Proposal
Relevansi Pasal 59 Ayat (1) Huruf (a) Kompilasi Hukum Islam dengan Kitab-kitab Fikih yang Menjadi Referensinya
A. Latar Belakang Masalah
Hukum yang Allah tetapkan untuk manusia tidak lain adalah demi kemaslahatan umat manusia di dunia maupun di akhirat. Dan dengan hukum tersebut manusia bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan, sehingga pada akhirnya ia akan terhindar dari segala hal yang membahayakan dirinya. Oleh karena hukum itu ditujukan hanya untuk manusia –sedangkan manusia itu sendiri lemah dan mempunyai kemampuan yang terbatas--, maka setiap pembebanan hukum tertentu harus sesuai dengan tingkat kemampuan manusia itu sendiri. Imam Muhammad Shawi mengatakan di dalam kitab Hasyiyah Shawi-nya bahwa sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh setiap orang mukallaf (orang yang dibebani hukum), tidak boleh dibebankan pada mereka. . Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat (286), yang intinya menjelaskan bahwa “Allah tidak akan membebani manusia kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya”.
Di sisi lain, bahwa pemberlakuan hukum Islam itu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, apabila hukum tidak sesuai dengan dengan kebutuhan masyarakat, maka hukum itu akan ditinggalkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Karim Zaidan bahwa “hukum itu berjalan dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi”. Artinya, sebuah hukum bisa jadi cocok untuk diterapkan di satu daerah akan tetapi belum tentu hukum tersebut cocok bila diterapkan di daerah lain, sebab hukum itu dibuat untuk kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Senada dengan Abdul Karim Zaidan, Pound, salah seorang filosuf barat, mengatakan bahwa hukum itu diselenggarakan dengan tujuan untuk memaksimalkan pemuasan kebutuhan dan kepentingan manusia itu sendiri. Hal berlaku bagi semua hukum termasuk juga hukum Islam.
Hukum Islam adalah hukum hasil daya upaya para ahli fikih dalam menetapkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan demikian hukum Islam sering disebut fikih. Sedangkan Zakariya Al-Anshari memberikan pengertian bahwa hukum Islam adalah seperangkat aturan yang berdasarkan wahyu Allah swt. dan hadits Rasulullah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini, berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Berangkat dari kedua pengertian hukum Islam tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan hukum Islam itu pasti bersumber dari ketetapan Allah swt. dan Rasul-Nya dalam rangka memenuhi kepentingan dan kebutuhan manusi pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Syaikh Zakariya Al-Anshari mengatakan bahwa macam-macam hukum Islam itu jumlahnya ada lima. Pendapat ini didukung oleh seluruh ulama’ ushul fikih yang lain, seperti Imam Nawawi, Abu Zahrah, Mahmud Syalthut dan sebagainya. Adapun kelima macam hukum Islam tersebut sebagaimana berikut ini:
1. Wujub
Yaitu titah Allah SWT. atau Rasul-Nya yang berisi tuntutan secara pasti untuk melakukan sesuatu, sehingga apabila orang mukallaf itu tidak mengerjakannya, maka ia akan mendapatkan dosa dan ancaman Allah dan sebaliknya jika ia akan diberi pahala dari Allah SWT. Seperti halnya dengan perintah shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya.
2. Nadb
Yaitu titah Allah SWT. atau Rasul-Nya yang berisi tuntutan secara tidak pasti. Dengan kata lain bahwa perbuatan itu dianjurkan untuk dilaksanakan. Adapun terhadap orang yang melakukan, ia berhak mendapat ganjaran akan kepatuhannya, tetapi bila tuntutan itu ditinggalkan tidak apa-apa. Oleh karenanya, bagi orang yang meninggalkan, ia tidak patut mendapat ancaman dosa. Seperti halnya dengan perintah bersedekah, shalat sunnah, puasa dan sebagainya.
3. Tahrim
Yaitu titah Allah SWT. atau Rasul-Nya yang berisi tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, dengan arti yang dituntut harus meninggalkannya. Oleh karena itu, bila seseorang meninggalkannya, maka ia patut mendapat ganjaran dalam bentuk pahala, sedangkan bagi orang yang tidak meninggalkan larangan tersebut berarti ia menyalahi tuntutan Allah, karena itu ia patut mendapat ancaman dosa. Seperti halnya dengan larangan berzina, mencuri, membunuh dan sebagainya.
