BAB I
PENDAHULUAN
Sains merupakan bidang yang sangat menarik dan tentu saja bagi semua orang. Hampir tidak ada noktah pun dalam alam semesta kita ini yang tidak merasakan sentuhan dan dampak dari sains, terutama implikasi dan aplikasinya dalam bentuk teknologi. Dari hasil kajian dalam perkembangan sains disana ternyata ada sebuah mantra yang menarik sekaligus mentengahkan, tetapi ironisnya belum banyak orang sampai pada kesadaran.
Sederhana sains dengan paradigma memberi implikasi untuk memaknakan kembali wajah kosmologi. Selain itu, sains yang berparadigma mampu menimbulkan kembali dengan nuansa-nuansa baru, sekaligus menerangi hingga batas-batas tertentu problem klasik hubungan antara sains dan dimensi religiesitas manusia
Sudah diakui umum bahwa sains tak bisa maju beberapa pengadaian dan atau pra seleksi, yang dipergunakan sebagai sumber-sumber dari induksi dan seleksi ilmiah yang asli. Pengadaian-pengadaian dan praseleksi-praseleksi sejenis itu tidak bisa dibuktikan, dan juga tidak bisa dideduksikan dari data ilmiah sendiri, dalam arti ilmiah yang biasa. Karena itu, pilihan praseleksi-praseleksi dan penerimaan pengadaian-pengadaian kurang lebih tergantung pada lingkungan cultural dimana para sarjana hidup. Persis karena interface itulah agama-agama bisa memainkan suatu peranan yang penting dalam perkembangan sains.
BAB II
PENGARUH SAINS TERHADAP AGAMA
Topik hubungan antara sains dan agama mungkin sangat sulit. Dalam seluruh sejarah kesusasteraan Cina, yang berasal lebih dari 2000 tahun yang lampau, hampir tak ada satu kata pun mengenai relasi antara sains dan agama. Apakah agama dan sains itu saling menyongkong, ataukah beroposisi atau satu sama lain. Menurut banyak ahli sejarah, itu sebagai akibat dari ketiadaan umum pengaruh religius kuat apa pun atas kebudayaan Cina yang tradisional.
Namun demikian agama sebetulnya merupakan suatu komponen yang kadang-kadang bersifat penting sekali dalam kebudayaan Cina. Taoisme adalah suatu agama asli (pribumi) yang dasar perkembangannya adalah sebuah sekolah-sekolah yang paling termasyur pada abad VI sebelum Masehi. Agama Budhis dan Islam juga dianut dalam waktu kurang lebih sama oleh jumlah-jumlah tertentu warga negara Cina. Sesungguhnya, jumlah tempat ibadat proporsional dengan jumlah penduduk Cina, termasuk gereja-gereja, candi-candi, mesjid-mesjid, biara-biara tak kalah dengan Eropa atau asia Tengah. Hampir semua kaisar bentuk kegiatan religius. Jadi memang salah jika dikatakan agama absen dari kebudayaan Cina.1
Meskipun demikian, dalam sejarah Cina, pengaruh agama atas lingkungan ilmiah bersifat kecil saja. Kebudayaan religius hanya mempengaruhi ide-ide filosofis saja dari kaum intelektual, dari pada kepercayaan-kepercayaan pribadi mereka. Misalnya walaupun Toisme cukup populer sebagai agama diantara orang-orang biasa waktu dinasti Tang (818-905), namun Kosmologi Taois seperti kepercayaan bahwa sesuatu berasal dari ketiadaan tak pernah masuk ortodoksi religius bagi para ahli astronomi seperti halnya dengan kosmologi Aristotelian di Eropa Kristiani Abad Pertengahan.2
Fenomen unik khas bagi Cina itu tidak berubah waktu datangnya sains modern. Romo Yesuit Mattero Ricci adalah orang pertama yang memperkenalkan astronomi Eropa dan sains-sains Barat yang lain kepada Cina. Dalam waktu yang sama beliau juga mendirikan beberapa gedung misi dan gereja di Guangzhou dan Beijing. Astronomi Ricci itu yang dimasukkan ke Cina lambat laun diterima oleh para ahli astronomi Cina dan dipakai untuk menggantikan astronomi Cina dalam preparasi kalendar-kalendar. Namun demikian, Gereja Katolik tak pernah berhasil menjadi popular di antara para sarjana. Kontras yang tajam dengan Barat tentang hubungan antara agama dan sains mneonjolkan apa yang tipikal pada sikap para sarjana Cina terhadap agama. Sikap tersebut tampak sebagai hasil dari tradisi Konfusianisme, yang memprioritas Etika sosial dan penerapannya (aplikasinya), dan melalaikan ontology. Konfusius pernah berkata: “dewa-dewa harus kita hormati tetapi juga kita jauhi”. Maka, meskipun eksistensi Allah juga diperdebatkan di Cina seperti halnya di Barat, namun jumlah sarjana Cina yang terlibat kecil saja. Sebuah kutipan dari paham konfusianisme bernada sebagai berikut: “pengetahuan kita mengenai manusia begitu tipis, maka bagaimana mungkin mengerti dewa-dewa?
