah terdapat perselisihan pendapat
dalam penyebutan pendiri pesantren pertama kali. Sebagian mereka
menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal dengan
Syaikh Magribi dari Gujarat india, sebagai pendiri atau pencipta pondok
pesantren yang pertama di Jawa. Sebagian ada yang menyebut Sunan
Ampel atau Raden Rahmat sebagai pendiri pesantren pertama di
Kembang Kuning Surabaya. Ada sebagian lain yang menyebukan bahwa
Sunan Gunung Jati (Syaikh Syarif Hidayatullah) di Cirebon sebagai
pendiri pesantren pertama, sewaktu mengasingkan diri bersama
pengikutnya dalam Khawal, beribadah secara istiqomah untuk ber –
taqarub kepada Allah.
Data – data historis tentang bentuk institusi, materi maupun secara
umum sistem pendidikan pesantren yang dibangun Syaikh Magribi
tersebut sulit ditemukan hingga sekarang. Tidaklah layak untuk segera
menerima kebenaran informasi tersebut tanpa verifikasi yang cermat.
Namun secara esensial dapat diyakinkan bahwa wali yang berasal dari
Gujarat ini memang telah mendirikan pesantren di Jawa sebelum wali
lainnya (Qomar, 2002 : 8).
Pesantren dalam pengertian hakiki, sebagai
tempat pengajaran para santri meskipun bentuknya sangat sederhana,
telah dirintisnya. Pengajaran tersebut tidak pernah diabaikan oleh
penyebar Islam, lebih dari itu kegiatan mengajar santri menjadi bagian
terpadu dan misi dakwah Islamiahnya.
Kebanyakan ahli sejarah, Maulana Malik Ibrahim itu dikenal
sebagai penyebar pertama Islam di Jawa yang mengislamkan wilayah –
wilayah pesisir utara Jawa, bahkan berkali – kali mencoba menyadarkan
raja Hindu – Budha Majapahit, Virkramavardana (berkuasa 788 – 833) /
1386 – 1429) agar masuk Islam. Sementara itu diidentifikasi bahwa
pesantren mulai eksis sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara.
Akan tetapi mengingat pesantren yang dirintis Maulana Malik Ibrahim
itu belum jelas sistemnya, maka keberadaan pesantrennya itu masih
dianggap spekulatif dan diragukan.
Berbeda dengan Maulana Malik Ibrahim sebagai penyebar dan
pemuka jalan masuknya Islam di tanah Jawa, putranya Raden Rahmat
(Sunan Ampel) tinggal melanjutkan misi suci perjuangan ayahnya
kendati tantangan yang dihadapinya tidak kecil. Ketika Raden Rahmat
berjuang, kondisi religi – psikologis dan religi – sosial masyarakat jawa
lebih terbuka dan toleran untuk menerima ajaran baru yang dikembangan
dari tanah Arab. Ia memanfaatkan momentum tersebut dengan
memainkan peran yang menentukan proses Islamisasi, termasuk
medirikan pusat pendidikan dan pengajaran, yang kemudian dikenal
dengan pesantren Kembang Kuning Surabaya. Bentuk Pesantrennya
lebih jelas dibanding pesantren rintisan ayahnya.
Mengenai siapa pendiri pesantren pertama kali di Jawa khususnya,
agaknya analisis Lembaga Research (pesantren luhur)cukup cermat dan
dapat dipegangi sebagai pedoman. Dikatakan bahwa Maulana Malik
Ibrahim sebagai praktek dasar pertama sendi – sendi berdirinya
pesantren, sedang Imam Rahmatullah (Raden Rahmat atau Sunan Ampel)
sebagai Wali pembina pertama di Jawa Timur (Qomar, 2002 : 8 – 9)
Dari berbagai uraian di atas, secara historis pesantren memiliki
karakter utama (depag, 2003 : 7), antara lain :
a. Pesantren didirikan sebagai bagian dan atas dukungan masyarakat
sendiri.
b. Pesantren dalam menyelenggarakan pendidikannya menerapkan
kesetaraan santrinya tidak membedakan status dan tingkat kekayaan
orang tuanya.
c. Pesantren mengemban misi menghilangkan kebodohan, khususnya
³tafaqquh fi ad ±din´(mensiarkan agama Islam)