4. Karahah
Yaitu titah Allah SWT. atau Rasul-Nya yang berisi tuntutan untuk meninggalkan secara tidak pasti, dengan arti masih mungkin ia tidak meninggalkan larangan itu. Namun bagi orang yang meninggalkan larangan itu, ia akan mendapatkan pahala. Oleh karena larang ini tidak pasti, maka orang yang tidak meninggalkannya, ia tidak akan mendapat ancaman dosa. Seperti halnya dengan larangan merokok dan sebagainya.
5. Ibahah
Yaitu titah Allah SWT. atau Rasul-Nya yang berisi memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan, yang dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan, baik mengerjakan maupun meninggalkan. Oleh karena, bila ada orang yang mengerjakan atau meninggalkannya maka ia tidak berhak mendapat pahala dan juga tidak patut untuk mendapatkan dosa. Seperi halnya dengan perintah makan, minum dan sebagainya.
Dalam hubungannya dengan beberapa hukum yang dibebankan kepada orang mukallaf (orang yang dibebani hukum), tulisan ini akan membahas seluk beluk pernikahan, khususnya pernikahan poligami atau pernikahan seorang lelaki dengan lebih dari seorang perempuan.
Islam memandang bahwa beristeri lebih dari seorang (poligami) itu boleh, sekalipun pada dasarnya asas yang dianut di dalam Islam adalah asas monogami. Akan tetapi asas ini menutup rapat-rapat bagi kaum lelaki yang mau berpoligami, asalkan mereka mampu berbuat adil di antara isteri-isterinya. Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat (3):
و ان خفتم ان لا تقسطوا فى اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث
ورباع فان خفتم ان لا تعدلوا فواحدة او ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ان لا تعولوا.
“Dan jika kamu takut tidak akan berbuat adil terhadap hak-hak wanita yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinlah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat adil, maka kawinlah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itulah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa: 3).
Menurut Ibnu Jarir al-Thabary, bahwa sesuai dengan nama surat ini Surat An-Nisa’, maka masalah pokoknya adalah mengingatkan kepada orang berpoligami agar berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Sedangkan menurut Imam Ar-Razi bahwa kandungan ayat itu adalah memberantas tradisi kaum lelaki zaman Jahiliyah yang mengawini isteri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi.
Di dalam kitab-kitab fikih klasik pembahasan tentang poligami atau beristei lebih dari seorang itu diperbolehkan kalau sudah memenuhi syaratnya, yaitu bisa berbuat adil di antara isteri-isterinya. Namun di dalam fikih-fikih kontemporer, orang laki-laki yang mau berpoligami atau beristeri lebih dari seorang harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. Suami bisa berbuat adil di antara-isterinya;
2. Isteri pertama tidak bisa memberikan keturunan (mandul);
3. Isteri pertama sakit tidak bisa disembuhkan;
4. Isteri tidak dapat menjalankan sebagai sebagai seorang isteri;
Berbeda dengan ketetapan poligami dalam kitab fikih-fikih, ketetapan poligami di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ada sedikit perbedaan, khususnya dalam persyaratan bisanya berpoligami bagi orang laki-laki. Ketetapan tersebut dijelaskan dalam pasal 55 ayat (2), yang berbunyi: “Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.” Dan dijelaskan pada 56 ayat (1), yang berbunyi: “Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang, harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agam.” Dan juga dijelaskan pada pasal 57, yang berbunyi: ‘Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Di samping itu, ada penjelasan lain di dalam pasal 58 ayat (1) huruf (a) yang menyebutkan bahwa seorang suami yang mau berpoligami, di samping harus memenuhi syarat utama yang disebutkan pasal 55, ia juga harus mendapatkan persetujuan isterinya.
Sesuai dengan sejarah penyusunannya, Kompilasi Hukum Islam adalah rangkuman dari berbagai pendapat ‘ulama’ fikih yang diambil dari berbagai kitab fikih. Kitab-kitab fikih tersebut yang biasa digunakan dan dijadikan referensi oleh para hakim yang ada di Pengadilan Agama. Sedangkan menurut Sukris Sumardi, Kompilasi Hukum Islam adalah hasil loka karya para ulama’ yang dituangkan dalam Impres. No. 1 tahun 1994 yang merupakan fakta kebenaran Fikih Sunni versi Syafi’i, walaupun pada bagian-bagian tertentu di dalamnya ditemukan refleksi-refleksi pemikiran baru untuk mengisi ruang kosong dalam rangka penyesuaian situasi dan kondisi masyarakat Indonesia.