Jikakalau kita hanya tertarik pada bidang titik kontak antara sains dan agama dalam kebudayaan Cina saja, maka barang kali sudah cukup berhenti disini. Kalau kita ingin memperajari secara lebih universal mengenai hubungan antara sains dan agama, maka sejarah cina bisa memberi kita suatu kasus studi yang baik berdasarkan perbandingan antara cina dan barat dalam perkembangan ide-ide ilmiah. Karena sains adalah sama dimana-mana, maka perbedaan-perbedaan dalam latar belakang cultural mereka masing-masing. Dengan begitu pengaruh agama atas sains bisa diterangi sampai batas tertentu kalau perkembangan sains di Cina dibandingkan dengan perkembangan di Barat.3
Beberapa dari “interface” itu antara sains dan agama pernah bersifat positif, atau bermanfaat satu sama lain; tetapi ada juga yang bersifat negatif atau kokflik satu sama lain. Karena banyak “interfances” negatif dalam sejarah hubungan antara sains dan agama sudah dikenal, maka diskusi ini akan terbatas pada pelbagai kasus jelas dari interfaces yang positif, dengan membuat suatu analisa yang memparalelkan cina dan barat
Understandality
Mungkin pengadaian yang paling penting sebagai dasar semua ilmu pengetahuan adalah “Understandality” (kemungkinan untuk mengerti) dari alam semesta; artinya, kepercayaan bahwa selalu ada jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang sedang dipelajari, jelas bahwa pengadaian itu tampak sepele (“Trivial”) dalam kebanyakan hal. Namun demikian dalam masalah-masalah yang tidak begitu dekat dengan pengalaman kita sehari-hari, asumsi pertama yang perlu dibuat, sebagai kepercayaan, adalah bahwa masalah yang dihadapi memang akan biasa dimengerti. Dalam arti itu pengadaian inteligibilitas (dunia) sangat signifikatif.4
Satu dari masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian dari hampir semua generasi sarjana adalah: begaiamana bulan, planet-planet dan bintang-bintang tetap tinggal diangkasa dan tidak jatuh keatas bumi seperti halnya dengan objek-objek lain yang lebih dekat? Topik tersebut berulang-ulang kali dipelajari, dibicarakan dan di jawab oleh para pemikir, mulai dari Aristoteles sampai Newton. Tentu saja, dalam prespektif Fisika Modern, semua jawaban pra Newtonian bersifat salah. Tetapi pokoknya adalah bahwa semua pemikir kuno itu percaya bahwa pertanyaan atau topik tersebut bisa dijawab. Didepan stabilitas benda-benda angkasa diatas bumi, semua serjana barat menganut pengadaian dari “Understandality” (inteligiblitas).
