Gabungan hukuman dapat terjadi manakala terdapat gabungan jarimah.Gabungan terjadi apabila seseorang melakukan beberapa macam jarimah, dimana pada masing-masing jarimah tersebut belum mendapat keputusan terakhir.
Gabungan jarimah adakalanya terjadi dalam lahir saja, dan adakalanya benar-benar nyata. Gabungan dalam lahir terdapat apabila pelaku melakukan suatu jarimah yang dapat terkena oleh bermacam-macam ketentuan. Contohnya seperti seseorang melakukan penganiayaan terhadap seorang petugas yang melaksanakan tugasnya. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena penganiayaan dan melawan petugas.
Gabungan jarimah nyata adalah apabila terjadi beberapa macam perbuatan jarimah dari pelaku, sehingga masing-masing jarimah bisa di anggap sebagai jarimah yang berdiri sendiri. Contohnya seperti tukang pencak yang dengan kakinya melukai seseorang, dan dengan tangannya menikam orang lain sampai mati. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena melakukan penganiayaan dan pembunuhan.
Dari uraian tersebut terlihat jelas perbedaan perbedaan antara gabungan dengan pengulangan, sebagaimana telah di uraikan di atas. Letak perbedaan antara keduanya adalah dalam hal apakah pelaku dalam jarimah pertama atau sebelumnya sudah dihukum (mendapat keputusan terakhir) atau belum. Kalau belum, itu termasuk gabungan dan kalau sudah, itu termasuk pengulangan.
Seharusnya pelaku pada gabungan jarimah tidak dijatuhi hukuman atas semua jarimah yang dilakukannya, meskipun gabungan jarimah tersebut menunjukkan jiwa kejahatannya. Hal ini oleh karena ketika ia mengulangi suatu perbuatan jarimah, ia belum mendapat hukuman dan pengajaran dari jarimah sebelumnya. Berbeda dengan pengulang kejahatan yang telah mendapat hukuman, dan dengan hukuman itu dimaksudkan agar ia tidak mengulangi perbuatannya.
Dalam hukum positif terdapat tiga teori mengenai gabungan jarimah ini.
1) Teori berganda.
Menurut teori ini pelaku mendapat semua hukuman yang ditetapkan untuk tiap-tiap jarimah yang dilakukannya. Kelemahan teori ini terletak pada banyaknya hukuman yang dijatuhkan. Hukuman penjara misalnya adalah hukuman sementara, tetapi apabila digabung-gabungkan maka akan berubah menjadi hukuman seumur hidup.
2) Teori penyerapan.
Menurut teori ini hukuman yang lebih berat dapat menyerap (menghapuskan) hukuman yang lebih ringan. Kelemahan teori ini adalah kurangnya keseimbangan antara hukuman yang dijatuhkan dengan banyaknya jarimah yang dilakukan, sehingga terkesan hukuman demikian ringan.
3) Teori campuran.
Teori merupakan campuran antara berganda dan penyerapan. Teori ini dimaksudkan untuk melemahkan teori yang ada dalam kedua teori tersebut. Menurut teori campuran hukuman-hukuman biasa digabungkan, asal hasil gabungan tidak melebihi batas tertenu, sehingga dengan demikian akan hilanglah kesan berlebihan dalam penjatuhan hukuman. .
Dalam hukum pidana indonesia, ketentuan mengenai gabungan tercantum mdalam pasal 63 sampai dengan 71 KUHP pidana.dari pasal tersebt dapat diketaui bahwa dalam hukum pidana indonesia ada beberapa teori yang dianut berkaitan dengan gabungan hukuman ini.Teori-teori trsebut adalah sebagai berikut.
1) Teori penyerapan biasa
Menurut teori ini hanya satu pidana yang diterapkan pada pasal 63 KUHP, yaitu yang paling berat hukuman pokoknya, apabila suatu perbuatan pidana diancam dengan beberapa aturan pidana
2) Teori penyerapan keras
Menurut teori ini dalam hal gabungan perbuatan yang nyata yang diancam dengan hukuman pokok adalah yang sejenis, hanya satu hukuman saja yang dijatuhkan dan hukuman tersebut bisa diberatkan dengan septiga dari maksimum hukuman yang seberat-bratnya.
3) Teori berganda yang dikurangi
Teori ini hampir sama dengan teori yang bersumber dari pasal 65 dan 66 KUHP. Menurut teori ini, yang tercantum dalam pasal 65 ayat (2), semua hukuman dapat dijatuhkan, tetapi jumlah keseluruhannya tidak melebihi hukuman yang paling berat, ditambah dengan sepertiganya.
4) Teori berganda biasa
Menurut teori ini, semua hukuman dijatuhkan tanpa dikurangi. Ini di anut oleh pasal 70 ayat (1) yang berbunyi: “ Jika ada gabungan secara yang termaksud dalam pasal 65 dan 66 antara pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi”.
Dala hukuman pidana Islam, teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal oleh para fuqaha, tetapi teori tersebut dibatasi dengan dua teori yang lain, yaitu teori saling memasuki (Tadakhul) dan penyerapan (Al-Jabb).