Dari uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih lanjut ketetapan Kompilasi Hukum Islam, khususnya yang terkait dengna ketetapan pasal 58 ayat (1) huruf (a), yang mewajibkan adanya persetujuan isteri bagi seseorang yagn mau berpoligami, sedangkan di dalam kitab-kitab fikih yang menjadi referensi KHI itu sendiri tidak diharuskan adanya persetujuan isteri.
Oleh karena itu, penulis mencoba untuk membahasnya dalam penelitian yang berjudul “Relevansi Pasal 59 Ayat (1) Huruf (a) Kompilasi Hukum Islam dengan Kitab-kitab Fikih yang Menjadi Referensinya” ini.
B. Definisi Operasional
Untuk menghindari bias terhadap masalah dalam penelitian in, maka definisi operasional menjadi penting untuk dijelaskan. Dalam penelitian ini, ada tiga hal yang perlu dijelaskan, yaitu:
1. Relevansi
Yang dimaksud dengan relevansi adalah hubungan atau keterkaitan. Maksudnya, keterkaitan antara ketetapan pasal 58 ayat (1) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, yang mengharuskan adanya persetujuan isteri bagi suami yang mau berpoligami, dengan kitab-kitab fikih yang menjadi referensinya.
2. Kitab-kitab Fikih
Yang dimaksud dengan kitab-kitab fikih dalam penelitian ini adalah kitab-kitab fikih klasik, atau yang biasa disebut dengan kitab kuning (kutubut turats). Kompilasi Hukum Islam disusun dengan berdasarkan pada beberapa pendapat dari kitab-kitab fikih yang sering disebut dengan kitab kuning. Abd. Rahman mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) bersumber pada 38 kitab fikih yang pengkajiannya dibagi dan disebar pada tuju Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dengan perincian sebagai berikut:
a. IAIN Arraniri Banda Aceh
ð Hasyiyah Al-Baijuri;
ð Fathul Muin;
ð Hasyiyah Syarqawi ala al-Tahrir;
ð Nihayatul Muhtaj;
ð Al-Syarqawi.
b. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ð Ia’nah al-Thalibin;
ð Tuhfatul Muhtaj;
ð Targhibul Musytaq;
ð Bulghatus Salik;
ð Syamsuri fil Faraidl;
ð Al-Mudawwanah.
c. IAIN Antarsari Banjarmasin
ð Qulyubi/Mahalli;
ð Fathul Wahhab;
ð Bidayatul Mujtahid;
ð Al-Umm;
ð Bughiyatul Mustarsyidin;
ð ‘Aqidatus Syariah.
d. IAIN Sunan Kali Jogo Yogyakarta
ð Al-Muhalla;
ð Al-Wajiz;
ð Faidhul Qadir;
ð Al-Fiqhu fi Madzabihil Arbaah;
ð Fiqhus Sunnah.
e. IAIN Sunan Ampel Surabaya
ð Kasyful Qina’;
ð Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah;
ð Qawanin al-Syariah li Sayyid Utsman bin Yahya;
ð Al-Mughni;
ð Al-Hidayah Syarh al-Bidayah.
f. IAIN Alauddin Ujung Pandang
ð Qawanin al-Syariah li Sayyid Sadaq Dahlan;
ð Nawwabul Jalil;
ð Syarhu Ibnu al-Abidin;
ð Al-Muwatha’;
ð Hasyiyah Syamsuddin Muhammad Arfatud Dasuqi.
g. IAIN Imam Bonjol Padang
ð Badai’us Shana’i;
ð Tabyinul Haqaiq;
ð Al-Fatawal Hidayah;
ð Farhul Qadir;
ð Al-Nihayah.
Berbeda dengan Abd. Rahman, Mahfudh mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun berdasarkan 13 kitab fikih versi Syafi’i. Hal ini berdasarkan pada fakta yang ada di Pengadilan Agama itu sendiri, di mana para hakim—pra perusan KHI—berpedoman pada 13 kitab fikih Syafi’i. Adapun ketiga belas kitab fikih tersebut adalah:
ð Hasyiyah Al-Baijuri;
ð Fathul Muin;
ð Nihayatul Muhtaj;
ð Tuhfatul Muhtaj;
ð Fathul Wahhab;
ð Bughiyatul Mustarsyidin;
ð Qawaninus Syariah;
ð Al-Nihayah;
ð Al-Fiqhu fi Mazabihil Arbaah;
Dari ketiga belas kitab fikih atau ketiga puluh delapan kitab fikih, menurut Abd. Rahman, terciptalah Kompilasi Hukum Islam, yaitu sebuah kumpulan hukum Islam yang dijadikan sebagai pendoman bagi para hakim yang ada di Pengadilan Agama. Suparman Utsman memberikan pernyataan bahwa Kompilasi Hukum Islam dijadikan pedoman bagi para hakim untuk memutuskan seluruh permasalahan yang masuk dalam kompetensi Pengadilan Agama itu sendiri. Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam ini dapat memberikan implikasi hukum yang kuat.