Situasi dicina berbeda sama sekali. Menurut kesusteraan cina abad ketiga, sementara orang cina dikota Ji khawatir tentang apakah dan kapan langit akan runtuh. Berlainan dengan dunia barat masalah sejenis itu tak pernah menarik perhatian yang sungguh dari para sarjana cina. Jawaban umum akan pertanyaan itu adalah bahwa tak ada jawaban yang bisa dipercaya. Li Bai, penyair yang paling masyur waktu dinasti Tang pernah menulis: “ Mengapa memboroskan waktu, seperti penduduk-penduduk Ji, dengan khawatir tentang kerutuhan langit?” sejak zaman itu di cina khawatir tentang keruntuhan langit seperti penduduk-penduduk Ji menjadi semacam idiom untuk melukiskan seseorang yang memperhatikan masalah-masalah yang tidak berarti. Jikakalau para sarjana cina menghadapi masalah bagaimana objek-objek dilangit tidak jatuh, mereka mengandaikan bahwa itu tidak bisa dimengerti. Hal ini mendukung pedapat bahwa kiranya batas-batas antara pengadaian-peangadaian dari Understandability dan non Understandability tergantung masing-masing pada segi cultural.
Mengapa pengadaian-pengadaian begitu berbeda di cina dan barat? Kiranya satu-satunya penjelasan yang tampak adalah perbedaan-perbedaan kebudanyaan antara cina dan dunia barat. Agamalah yang justru mengakibatkan perbedaan-perbedaan cultural itu. Meskipun pertanyaan-pertanyaan religius sama sekali berbeda dengan pernyataan-pernyataan ilmiah, waktu teologi barat mencoba untuk memperlihatkan apa yang bisa dan perlu dibuat dalam pelajaran pertanyaan-pertanyaan religius, teologi barat sendiri juga mengambil dan sistemnya pertanyaan “Undestandablity”. Dalam teologi terdapat banyak pernyataan tradisional seperti misalnya eksistensi Allah, yang jauh lebih transcendental dari pada pertahanan benda-benda angkasa.5 Jadi adalah normal dalam sebuah tradisi religius semacam itu, bahwa hanya beberapa orang skeptis ragu tentang kemungkinan untuk menjelaskan pertahanan benda-benda angkasa. Pengadaian bahwa dunia bisa dimengerti berasal, setidak-tidaknya untuk sebagian, dari tradisi-tradisi religius barat. Dalam arti itulah, pengadaian bahwa masalah-masalah yang terletak jauh dari eksperimentasi langsung atau bahkan bersifat transcendental, namun bisa dimengerti merupakan suatu titik kontak (interface) antara sains dan agama, dibarat. Titik kontak tersebut bersifat positif sekali.
Uniformity
Kontras yang kedua antara astronomi kuno cina dan barat mengenai gerakan dari planet-planet. Semua orbit bintang-bintang dalam bola angkasa tetap bersifat bundar. Namun, kelima planet yang terlihat mata biasa dalam tata surya kita berkecuali dan tidak normal, kalau dilihat dari bumi. Planet-planet itu tampak bergerak secara tetap didalam perjalanan keliling diseberang langit; kadang-kadang mereka tampak bergerak lebih pelan-pelan, dan kadang-kadang lebih cepat, bahkan kadang-kadang mundur dan berhenti antara kedua gerakan itu. Fenomen-fenomen tersebut dicatat dengan presisi yang sama oleh kedua kelompok ahli astronomi cina dan barat. Kedua-duanya mempunyai metode khas masing-masing untuk meramalkan gerakan-gerakan dari planet, termasuk gerakan mundur dan perhentian.6
Perbedaan antara astronomi cina kuno dan astronomi barat adalah bahwa para ahli barat tetap mencari penjelasan tentang kelainan-kelainan dalam gerakan-gerakan dari planet-planet, sedangkan para ahli cina tidak. Pokoknya dibarat adalah membuat suatu model yang bisa memperlihatkan bahwa gerakan-gerakan bintang-bintang dan planet-planet sungguh-sungguh bersifat seragam satu sama lain. Usaha untuk menemukan keseragaman sejenis itu antara bintang-bintang dan planet-planet merupakan suatu pengejaran umum pada himpunan sarjana-sarjana astronomi dibarat. Hal itulah yang sangat mendorong kopernikus untuk menyusun teori heliosentrisnya. Pendeknya waktu para ahli astronomi barat dikonfrontasikan dengan perbedaan-perbedaan yang ada dalam gerakan-gerakan bintang-bintang dan planer-planet, mereka ini mengambil pengadaian keseragaman.
