BAB II
PEMBAHASAN
1. Lafadz dan arti surat al-A’raf ayat 179
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami sediakan untuk mereka jahannam banyak dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati (tetapi) tidak mereka gunakan memahami, dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai”.
Ayat ini menjadi penjelasan mengapa seseorang tidak mendapat petunjuk dan mengapa pula yang lain disesatkan Allah. Ayat ini juga berfungsi sebagai ancaman kepada mereka yang mengabaikan tuntunan pengetahuannya. Ia menjelaskan bahwa mereka yang kami kisahkan keadaannya itu, yang menguliti dirinya sehingga kami sesatkan adalah sebagian dari yang kami jadikan untuk isi neraka dan demi keagungan dan kemuliaan kami sungguh kami telah ciptakan untuk isi neraka jahannam banyak sekali dari jenis jin dan jenis manusia karena kesesatan mereka.
Hati, mata, dan telinga orang-orang yang memilih kesesatan dipersamakan dengan binatang karena binatang tidak dapat menganalogikan apa yang dia dengar dan lihat dengan sesuatu yang lain. Binatang tidak memiliki akal seperti manusia. Bahkan manusia yang tidak menggunakan potensi yang dianugerahkan Allah lebih buruk. Sebab binatangdengna instinknya akan selalu mencari kebaikan-kebaikan dan menghindari bahaya, sementara manusia durhaka justru menolak kebaikan dan kebenaran dan mengarah kepada bahaya yang tiada taranya.
Setelah kematian, mereka kekal di api neraka, berbeda dengan binatang yang punah dengan kematiannya. Disisi lain, binatang tidak dianugerahi potensi sebanyak potensi manusia, sehingga binatang tidak wajar dikecam bila tidak mencapai apa yang dapat dicapai manusia. Manusia pantas dikecam bila sama dengan binatang dan dikecam lebih banyak lagi jika ia lebih buruk daripada binatang, karena potensi manusia dapat mengantarnya meraih ketinggian jauh melebihi kedudukan binatang.
Kata (الغـافلون) al-ghafilun terambil dari kata (غفلة) ghaflah yakni lalai, tidak mengetahui atau menyadari apa yang seharusnya diketahui dan disadari,
Keimanan, dan petunjuk Allah sedemikian jelas, apalagi bagi yang berpengetahuan, tetapi bila mereka tidak memanfaatkannya maka mereka bagaikan orang yang tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa mereka memiliki potensi atau alat untuk meraih kebahagiaan. Inilah kelalaian yang tiada taranya.
2. Penjelasan Manusia Sebagai Pemelihara Keseimbangan Lingkungan
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan Allah, karena manusia telah dilengkapi dengan akal maka secara tidak langsung manusia pun bia membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Maka berdasarkan kelebihan tersebut itulah maka manusia dijadikan khalifah di dalam bumi ini, bila manusia melakukan kesalahan dalam melestarikan dalam ini maka manusia harus bisa mempertanggungjawabkan apa-apa yang telah diperbuat.
Sehubungan dengan itu, maka jika dikaitkan dengan surat fathir ayat 28, sesudah Allah berturut-turut dalam beberapa ayat menegaskan/menerangkan keadaan alam dan bumi, gunung, sungai dan warna-warni batu-batu, Allah menegaskan:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Hanya yang bisa takut kepada Allah ialah ulama”
yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
Diatas tadi sudah dijelaskan dalam surat al-A’raf ayat 179, bahwa manusia yang telah diberi hati, mata, dan telinga tetapi tidak menggunakan dengan sebaik-baiknya atau sesuai dengan fungsinya itulah mereka orang-orang yang lalai. Manusia sendiri sebagai pemelihara keseimbangan lingkungan harus bisa mempraktekkan apa yang telah diperintah oleh Allah dari hati, mata dan telinga tadi, jika kita sendiri bisa menjaga keseimbangan lingkungan niscaya Allah pun akan memberi keselamatan dan keamanan di dalam bumi ini.
3. Fungsi Dari Kandungan Surat Al-A’raf ayat 179
Berhati tetapi tidak mengerti
“Dan sesungguhnya telah kami sediakan untuk mereka jahannam banyak dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati (tetapi) tidak mereka gunakan memahami, dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar”.
Di dalam segala bahasa terdapat perkataan hati, dan perkataan hati ini baik dalam bahasa Arab bahasa al-Qur’an, atau dalam bahasa kita sendiri mempunyai dua arti, pertama hati sebagai bagian badan manusia yang terletak di dalam kurungan dadanya, itulah hati sebagai benda atau bagian tubuh.
Kemudian dipakai lagi arti yang kedua, yang kadang-kadang berarti akal, kadang-kadang berarti perasaan yang halus, disebut juga “rasa hati” atau “hati kecil” atau “hati sanubari” atau “hati nurani”, sebenarnya menurut penyelidikan tubuh lahir batin manusia, jiwa dan badannya, orang sependapat bahwa kegiatan berfikir ialah dari otak, bukan dari hati. Tetapi bahasa yang dipakai telah menentukan bahwa kalimat hatilah yang dipakai untuk menyatakan fikiran nurani.
Ayat ini menyatakan bahwa dua makhluk Allah yang utama, pertama jin, kedua manusia, telah diberi oleh Allah hati. Maka boleh juga kita artikan bahwa mereka telah diberi Allah otak buat berfikir. Tetapi mereka telah disediakan untuk menjadi penghuni neraka jahannam, kalau hati itu tidak mereka gunakan untuk mengerti, untuk berfikir, untuk merenung atau untuk memahamkan.
Disini tersebut yafqahuun, artinya berfikir/berfaham. Menurut ahli bahasa, orang yang berfikir/orang yang berfaham ialah orang yang dapat melihat yang tersirat di belakang yang tersurat. Melihat nyata barang yang tidak nampak, yang ada dibalik yang nampak. Pada ayat ini didahulukan menyebut hati dan berfaham, daripada menyebut mata dan melihat dan telinga dan mendengar. Sebab mata dan telinga adalah dua panca indera yang menjadi bagian hati untuk berhubungan keluar diri. Apa yang dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga, dibawa ke dalam hati dan dipertimbangkan.
Di dalam ayat ini didahulukan menyebut jin dan manusia. Sebagaimana yang telah kita ketahui beberapa ayat, jin ialah makhluk halus yang tidak dapat dicapai oleh panca indera manusia. Mungkin sekali disebut karena merekalah yang lebih besar mempunyai sifat-sifat yang disebutkan itu. Yaitu kelalaian dan tidak ada pengertian atau perhatian, termasuklah syaitan iblis di dalam gologan jin, sebab satu asalnya yaitu dari nyala api.
Sufat al-Rahman ayat 15:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
Artinya: “Dan dia menciptakan jin dari nyala api”
Ayat ini menerangkan bahwa semua makhluk insan atau jin itu telah sama diberi hati (fikiran), mata dan telinga oleh Alah. Tentu saja hati, mata dan telinga jin menurut keadaannya pula, yang kita tidak tahu bagaimana rupanya. Tetapi di kalangan mereka banyak yang tahu bagaimana rupanya. Tetapi di kalangan mereka banyak yang tidak mempergunakannya dengan baik. Hati tidak dibawa untuk mengerti, mata tidak dibawa buat melihat, telinga tidak dibawa buat mendengar. Artinya, mereka tidak berfikir untuk mencari mana yang benar, mana yang bersih dan tidak mereka hendak mencapai hakekat yang sejati yaitu kebenaran dan ke-Esaan Allah, sehingga bergelut dan bergelimanglah diri merek dengan khurafat, kebodohan jiwa kecil dan kehinaan.