2. Referensi
Yang dimaksud dengan kata refernsi adalah rujukan (buku) dan juga bisa diartikan kepustakaan. Artinya, kata referensi jika dikaikan judul dalam penelitian adalah kitab-kitab fikih yang menjadikan rujukan kepustakaan dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam.
C. Rumusan Penelitian
Pembahasan tentang relevansi pasal 58 Kompilasi Hukum Islam dengan kitab-kitab fikih itu terlalu luas cakupannya. Oleh karena itu, perlu diberi batasan dan rumusan agar penelitian ini lebih terarah, systematize dan komprehensif. Adapun rumusan masalah yang dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa dalam KHI diharuskan ada persetujuan isteri bagi suami yang mau berpoligami, sedangkan di dalam kitab-kitab fikih yang menjadi referensinya tidak diharuskan?
2. Bagaimana implikasi dari ketetapan pasal 58 ayat (1) huruf (a) KHI tentang keharusan adanya persetujuan isteri bagi suami yang mau berpoligami?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan penelitia di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui secara mendalam alasan-alasan diharuskannya ada persetujuan isteri di KHI, bagi suami yang mau berpoligami, walaupun di dalam kitab-kitab fikih yang menjadi referensinya tidak diharuskan;
2. Untuk mengetahu secara mendalam implikasi dari ketetapan pasal 58 ayat (1) huruf (a) KHI tentang diharuskannya adanya persetujuan isteri bagi suami yang mau berpoligami.
E. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat dari penelitian ini ada dua:
1. Secara Teoritis
Secara teoritis manfaat dari penelitian ini untuk mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum Islam. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memperkaya sudut pandang kita dalam memaham hukum Islam. Penelitian ini merupakan wujud partisipasi penulis dalam wacana ilmiah, sekaligus sebagai sumbangsih penulis dalam kajian serta penelitian bidang hukum Islam, untuk kemudian dapat menjadi referensi tambahan bagi pihak-pihak yang ingin mendalami kajian hukum Islam.
2. Secara Praktis
Secara praktis operasional penelitian ini dapat memberi kontribusi riil pada seluruh kompenen masyarakat praktisi hukum dan para pemerhati hukum Islam, khususnya hukum-hukum yang dimasukkan dalam pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi kehidupan akademis dan praktis masyarakat Indonesia yang realitanya hingga kini masih membutuhkan informasi lebih mendalam tentang apa dan bagaimana hukum Islam itu dilaksanakan, baik hukum-hukum yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam itu sendiri maupun yang hukum-hukum ada adalam kitab-kitab fikih yang menjadi referensinya.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini tergolong kepada jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu metode penelusuran di pustaka untuk menemukan data informasi dan pengetahuan terolah yang penekanannya pada doktrin-doktrin keagamaan. Untuk itu data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan menelusuri, mengumpulkan, dan meneliti berbagai referensi yang berkaitan dengan fikih-fikih Islam dan juga berkaitan dengan perumusan Kompilasi Hukum Islam itu sendiri.
1. Pengumpulan Data
Secara keseluruhan, penulis menggunakan metode kepustakaan, yaitu dengan cara inventarisasi data hasil penelitian dan kitab-kitab fikih yang menjadi referensi Kompilasi Hukum Islam, khususny kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.
Secara garis besar ada dua jenis sumber data yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu: (1) sumber acuan umum, dan (2) sumber acuan khusus. Adapun yang dapat digolongkan ke dalam sumber acuan umum antara lain: kitab-kitab fikih klasik, kitab-kitab fikih kontemporer, enseklopedi Islam dan sejenisnya, sedangkan sumber acuan khusus meliputi: kepustakaan berbentuk buku-buku hasil penelitian, jurnal, buletin penelitian, makalah dan sumber bacaan lain yang memuat laporan penelitian.
3. Sumber Data
Oleh karena jenis penelitian ini adalah termasuk jenis penelitan hukum kepustakaan, maka secara garis besar ada dua jenis sumber data yang perlu dijelaskan, yaitu: pertama, data yang bersifat primer. Adapun yang termasuk jenis data primer adalah kitab-kitab fikih klasik, kitab-kitab fikih kontemporer, enseklopedi Islam dan sejenisnya. Kedua, data yang bersifat skunder. Adapun yang termsuk jenis data skunder adalah buku-buku hasil penelitian, jurnal, buletin penelitian, makalah dan sumber bacaan lain yang memuat laporan penelitian.
3. Metode Analisis Data
Sesuai dengan sifat penelitian ini, yaitu library reseach, data perimer dan skunder ditelursuri dengan menggunakan conten analysis (analisis isi). Analisis konten ini dilakukan untuk mengungkap isi dari dokumen yang memuat uraian dan pemikiran tentang sistem aplikasi syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari., khususnya dalam kaitannya dengan sebuah negara.
Untuk mengarah pada conten analysis yang cenderung bersifat positivistik kualitatif, penulis menggunakan beberapa metode yaitu:
1. Deduktif, yaitu menganalisis data yang bersifat umum, untuk kemudian ditarik menjadi kesimpulan yang bersifat khusus;
2. Induktif, yaitu menganalisis berbagai fakta dan data, kemudian digeneralisasikan menjadi sebuah statemen;
3. Komporatif, yaitu menganalisis dengan cara membandingkan data yang ada, kemudian diambil sebuah kesimpulan.
G. Kajian Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum yang Allah tetapkan untuk manusia tidak lain adalah demi kemaslahatan umat manusia di dunia maupun di akhirat. Dan dengan hukum tersebut manusia bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan, sehingga pada akhirnya ia akan terhindar dari segala hal yang membahayakan dirinya. Oleh karena hukum itu ditujukan hanya untuk manusia –sedangkan manusia itu sendiri lemah dan mempunyai kemampuan yang terbatas--, maka setiap pembebanan hukum tertentu harus sesuai dengan tingkat kemampuan manusia itu sendiri. Imam Muhammad Shawi mengatakan di dalam kitab Hasyiyah Shawi-nya bahwa sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh setiap orang mukallaf (orang yang dibebani hukum), tidak boleh dibebankan pada mereka. . Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat (286), yang intinya menjelaskan bahwa “Allah tidak akan membebani manusia kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya”.
Di sisi lain, bahwa pemberlakuan hukum Islam itu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, apabila hukum tidak sesuai dengan dengan kebutuhan masyarakat, maka hukum itu akan ditinggalkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Karim Zaidan bahwa “hukum itu berjalan dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi”. Artinya, sebuah hukum bisa jadi cocok untuk diterapkan di satu daerah akan tetapi belum tentu hukum tersebut cocok bila diterapkan di daerah lain, sebab hukum itu dibuat untuk kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Senada dengan Abdul Karim Zaidan, Pound, salah seorang filosuf barat, mengatakan bahwa hukum itu diselenggarakan dengan tujuan untuk memaksimalkan pemuasan kebutuhan dan kepentingan manusia itu sendiri. Hal berlaku bagi semua hukum termasuk juga hukum Islam.
Hukum Islam adalah hukum hasil daya upaya para ahli fikih dalam menetapkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan demikian hukum Islam sering disebut fikih. Sedangkan Zakariya Al-Anshari memberikan pengertian bahwa hukum Islam adalah seperangkat aturan yang berdasarkan wahyu Allah swt. dan hadits Rasulullah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini, berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Berangkat dari kedua pengertian hukum Islam tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan hukum Islam itu pasti bersumber dari ketetapan Allah swt. dan Rasul-Nya dalam rangka memenuhi kepentingan dan kebutuhan manusi pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Syaikh Zakariya Al-Anshari mengatakan bahwa macam-macam hukum Islam itu jumlahnya ada lima. Pendapat ini didukung oleh seluruh ulama’ ushul fikih yang lain, seperti Imam Nawawi, Abu Zahrah, Mahmud Syalthut dan sebagainya. Adapun kelima macam hukum Islam tersebut sebagaimana berikut ini:
1. Wujub
Yaitu titah Allah SWT. atau Rasul-Nya yang berisi tuntutan secara pasti untuk melakukan sesuatu, sehingga apabila orang mukallaf itu tidak mengerjakannya, maka ia akan mendapatkan dosa dan ancaman Allah dan sebaliknya jika ia akan diberi pahala dari Allah SWT. Seperti halnya dengan perintah shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya.
2. Nadb
Yaitu titah Allah SWT. atau Rasul-Nya yang berisi tuntutan secara tidak pasti. Dengan kata lain bahwa perbuatan itu dianjurkan untuk dilaksanakan. Adapun terhadap orang yang melakukan, ia berhak mendapat ganjaran akan kepatuhannya, tetapi bila tuntutan itu ditinggalkan tidak apa-apa. Oleh karenanya, bagi orang yang meninggalkan, ia tidak patut mendapat ancaman dosa. Seperti halnya dengan perintah bersedekah, shalat sunnah, puasa dan sebagainya.
3. Tahrim
Yaitu titah Allah SWT. atau Rasul-Nya yang berisi tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, dengan arti yang dituntut harus meninggalkannya. Oleh karena itu, bila seseorang meninggalkannya, maka ia patut mendapat ganjaran dalam bentuk pahala, sedangkan bagi orang yang tidak meninggalkan larangan tersebut berarti ia menyalahi tuntutan Allah, karena itu ia patut mendapat ancaman dosa. Seperti halnya dengan larangan berzina, mencuri, membunuh dan sebagainya.
4. Karahah
Yaitu titah Allah SWT. atau Rasul-Nya yang berisi tuntutan untuk meninggalkan secara tidak pasti, dengan arti masih mungkin ia tidak meninggalkan larangan itu. Namun bagi orang yang meninggalkan larangan itu, ia akan mendapatkan pahala. Oleh karena larang ini tidak pasti, maka orang yang tidak meninggalkannya, ia tidak akan mendapat ancaman dosa. Seperti halnya dengan larangan merokok dan sebagainya.
5. Ibahah
Yaitu titah Allah SWT. atau Rasul-Nya yang berisi memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan, yang dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan, baik mengerjakan maupun meninggalkan. Oleh karena, bila ada orang yang mengerjakan atau meninggalkannya maka ia tidak berhak mendapat pahala dan juga tidak patut untuk mendapatkan dosa. Seperi halnya dengan perintah makan, minum dan sebagainya.
Dalam hubungannya dengan beberapa hukum yang dibebankan kepada orang mukallaf (orang yang dibebani hukum), tulisan ini akan membahas seluk beluk pernikahan, khususnya pernikahan poligami atau pernikahan seorang lelaki dengan lebih dari seorang perempuan.
Islam memandang bahwa beristeri lebih dari seorang (poligami) itu boleh, sekalipun pada dasarnya asas yang dianut di dalam Islam adalah asas monogami. Akan tetapi asas ini menutup rapat-rapat bagi kaum lelaki yang mau berpoligami, asalkan mereka mampu berbuat adil di antara isteri-isterinya. Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat (3):
و ان خفتم ان لا تقسطوا فى اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث
ورباع فان خفتم ان لا تعدلوا فواحدة او ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ان لا تعولوا.
“Dan jika kamu takut tidak akan berbuat adil terhadap hak-hak wanita yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinlah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat adil, maka kawinlah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itulah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa: 3).
Menurut Ibnu Jarir al-Thabary, bahwa sesuai dengan nama surat ini Surat An-Nisa’, maka masalah pokoknya adalah mengingatkan kepada orang berpoligami agar berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Sedangkan menurut Imam Ar-Razi bahwa kandungan ayat itu adalah memberantas tradisi kaum lelaki zaman Jahiliyah yang mengawini isteri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi.
Di dalam kitab-kitab fikih klasik pembahasan tentang poligami atau beristei lebih dari seorang itu diperbolehkan kalau sudah memenuhi syaratnya, yaitu bisa berbuat adil di antara isteri-isterinya. Namun di dalam fikih-fikih kontemporer, orang laki-laki yang mau berpoligami atau beristeri lebih dari seorang harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
5. Suami bisa berbuat adil di antara-isterinya;
6. Isteri pertama tidak bisa memberikan keturunan (mandul);
7. Isteri pertama sakit tidak bisa disembuhkan;
8. Isteri tidak dapat menjalankan sebagai sebagai seorang isteri;
Berbeda dengan ketetapan poligami dalam kitab fikih-fikih, ketetapan poligami di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ada sedikit perbedaan, khususnya dalam persyaratan bisanya berpoligami bagi orang laki-laki. Ketetapan tersebut dijelaskan dalam pasal 55 ayat (2), yang berbunyi: “Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.” Dan dijelaskan pada 56 ayat (1), yang berbunyi: “Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang, harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agam.” Dan juga dijelaskan pada pasal 57, yang berbunyi: ‘Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
d. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang isteri;
e. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang dapat disembuhkan;
f. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Di samping itu, ada penjelasan lain di dalam pasal 58 ayat (1) huruf (a) yang menyebutkan bahwa seorang suami yang mau berpoligami, di samping harus memenuhi syarat utama yang disebutkan pasal 55, ia juga harus mendapatkan persetujuan isterinya.
Sesuai dengan sejarah penyusunannya, Kompilasi Hukum Islam adalah rangkuman dari berbagai pendapat ‘ulama’ fikih yang diambil dari berbagai kitab fikih. Kitab-kitab fikih tersebut yang biasa digunakan dan dijadikan referensi oleh para hakim yang ada di Pengadilan Agama. Sedangkan menurut Sukris Sumardi, Kompilasi Hukum Islam adalah hasil loka karya para ulama’ yang dituangkan dalam Impres. No. 1 tahun 1994 yang merupakan fakta kebenaran Fikih Sunni versi Syafi’i, walaupun pada bagian-bagian tertentu di dalamnya ditemukan refleksi-refleksi pemikiran baru untuk mengisi ruang kosong dalam rangka penyesuaian situasi dan kondisi masyarakat Indonesia.
Dari uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih lanjut ketetapan Kompilasi Hukum Islam, khususnya yang terkait dengna ketetapan pasal 58 ayat (1) huruf (a), yang mewajibkan adanya persetujuan isteri bagi seseorang yagn mau berpoligami, sedangkan di dalam kitab-kitab fikih yang menjadi referensi KHI itu sendiri tidak diharuskan adanya persetujuan isteri.
Oleh karena itu, penulis mencoba untuk membahasnya dalam penelitian yang berjudul “Relevansi Pasal 59 Ayat (1) Huruf (a) Kompilasi Hukum Islam dengan Kitab-kitab Fikih yang Menjadi Referensinya” ini.
B. Definisi Operasional
Untuk menghindari bias terhadap masalah dalam penelitian in, maka definisi operasional menjadi penting untuk dijelaskan. Dalam penelitian ini, ada tiga hal yang perlu dijelaskan, yaitu:
1. Relevansi
Yang dimaksud dengan relevansi adalah hubungan atau keterkaitan. Maksudnya, keterkaitan antara ketetapan pasal 58 ayat (1) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, yang mengharuskan adanya persetujuan isteri bagi suami yang mau berpoligami, dengan kitab-kitab fikih yang menjadi referensinya.
2. Kitab-kitab Fikih
Yang dimaksud dengan kitab-kitab fikih dalam penelitian ini adalah kitab-kitab fikih klasik, atau yang biasa disebut dengan kitab kuning (kutubut turats). Kompilasi Hukum Islam disusun dengan berdasarkan pada beberapa pendapat dari kitab-kitab fikih yang sering disebut dengan kitab kuning. Abd. Rahman mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) bersumber pada 38 kitab fikih yang pengkajiannya dibagi dan disebar pada tuju Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dengan perincian sebagai berikut:
a. IAIN Arraniri Banda Aceh
ð Hasyiyah Al-Baijuri;
ð Fathul Muin;
ð Hasyiyah Syarqawi ala al-Tahrir;
ð Nihayatul Muhtaj;
ð Al-Syarqawi.
b. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ð Ia’nah al-Thalibin;
ð Tuhfatul Muhtaj;
ð Targhibul Musytaq;
ð Bulghatus Salik;
ð Syamsuri fil Faraidl;
ð Al-Mudawwanah.
c. IAIN Antarsari Banjarmasin
ð Qulyubi/Mahalli;
ð Fathul Wahhab;
ð Bidayatul Mujtahid;
ð Al-Umm;
ð Bughiyatul Mustarsyidin;
ð ‘Aqidatus Syariah.
d. IAIN Sunan Kali Jogo Yogyakarta
ð Al-Muhalla;
ð Al-Wajiz;
ð Faidhul Qadir;
ð Al-Fiqhu fi Madzabihil Arbaah;
ð Fiqhus Sunnah.
e. IAIN Sunan Ampel Surabaya
ð Kasyful Qina’;
ð Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah;
ð Qawanin al-Syariah li Sayyid Utsman bin Yahya;
ð Al-Mughni;
ð Al-Hidayah Syarh al-Bidayah.
f. IAIN Alauddin Ujung Pandang
ð Qawanin al-Syariah li Sayyid Sadaq Dahlan;
ð Nawwabul Jalil;
ð Syarhu Ibnu al-Abidin;
ð Al-Muwatha’;
ð Hasyiyah Syamsuddin Muhammad Arfatud Dasuqi.
g. IAIN Imam Bonjol Padang
ð Badai’us Shana’i;
ð Tabyinul Haqaiq;
ð Al-Fatawal Hidayah;
ð Farhul Qadir;
ð Al-Nihayah.
