Juli ini, Universitas Paramadina mengadakan Ceramah Memperingati Wafatnya Nurcholish Madjid (Cak Nur) dengan tema Islam dan Kemajemukan Indonesia. Salah satu subtemanya adalah Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia.
Juli ini, Universitas Paramadina mengadakan Ceramah Memperingati Wafatnya Nurcholish Madjid (Cak Nur) dengan tema Islam dan Kemajemukan Indonesia. Salah satu subtemanya adalah Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia. Diskusi ini bertujuan menyebarluaskan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya sikap optimis menghadapi kemajemukan bangsa sebagai penyokong proses demokratisasi, menyebarluaskan wacana pluralisme yang berbasis pesan-pesan dasar Islam, menumbuhkan sikap keberagaman yang terbuka, serta membangun jaringan inteligensia muslim antarkampus di Indonesia.
Tujuan di atas sangat penting di tengah pertentangan wacana dan gerakan politik dan masyarakat sipil dewasa ini dalam menyikapan pelbagai aliran agama dan politik yang berbeda (the Other). Meski revolusi komunikasi dan informasi telah meningkatkan kesadaran akan kemajemukan masyarakat pada semua kelompok masyarakat, masih banyak kelompok orang yang belum menganggap kemajemukan sebagai kenyataan yang positif dan punya basis Islam yang mendasar.
Mengenal kemajemukan (pluralitas) tak sama dengan mengakui, memahami, dan menyakininya sebagai kenyataan yang mengandung kebajikan (pluralisme). Karena itu, perjuangan menyebarluaskan nilai-nilai positif kemajemukan, tidak akan pernah kehilangan relevansi dan urgensinya. Sebab, kenyataan sosiologis negeri ini menunjukkan bahwa eforia reformasi telah membuka peluang kebebasan dan pengungkungan atas kebebasan sekaligus. Suara-suara bising (noisy voices) muncul dari hampir semua individu dan kelompok yang pernah terkekang beberapa dekade sebelumnya. Ekspresinya bisa muncul berupa ceramah dan tulisan penuh kecaman dan hujatan, maupun aksi bersenjata, pemboman, penyerbuan massal, intimidasi fisik dan psikologis, serta pemaksaan mengikuti aliran agama utama. Semuanya menimbulkan hilangnya rasa aman dan damai di bumi pertiwi Indonesia.
Kenyataan itu diperkuat pula oleh pemahaman sempit sebagai orang akan makna pluralisme, sekulerisme, liberalisme, dan perkembangan aliran-aliran keagamaan di Indonesia. Akibatnya, sikap terbuka dan pluralisme dalam bermasyarakat menjadi makin sulit terwujud. Pluralisme misalnya, telah diyakini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kepercayaan (akidah) Islam. Ini diperparah kenyataan bahwa pemahaman makna dan maksud pluralisme dan kebebasan beragama tingkat elit dan kaum terdidik pun masih bermasalah. Disinilah pentingnya meluruskan kekeliruan berpikir (fallacies) tentang pluralisme.
Anggapan pertama menyebut pluralisme bukan berasal dari Islam dan tidak pernah muncul dalam sejarah pemikiran Islam yang otoritatif. Ayat-ayat tertentu dijadikan alasan membenarkan anggapan ini, seperti ketidakrelaan kaum Yahudi dan Nasrani terhadap Islam; hanya Islam agama yang ada disisi Allah, dan anjuran jihad fi sabilillah terhadap syirik dan kekufuran. Ayat-ayat itu diambil secara parsial dan tekstual, tanpa memperhatikan sebab-sebab dan konteks diturunkannya.
Padahal, sebagaimana dijelaskan Gamal al-Banna dalam Al-Ta’addudiyah fi al-Mujtama al-Islamy dan Muhammad Sachedina dalam the Islamic Roots of Democratic Pluralism (2001), Alquran merupakan fondasi otentik pluralisme. Alqur’an telah mengakui perbedaan bahasa dan warna kulit, kemajemukan suku -bangsa, mengakui perbedaan kapasitas dan intelektualitas manusia, serta mengajak berlomba dalam kebajikan dan membiarkan sinagog-sinagog, gereja-gereja, masjid-masjid, dan tempat-tempat ibadah lainnya tetap berdiri kokoh. Bahkan, Alqur’an mengakui kebebasan berkeyakinan (untuk beriman atau tidak), serta masuk dan keluar dari agama tertentu. Alqur’an juga sudah menjelaskan bahwa Nabi dan manusia manapun tidak mesti ampuh memberi petunjuk pada manusia lain, atau menyatakan sesat dan kufur kepada manusia lain.