1. Teori Saling Melengkapi (At-Tadakhul)
Menurut teori tadakhul, ketika terjadi gabungan perbuatan maka hukuman-hukumannya saling melengkapi (memasuki), sehingga oleh karenanya semua perbuatan tersebut hanya dijatuhi satu hukuman, seperti kalau seseorang melakukan satu jarimah. Teori tersebut didasarkan atas dua pertimbangan.
a. Meskipun jarimah yang dilakukan berganda, tetapi semua itu jenisnya sama. Maka sudah sepantasnya kalau pelaku hanya dikenakan satu macam hukuman saja. Contohnya pencurian yang berulang-ulang.
b. Meskipun perbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda dan berbeda-beda macamnya, namun hukumannya bisa saling melengkapi, dan cukup satu hukuman yang dijatuhkan untuk melindungi kepentingan yang sama. Misalnya, seseorang yang makan bangkai, darah dan daging babi, cukup dijatuhi satu hukuman, karena hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan untuk mencapai satu tujuan, yaitu melindungi kesehatan dan kepentingan perseorangan dan juga masyarakat.
Fuqaha Malikiyah menggunakan teori takadhul ini dalam beberapa kasus tindak pidana yang hukumannya sama, seperti qadzaf dan minum-minuman keras. Pedoman mereka dalam menerapkan teori takadhul ini adalah dengan melihat tujuan penjatuhan hukuman yang sama atau hukuman sejenis. Oleh karenanya, apabila hukuman-hukuman dari jarimah yang berganda itu tidak mempunyai kesatuan tujuan maka tidak digunakan teori saling melengkapi, melainkan teori berganda biasa, sehingga semua hukuman dijatuhkan.
2. Teori Penyerapan (Al-Jabb)
Pengertian penyerapan menurut syariat Islam adalah cukup untuk menjatuhkan satu hukuman saja, sehingga hukuman-hukuman yang lain tidak perlu dijatuhkan. Hukuman dala konteks ini tidak lain adalah hukuman mati, dimana pelaksanaannya dengan sendirinya menyerap hukuman-hukuman yang lain.
Teori penyerapan ini belum di sepakati oleh para fuqaha. Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad menggunakan teori ini, sedangkan Imam Syafi’i tidak menggunakannya. Mereka yang menggunakan juga berbeda pendapat sampai di mana wilayah berlakunya, apakah mencakup semua jenis jarimah atau tidak.
Menurut Imam Malik, apabila hukuman had berkumpul dengan hukuman mati, baik sebagai had atau qishash maka hukuman had tersebut menjadi gugur, karena sudah diserap dengan hukuman mati, kecuali hukuman had qadzaf. Menurut Imam Ahmad apabila terjadi dua jarimah hudud yang salah satunya diancam dengan hukuman mati maka hukuman mati saja yang dilaksanakan, sedangkan hukuman yang lain menjadi gugur. Akan tetapi, apabila hukuman hudud (yang merupakan hak Allah) berkumpul dengan hukuman yang merupakan hak manusia, di mana salah satunya diancam dengan hukuman mati maka hak-hak adami (manusia) tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu, sedangkan hukuman-hukuman had yang lain diserap oleh hukuman mati.
Menurut Imam Abu Hanifah, apabila terdapat gabungan hak dalam hukuman (antara hak Allah dengan hak manusia) maka hak manusialah yang harus didahulukan. Kalau sesudah dilaksanakannya hukuman tersebut, hak Allah (hukuman hudud) tidak bisa dijalankan lagi maka hukuman tersebut hapus dengan sendirinya. Kalau masih bisa dilaksanakan, dan hukuman yang merupakan hak Allah itu lebih dari satu maka cukup satu hukuman saja yang dijatuhkan, yaitu hukuman yang dapat menggugurkan hukuman-hukuman yang lain. Sebenarnya pendapat Imam Abu Hanifah ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Imam Ahmad.
Imam Syafi’i yang tidak menggunakan teori penyerapan, berpendapat bahwa semua hukuman harus dilaksanakan selama hukuman tersebut tidak saling memasuki (melengkapi). Caranya adalah dengan mendahulukan hukuman-hukuman yang merupakan hak manusia yang bukan hukuman mati, kemudian hukuman yang merupakan hak Allah yang bukan hukuman mati, dan terakhir barulah hukuman mati. Apabila orang yang terhukum mati dalam menjalani hukuman-hukuman tersebut sebelum dilaksanakannya hukuman mati maka hapuslah hukuman-hukuman yang lain yang belum dilaksanakan.
Sebagian ilama Syafi’iyah tampaknya ada yang menggunakan teori penyerapan ini, akan tetapi sebenarnya mereka tidak menggunakannya melainkan menggunaklan teori saling memasuki. Misalnya, dalam tindak pidana pencurian dan perampokan. Dalam kasus ini mereka tidak melaksanakan hukuman potong tangan, karena telah cukup dengan hukuman mati yang merupakan hukuman untruk perampokan. Mereka memasukkan perampokan sebagai pencurian berat, sedangkan pencurian disebut sebagai pencurian ringan.