Unsur Atau Komponen Pondok Pesantren
Pesantren memiliki tiga unsur pokok, yaitu 1) Kyai yang mendidik
dan mengajar, 2) Santri yang belajar, 3) Masjid. Tiga unsur ini mewarnai
pesantren pada awal berdirinya atau bagi pesantren – pesantren kecil yang
belum mampu mengembangkan fasilitasnya. Unsur pesantren dalam
bentuk segi tiga tersebut mendiskripsikan kegiatan belajar – mengajar
keislaman yang sederhana. Kemudian pesantren mengembangkan fasilitas
– fasilitas belajarnya sebab tuntutan perubahan sistem pendidikan sangat
mendesak serta bertambahnya santri yang belajar dari kabupaten atau
provinsi lain yang membutuhkan tempat tinggal. Maka unsur – unsur
pesantren bertambah banyak. Para pengamat mencatat ada lima unsur
yakni ; kyai, santri, masjid, pondok (asrama), dan pengajian. Ada yang
tidak menyebut unsur pengajian, tetapi menggantinya dengan unsur
belajar, aula atau bangunan – bangunan lain (Qomar, 2002 : 19 – 20)
Kyai, di samping pendidikan dan mengajar, juga pemegang kendali
manajerial pesantren. Bentuk pesantren yang bermacam – macam adalah
pantulan dari kecenderungan kyai. Kyai memiliki sebutan yang berbeda –
beda tergantung daerah tempat tinggalnya. Ali Maschan Moesa ( 1999 :
60) mencatat di Jawa disebut ³kyai´, di Sunda disebut ³Ajengan´, di
Aceh disebut ³Tengku´, di Sumatra Utara / Tapanuli disebut ³Syaikh´, di
Minangkabau disebut ³Buya´, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur dan kalimantan Tengah disebut ³Tuan Guru´. Mereka
semua juga bisa disebut ulama sebagai sebutan yang lebih umum
(menasional), meskipun pemahaman ulama mengalami pergeseran.
Kyai disebut alim bila ia benar – benar memahami, mengamalkan
dan menfatwakan kitab kuning. Kyai demikian ini menjadi panutan bagi
santri pesantren, bahkan bagi masyarakat Islam secara luas (Nasuha dalam
Wahid, 1999 : 264).
Akan tetapi dalam konteks kelangsungan pesantren
kyai dapat dilihat dari perspektif lainnya. Muhammad Tholhah Hasan
sebagaimana ditengarai Qomar (2002 : 20) melihat kyai dari empat sisi
yakni kepemimpin ilmiah, spiritual, sosial, dan administrasinya. Jadi ada
beberapa sebagai pengasuh dan pembimbing santri.
Santri merupakan peserta didik atau obyek pendidikan, tetapi ada
beberapa pesantren santri yang memiliki kelebihan potensi intelektual
(santri senior)sekaligus merangkap tugas mengajar santri – santri yunior.
Santri ini memiliki kebiasaan – kebiasaan tertentu. Santri memberikan
penghormatan yang terkadang berlebihan kepada kyainya. Kebiasaan ini
menjadikan santri bersikap sangat pasif karena khawatir kehilangan
barakah. Kekhawatiran ini menjadi salah satu sikap yang khas pada santri
dan cukup membedakan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh siswa –
siswi sekolah maupun siswa – siswi lembaga kursus.
Akan tetapi belakangan ini ada perkembangan baru di kalangan
santri. Hasan melukiskan bahwa kalau dulu semangat ³ruh al ±inqiyat´
(semangat mendengar dan patuh pada kyai dan guru) masih tinggi. Sedang
sekarang yag terjadi adalah semangat ³ruh al ±intiqaa´(sikap kritis
mempertanyakan) (Qomar,2002 : 21).
Jika pada awal pertumbuhan
pesantren dulu santri tidak berani bicara sambil menatap mata kyai, maka
sekarang telah terlihat diskusi atau dialog dengan kyai mengenai berbagai
masalah (Mastuhu, 1999 : 111). Tentu saja tidak semua santri pesantren
memiliki kecenderungan ini. Sikap santri pesantren sekarang ini ada dua
macam ; pertama, sikap taat dan patuh yang sangat tinggi kepada kyainya,
tanpa pernah membantah. Kedua, sikap taat dan patuh sekadarnya, sikap
ini pada santri yang memperoleh pendidikan umum.
Masjid, memiliki fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah
lainya juga tempat pengajian terutama yang masih memakai metode
³sorogan´dan ³bandongan´.Posisi masjid dikalangan pesantren
memiliki makna sendiri. Menurut Abdurrahman Wahid sebagaimana di
tengarai oleh Qomar (2002 : 21), masjid sebagai tempat mendidik dan
mengembleng santri agar lepas dari hawa nafsu, berada di tengah – tengah
komplek pesantren adalah mengikuti model wayang. Di tengah – tengah
ada gunungan. Hal ini sebagai indikasi bahwa nilai – niliai kultural
masyarakat setempat dipertimbangkan untuk dilestarikan oleh masyarakat.
Asrama sebagai tempat penginapan santri, dan difungsikan untuk
mengulang kembali pelajaran yang telah di sampaikan kyai aatau ustadz.
Oleh karena itu asrama identik dengan pondok.
Akan tetapi Saifuddin
Zuhri sebagaimana dikutip Qomar (2002 : 21) menegaskan bahwa pondok
bukanlah asrama. Jika asrama telah disiapkan bangunanya sebelum calon
penghuninya datang. Sedang pondok justru didirikan diatas dasar gotong
royong dari santri yang telah belajar di pesantren. Implikasinya adalah jika
asrama dibangun dari kalangan berada dengan penginapan dan persediaan
dana relatif memadai, maka pondok dibangun dari kalangan rakyat jelata
yang serba kekurangan. Tatanan bangunan pondok pesantren
menggambarkan bagaimana kyai atau ³wasilun´(orang yang sudah
mencapai pengetahuan tentang ketuhanan) berada di depan santri – santri
yang masih ³salik´(menapak jalan) mencari ilmu yang sempurna (Qomar,
2002 : 21).
Dengan meminjam istilah Ki Hajar Dewantoro, komposisi
bangunan pondok pesantren itu melambangkan posisi kyai sebagai ³Ing
Ngarso Sung Tulodo´(di depan memberi contoh) atau oleh Al Qur`an
disebut ³uswatun khasanah´(contoh yang baik).
Pengajian umumnya mengkaji kitab – kitab Islam klasik kecuali
pada pesantren modern tertentu seperti Gontor dan pesantren perkotaan.
Sedang aula dan bangunan lain merupakan upaya pengembangan istilah
yang di manfaatkan untuk pertemuan ilmiah yang membutuhkan ruangan
besar dan luas, atau untuk pementasan sesuai dengan laju perkembangan
sarana-prasarana.