Berbeda dengan Abd. Rahman, Mahfudh mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun berdasarkan 13 kitab fikih versi Syafi’i. Hal ini berdasarkan pada fakta yang ada di Pengadilan Agama itu sendiri, di mana para hakim—pra perusan KHI—berpedoman pada 13 kitab fikih Syafi’i. Adapun ketiga belas kitab fikih tersebut adalah:
ð Hasyiyah Al-Baijuri;
ð Fathul Muin;
ð Nihayatul Muhtaj;
ð Tuhfatul Muhtaj;
ð Fathul Wahhab;
ð Bughiyatul Mustarsyidin;
ð Qawaninus Syariah;
ð Al-Nihayah;
ð Al-Fiqhu fi Mazabihil Arbaah;
Dari ketiga belas kitab fikih atau ketiga puluh delapan kitab fikih, menurut Abd. Rahman, terciptalah Kompilasi Hukum Islam, yaitu sebuah kumpulan hukum Islam yang dijadikan sebagai pendoman bagi para hakim yang ada di Pengadilan Agama. Suparman Utsman memberikan pernyataan bahwa Kompilasi Hukum Islam dijadikan pedoman bagi para hakim untuk memutuskan seluruh permasalahan yang masuk dalam kompetensi Pengadilan Agama itu sendiri. Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam ini dapat memberikan implikasi hukum yang kuat.
3. Referensi
Yang dimaksud dengan kata refernsi adalah rujukan (buku) dan juga bisa diartikan kepustakaan. Artinya, kata referensi jika dikaikan judul dalam penelitian adalah kitab-kitab fikih yang menjadikan rujukan kepustakaan dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam.
C. Rumusan Penelitian
Pembahasan tentang relevansi pasal 58 Kompilasi Hukum Islam dengan kitab-kitab fikih itu terlalu luas cakupannya. Oleh karena itu, perlu diberi batasan dan rumusan agar penelitian ini lebih terarah, systematize dan komprehensif. Adapun rumusan masalah yang dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa dalam KHI diharuskan ada persetujuan isteri bagi suami yang mau berpoligami, sedangkan di dalam kitab-kitab fikih yang menjadi referensinya tidak diharuskan?
2. Bagaimana implikasi dari ketetapan pasal 58 ayat (1) huruf (a) KHI tentang keharusan adanya persetujuan isteri bagi suami yang mau berpoligami?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan penelitia di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui secara mendalam alasan-alasan diharuskannya ada persetujuan isteri di KHI, bagi suami yang mau berpoligami, walaupun di dalam kitab-kitab fikih yang menjadi referensinya tidak diharuskan;
2. Untuk mengetahu secara mendalam implikasi dari ketetapan pasal 58 ayat (1) huruf (a) KHI tentang diharuskannya adanya persetujuan isteri bagi suami yang mau berpoligami.
E. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat dari penelitian ini ada dua:
1. Secara Teoritis
Secara teoritis manfaat dari penelitian ini untuk mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum Islam. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memperkaya sudut pandang kita dalam memaham hukum Islam. Penelitian ini merupakan wujud partisipasi penulis dalam wacana ilmiah, sekaligus sebagai sumbangsih penulis dalam kajian serta penelitian bidang hukum Islam, untuk kemudian dapat menjadi referensi tambahan bagi pihak-pihak yang ingin mendalami kajian hukum Islam.
2. Secara Praktis
Secara praktis operasional penelitian ini dapat memberi kontribusi riil pada seluruh kompenen masyarakat praktisi hukum dan para pemerhati hukum Islam, khususnya hukum-hukum yang dimasukkan dalam pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi kehidupan akademis dan praktis masyarakat Indonesia yang realitanya hingga kini masih membutuhkan informasi lebih mendalam tentang apa dan bagaimana hukum Islam itu dilaksanakan, baik hukum-hukum yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam itu sendiri maupun yang hukum-hukum ada adalam kitab-kitab fikih yang menjadi referensinya.