Berlainan dengan ini, para ahli astronomi cina tampak lebih tertarik pada fenomen-fenomen yang tidak normal. Dalam astronomi cina kuno, jumlah catatan mengenai fenomen-fenomen yang tidak normal jauh lebih tinggi daripada barat, seperti meteor-meteor, komet-komet, titik-titik dalam matahari, bintang-bintang nova dan spernova. Para ahli astronomi cina sesungguhnya lebih cenderung memilih skema diversifikasi. Jadi sangat normal bahwa dengan skema itu para ahli astronomi cina tak pernah mengira bahwa perbedaan-perbedaan dalam gerakan-gerakan dari bintang-bintang dan planet-planet lebih penting daripada fenomen-fenomen tidak biasa lain yang sudah dicatat.
Perbedaan dalam jawaban-jawaban dari astronomi cina dan barat terhadap masalah-masalah planet-planet barang kali tergantung sebagian pada perbedaan tradisi-tradisi religius yang menjiwai kebudayaan-kebudayaan mereka masing-masing. Paham-paham dunia barat dan terutama agama kristiani menyatakan bahwa seluruh alam semesta diciptakan oleh satu pencipta. Pandangan itu membantu perkembangan teori-teori astronomi keseragaman (uniformity). Paham Toisme juga mendukung keseragaman dalam ekstrem ini. Didalam Tao-Te Ching misalnya, tertulis: “ Yang satu menimbulkan yang Dua, Yang Dua menimbulkan yang Tiga, dan Yang Tiga menimbulkan semua benda yang ada didalam dunia”. Namun demikian, seperti sudah dicatat didepan, paham Taoisme, berlainan dengan paham konfusianisme, tidak menjadi ideology yang dominan dalam kebudayaan cina.
Oleh karena itu, boleh ditarik kesimpulan bahwa pengedaian keseragaman merupakan titik-kontak penting yang kedua antara sains dan agama. Kepercayaan total akan keseragaman dibarat mungkin adalah alasan mengapa astronomi barat lalai mencatat beberapa benda angkasa yang tidak biasa. Namun demikian, mengenai membuka kedok misteri dari gerakan-gerakan planet-planet, mengadaikan adanya keseragaman pasti merupakan sebuah titik kontak yang positif antara sains dan agama dibarat.
Universality
Konsep “relativitas” memberi kita suatu contoh lagi (yang ketiga) tentang kontras antara pola-pola cina dan barat mengenai titik kontak antara sains dan agama. Suatu kutipan terkenal yang diambil dari Dialogue Concerning the Two Chief World Sistems oleh Galileo bernada: tutuplah diri kau sendiri dalam kabin yang pokok dibawah geladak dari suatu perahu yang besar ambillah suatu mangkuk air dengan seekor ikan didalamnya kalau perahu itu tidak bergerak ekor ikan tersebut berenang kemana-mana secara sama kalau perahu maju apapun kecepatan kaumilih, selama gerakannya perahu tetap sama engkau tidak akan menemukan perubahan betapun kecilnya dan engkau tak bisa berkata apakah perahu bergerak atau sedang berhenti.7
Kutipan diatas diakui sebagai kali pertama dalam sejarah fisika dimana konsep relativitas disinggung. Sesungguhnya kutipan tersebut memainkan peranan yang penting dalam pendirian prinsip mekanik dari Newton, bahkan prinsip relativitas Einstein.
Perbedaan dalam jawaban-jawaban terhadap konsep relatavitas dicina dan barat terikat dalam ketiadaan konsep universalan dalam sains-sains tradisional dicina. Karena tidak ada kepercayaan akan prinsip-prinsip universal dan jujga tidak ada motivasi untuk menemukan hukuman-hukuman universal didalam semesta alam, maka pernyataan tentang “tidak merasa apa-apa dalam sebuah kabin yang bergerak”, kurang penting artinya dan hanya tampak sebagai metafor atau analogi untuk menjelaskan mengapa tidak merasa apa-apa walaupun bumi bergerak”. Namun pernyataan Galileo berdasarkan suatu pengadaian yang implicit, ialah ilmu fisika tentang angkasa tidak berbeda dengan ilmu fisika tentang bumi. Itulah pengadaian keuniversalan. Banyak peristiwa dalam sejarah ilmu fisika sudah membuktikan bahwa prisnsip-prinsip unversal bisa dicapai langkah demi langkah dengan menganalisis suatu analogi spesifik, seperti dalam metode yang dipakai untuk eksperimen ideal. Prestasi-prestasi sebaik itu hanya mungkin dicapai karena pengaruh dari pengadaian keuniversalan. Tidak bisa dikatakan bahwa konsep keuniversalan itu seluruhnya hanya berasal usul dari tradisi-tradisi religius barat, karena konsep tersebut juga berkembang dengan cemerlang sekali dalam yunani yang kuno. Namun demikian, kebudayaan religius barat mempertahankan dan memperkuat sekaligus kepercayaan akan adanya prinsip-prinsip universal dan semangat untuk mencari keuniversalan didalam alam semesta. Oleh sebab itu, prinsip keuniversalan itu juga hanya bisa kategorikan sebagai contoh lagi dari titik kontak yang positif antara sains dan agama barat.8
Suatu hasil pendahuluan dari analisa yang bersifat parallel itu hanya adalah bahwa pendapat bahwa terdapat semacam dikatomi antara sains dan agama tampak jauh kurang impresif. Titik kontak antara kedua segi tersebut bisa dilihat pertama-tama pada formasi, pengakuan atau penolakan pengadaian-pengadaian dan praseleksi-preseleksi dalam kegiatan-kegiatan ilmiah. Sebetulnya kebudayaan manusiawi merupakan suatu keseluruhan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, dalam arti bahwa setiap bagian dalam keseluruhan itu tidak bisa tidak bereaksi dengan yang lain dan setiap bagian juga bermanfaat bagi yang lain. Jika elaborasi dan interaksi dalam bermacam-macam komponen kebudayaan manusiawi, termasuk sains dan agama, keduanya penting dan perlu.
BAB III
KESIMPULAN
Topik hubungan antara sains dan agama mungkin sangat sulit. Dalam seluruh sejarah kesusasteraan Cina, yang berasal lebih dari 2000 tahun yang lampau, hampir tak ada satu kata pun mengenai relasi antara sains dan agama
Agama sebetulnya merupakan suatu komponen yang kadang-kadang bersifat penting sekali dalam kebudayaan Cina. Agama Budhis dan islam juga dianut dalam waktu kurang lebih sama oleh jumlah-jumlah tertentu warga negara Cina. Sesungguhnya, jumlah tempat ibadat proporsional dengan jumlah penduduk Cina, termasuk gereja-gereja, candi-candi, mesjid-mesjid, biara-biara tak kalah dengan Eropa atau asia Tengah.
Kalau kita ingin memperajari secara lebih universal mengenai hubungan antara sains dan agama, maka sejarah cina bisa memberi kita suatu kasus studi yang baik berdasarkan perbandingan antara cina dan barat dalam perkembangan ide-ide ilmiah. Karena sains adalah sama dimana-mana, maka perbedaan-perbedaan dalam latar belakang cultural mereka masing-masing. Dengan begitu pengaruh agama atas sains bisa diterangi sampai batas tertentu kalau perkembangan sains di Cina dibandingkan dengan perkembangan di Barat. Beberapa dari “interface” itu antara sains dan agama pernah bersifat positif, atau bermanfaat satu sama lain; tetapi ada juga yang bersifat negatif atau kokflik satu sama lain. Karena banyak “interfances” negatif dalam sejarah hubungan antara sains dan agama sudah dikenal.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Leahy Louis, Sains Dan Agama Dalam Konteks Zaman ini, Yogyakarta: Kanisius 1997
Seotomo Greg, Sains Dan Problem Ketuhanan, Yogyakarta: Kanasius. 1995
W. Stoeger R. Russell dan G. Coynt, Natural Science and Belief In Acreator, Vaticancity: Vatican Observatory, 1998
Wilkes Keith, Agama dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Yayasan Cipta Lokacaraka, 1997
PENGARUH SAINS TERHADAP AGAMA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:
“Filsafat Kebudayaan”
Oleh:
M. A. El. Mubarok E01301191
Dosen Pembimbing :
SUHERMAN
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2006