Penganut Yahudi, Kristen, dan Islam, adalah saudara seiman dan sebapak, yaitu Ibrahim. Selain terhadap Yahudi dan Kristen, Islam juga bersaudara dengan seluruh penganut agama yang tidak sombong dan emoh berbuat kerusakan. Tuhan menurunkan ratusan ribu nabi dan rasul yang tidak sempat diceritakan. Karenanya, tak ada alasan untuk mengkafirkan dan mengutuk Konfusianisme, Buddhisme, Ahmadiyah, dan sebagainya. Alquran juga sudah menjelaskan, tidak ada pembedaan mendasar antar para Nabi, dan perbedaan dan perselisihan antarumat beragama hendaknya diserahkan langsung kepada Dirinya kelak.
Pandangan ini menawarkan pemahaman lebih komprehensif dan menolak ayat-ayat tertentu dijadikan legitimasi kekerasan atas nama Tuhan. Pandangan ini juga mencoba melihat ayat-ayat Alquran dalam konteks tertentu, mengambil intisarinya, ketimbang rincian-rincian yang dapat berubah sesuai perkembangan zaman dan tempat.
Pluralisme juga tidak berarti membenarkan semua atau menganggap tak bernilai semuanya (nihilistik). Sebab faktanya, ada saja manusia-manusia beragama yang ingkar karena kesombongan mereka. Juga ada manusia-manusia perusak yang mengklaim diri telah berbuat kebajikan di muka bumi. Namun manusia tetaplah dinilai Tuhan berdasarkan akal, hati, dan perbuatannya. Manusia tidak punya hak untuk menghakimi iman manusia-manusia lain. Manusia hanya dilihat dari aksi lahiriahnya, baik yang bajik maupun tidak bajik.
Anggapan keliru lain adalah menganggap bahwa kebebasan beragama hanya terjadi ketika orang belum masuk Islam. Menurut anggapan ini, orang bebas masuk Islam atau tidak, tetapi ketika sudah memeluknya, aturan-aturan dan pembatasan-pembatasan Islam wajib ditegakkan dengan cara paksaan dan kekerasan sekalipun. Pemahaman seperti ini bisa mengarah pada pembenaran tindak pengrusakan dan kekerasan. Padahal dalam ayat la ikraha fiddin, sama sekali tidak ada kalimat “masuk” agama. Artinya, tak ada paksaan dalam agama juga berarti tidak adanya pemaksaan dalam cara beragama dan berbakti kepada Tuhan, serta tidak adanya paksaan dalam memeluk agama dan aliran tertentu. Kebebasan beragama bersifat menyeluruh sekaligus terkait dengan hukum negara yang berlaku.
Anggapan lain menuduh paham kebebasan beragama merupakan konsep HAM sekuler Barat yang bertentangan dengan Islam. Padahal, kebebasan beragama tidak sekadar HAM Barat yang harus dilindungi, baik oleh Universal Declaration of Human Rights (1948), Pancasila dan Konstitusi kita, tapi juga merupakan kehendak Tuhan yang Ia sendiri enggan mengubahnya. Analisis pelbagai ayat Alqur’an dan teladan Nabi Muhammad membuktikan tidak perlunya pesan-pesan Tuhan disampaikan dengan tindak kekerasan dan pemaksaan.
Karena mayoritas penduduk Indonesia muslim, muncul juga anggapan kalau kelompok-kelompok Islam berhak mewujudkan hukum yang ekslusif bagi orang Islam sendiri di luar hukum negara. Kesalahan persepsi tentang “hak mayoritas” ini diidap oleh banyak aktivis partai dan gerakan yang mengklaim diri memperjuangkan Islam. Namun sejarah membuktikan, risiko yang akan ditanggung umat Islam dan bangsa Indonesia, akan lebih besar daripada manfaat yang diimpikan dari anggapan itu.
Karena itu, penting menyimak fakta bahwa bukan hanya Kitab Suci yang perlu dijadikan landasan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, tapi juga unsur Hikmah. Dalam banyak ayat, kata Kitab dan Hikmah sering digandengkan, karena Kitab saja tak akan memadai demi menjawab permasalahan manusia. Hikmah adalah wawasan, pengetahuan, kecerdasan, kemampuan menggunakan nalar, dan keterampilan mengelola perbedaan dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan, dengan bercermin pada sejarah. Hikmah bisa pula berarti falsafah atau kecenderungan untuk selalu menjemput kebenaran dan seni menikmati perbedaan. Karena itu, selain berpegang pada Kitab, umat Islam juga perlu kebijaksanaan yang ditampung dalam konsep Hikmah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pluralisme bukan barang asing bagi Islam. Kebebasan beragama pun bukan sekadar doktrin Barat sekuler yang tidak punya preseden normatif dan historis di dalam Islam. Namun, perjuangan mewujudkan pluralisme dan prinsip kebebasan beragama di Indonesia, tampaknya tidak akan pernah mudah. Namun, agenda untuk menyokong tumbuh-kembangnya sikap terbuka, saling menghormati, dan sama-sama berjuang menegakkan keadilan dan kesejahteraan hidup bersama, tetap perlu kita jadikan agenda utama.
Muhamad Ali adalah dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, alumnus MSc Islam dan Politik di Edinburgh University, Inggris, dan kini kandidat Doktor Sejarah di University of Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat.