Pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak memiliki formulasi
tujuan yang jelas, baik dalam tataran instutisional, kurikuler maupun
intruksional umum dan khusus. Tujuan yang dimilikinya hanya ada dalam
angan – angan. Mastuhu (1994 : 59) mengatakan bahwa tidak pernah
dijumpai perumusan tujuan pendidikan pesantren yang jelas dan standar
yang berlaku umum bagi semua pesantren. Pokok persoalannya bukan
terletak pada ketiadaan tujuan, melainkan tidak tertulisnya tujuan.
Seandainya pesantren tidak memiliki tujuan, tentu aktivitas di lembaga
pendidikan Islam yang menimbulkan penilaian kontroversial ini tidak
mempunyai bentuk yang konket. Proses pendidikan akan kehilangan
orientasi sehingga berjalan tanpa arah dan menimbulkan kekacauan. Jadi
semua pondok pesantern memiliki tujuan, hanya saja tidak dituangkan
dalam bentuk tulisan. Akibatnya beberapa penulis merumuskan tujuan ini
hanya berdasarkan perkiraan (asumsi) atau wawancara semata (Arifin,
1991 : 248).
Menurut Kyai Ali Ma`sum sebagaimana dikutip Qomar (2002 : 4)
mengangap bahwa tujuan pondok pesantren adalah untuk mencetak ulama.
Anggapan ini melekat pada masyarakat, sebab pelajaran - pelajaran yang
disajikan hampir seluruh pelajaran agama, kadang ada pesantren yang
melarang masuknya pelajaran umum . di samping itu ulama yang menjadi
panutan masyarakat bisa dikatakan seluruhnya lulusan pesantren. Alumni
pesantren kendati tidak seluruhnya memiliki kecondongan meniru kyainya
dengan membuka pesantren baru. Masyarakat kemudian menobatkannya
sebagai kyai (ulama).
Anggapan tersebut cukup relevan bila dikaitkan dengan awal
perkembangan pesantren yang berdiri di tengah – tegah masyarakat
dengan kondisi sosio – religius yang amat memperhatinkan. Unsur – unsur
dakwah Islamiyah sangat dominan misi pendidikan. Pesantren yang diasuh
para wali (Sunan Ampel, Sunan Giri maupun Sunan Gunung Jati) jelas
bertujuan mencetak ulama, agar Islam di Jawa khususnya bisa berkembang
dengan lancar. Demikian pula misi di masyarakat yang timbul kemudian
adalah untuk mengembangakan umat Islam melalui pengkaderan ulama.
Pada awal perkembangannya, tujuan pondok pesantren adalah untuk
mengembangkan agama Islam (terutama kaum muda), untuk lebih
memahami ajaran – ajaran agama Islam, terutama dalam bidang Fiqh,
Bahasa Arab, Tafsir, Hadits, dan Tasawuf. Zamakhayari (1995 : 113)
mengatakan bahwa dalam 30 tahun pertama, tujuan pendidikan Tebuireng
ialah untuk mendidik calon ulama. Sekarang ini, tujuannya sudah
diperluas, yaitu untuk mendidik para santri agar kelak dapat
mengembangkan dirinnya menjadi ulama intelektual (ulama yang
menguasai pendidikan umum) dan intelektual ulama (sarjana dalam bidang
pengetahuan umum yang juga menguasai pengetahuan Islam).
Pergeseran tujuan tersebut hanyalah menyentuh permukaannya,
sedang esensi dan subtansinya tidak berubah. Ulama yang di pahami
hanya menguasai ilmu – ilmu Tafsir, Hadits, Fiqh, Tasawuf, Akhlak dan
Sejarah Islam saja mulai digugat A. Wahid Hasyim , seorang putra pendiri
Tebuireng dan pernah mengasuh pesantren yang sangat terkeal di
Indonesia terutama abad ke – 20 bahkan pernah mengusulkan perubahan
tujuan pendidikan pesantren secara mendasar yakni agar mayoritas santri
yang belajar di lembaga – lembaga pesantren tidak bertujuan menjadi
ulama (Dhofier, 1985 : 113). Namun usulan yang revosioner tersebut tidak
disetujui ayahnya (Hadratus Syaih)
Oleh karena itu, lahirnya ulama tetap menjadi tujuan pesantren
hingga sekarang, tetapi ulama dalam pengertian yang luas yaitu ulama
yang menguasai ilmu – ilmu agama sekaligus memahami pengetahuan
umum hingga mereka tidak terisolasi dalam dunianya sendiri. Jadi secara
esensial, tujuan pesantren relatif konstan. Pengamatan lembaga research
Islam (pesantren luhur)benar bahwa pesantren selalu mengalami
perubahan dalam bentuk penyempurnaan mengikuti tuntutan zaman,
kecuali tujuannya sebagai tempat pengajakan agama Islam dan
membentuk guru – guru agama (ulama) yang kelak meneruskan usaha
dalam umat Islam.
Tujuan institusional pesantren yang lebih luas dengan tetap
mempertahankan hakikatnya dan di harapkan menjadi tujuan pesantren
secara nasional pernah diputuskan dalam musyawarah/lokakarya
instensifikasi pembanguan pondok pesantren di jakarta yang berlangsung
pada tanggal 2 s/d 6 Mei 1978. Bahwa tujuan umum pesantren adalah
membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran –
ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua
segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi
agama, masyarakat dan negara, sedangkan tujuan khusus pesantren adalah
sebagai berikut :
a) Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang
muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki
kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga negara
yang ber-Pancasila.
b) Mendidik siswa/santri untuk menjadi manusia muslim selaku kader –
kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh,
wiraswasta dalam mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan dinamis.
c) Mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal
semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia – manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinnya dan bertanggung jawab
kepada pembangunan bangsa dan negara.
d) Mendidik tenaga – tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan
regional (pedesaan/masyarakat lingkungan).
e) Mendidik siswa/santri agar menjadi tenaga – tenaga yang cakap dalam
berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental
spiritual.
f) Mendidik siswa/santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat
bangsa (Qomar, 2002 : 6).
Rumusan tujuan ini adalah yang paling rinci di antara rumusan
yang pernah diungkapkan beberapa ahli/peneliti di atas, tetapi harapan
untuk memberlakukan tujuan tersebut bagi seluruh pesantren rupanya
kandas. Para kyai pesantren tidak mentransfer rumusan tersebut secara
tertulis sebagai tujuan baku bagi pesantrennya karena orientasi pesantren
tidak jauh berbeda dengan kehendak tujuan tersebut. Dari beberapa tujuan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk
kepribadian muslim yang menguasai ajaran – ajaran Islam dan
mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa
dan negara.