Sistem Kredit Semester (sks) adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan. Beban belajar setiap mata pelajaran pada sks dinyatakan dalam satuan kredit semester (SKS), dengan beban belajar 1 (satu) sks terdiri atas 1 (satu) jam pembelajaran tatap muka, 1 (satu) jam penugasan terstruktur, dan 1 (satu) jam kegiatan mandiri.
Penyelenggaraan Sistem Kredit Semester (sks) adalah sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya”. Selanjutnya, pada butir (f) dinyatakan: “Peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak menyelesaikan pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan”.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, amanat di atas dijabarkan lebih lanjut. Dalam Pasal 11 Ayat (2) disebutkan bahwa: ”Beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat pada pendidikan formal kategori standar dapat dinyatakan dalam satuan kredit semester”; dan Ayat (3) menyebutkan bahwa: ”Beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat pada pendidikan formal kategori mandiri dapat dinyatakan dalam satuan kredit semester”.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013 pada Lampiran Empat tentang Pedoman Umum Pembelajaran, juga menyebutkan bahwa: "Satuan pendidikan SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK yang terakreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) dapat menyelenggarakan SKS". Konsep ini dihadirkan, dalam rangka melanjutkan pengelolaan kurikulum sebagai perwujudan konsep belajar tuntas, yang memungkinkan peserta didik dapat belajar sesuai dengan kecepatan belajarnya.
Wulan (2013), menyebutkan penyelenggaraan SKS di SMA/MA mengacu pada prinsip-prinsip berikut:
1. Peserta didik menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti pada setiap semester sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
2. Peserta didik yang berkemampuan dan berkemauan tinggi dapat mempersingkat waktu penyelesaian studinya dari periode belajar yang ditentukan dengan tetap memperhatikan ketuntasan belajar.
3. Peserta didik didorong untuk memberdayakan dirinya sendiri dalam belajar secara mandiri.
4. Peserta didik dapat menentukan dan mengatur strategi belajar dengan lebih fleksibel.
5. Peserta didik memiliki kesempatan untuk memilih kelompok peminatan, lintas minat, dan pendalaman minat, serta mata pelajaran sesuai dengan potensinya.
6. Peserta didik dapat pindah ke sekolah lain yang sejenis dan telah menggunakan sks dan semua kredit yang telah diambil dapat dipindahkan ke sekolah yang baru (transfer kredit).
7. Sekolah menyediakan sumberdaya pendidikan yang lebih memadai secara teknis dan administratif.
8. Penjadwalan kegiatan pembelajaran diupayakan dapat memenuhi kebutuhan untuk pengembangan potensi peserta didik yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
9. Guru memfasilitasi kebutuhan akademik peserta didik sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
10.Persyaratan Penyelenggaraan adalah satuan pendidikan SMA/MA yang terakreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) dapat menyelenggarakan sks.
Penerapan Sistem Kredit Semester (sks) pada pembelajaran jenjang pendidikan dasar dan menengah, merupakan upaya inovatif untuk menambah kekayaan pengelolaan pembelajaran yang selama ini hanya menerapkan sistem paket. Melalui penerapan sistem sks, dimungkinkan peserta didik dapat menyelesaikan program pendidikannya lebih cepat sesuai dengan kompetensi, bakat, dan minatnya dalam satuan pendidikan. Karena itu, sks diharapkan bisa mengakomodasi kemajemukan potensi peserta didik dan dinamikanya.
Unsur-Unsur Beban Belajar SKS
Beban belajar setiap mata pelajaran pada sks dinyatakan dalam sks. Beban belajar satu sks meliputi satu jam pembelajaran tatap muka, satu jam penugasan terstruktur, dan satu jam kegiatan mandiri, yang pengertiannya sebagai berikut (Kemendikbud, 2013):
1. Kegiatan tatap muka adalah kegiatan pembelajaran yang berupa proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik.
2. Kegiatan terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai kompetensi dasar. Waktu penyelesaian penugasan terstruktur ditentukan oleh pendidik.
3. Kegiatan mandiri adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai kompetensi dasar. Waktu penyelesaiannya diatur oleh peserta didik atas dasar kesepakatan dengan pendidik.
Kemendikbud (2013), menetapkan penetapan beban belajar SKS untuk SMA/MA ditetapkan sebagai berikut:
1. Beban belajar kegiatan tatap muka per jam pembelajaran SMA/MA berlangsung selama 45 menit.
2. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri bagi peserta didik pada SMA/MA/SMK/MAK maksimum 60% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari mata pelajaran yang bersangkutan.
Proses pembelajaran di setiap satuan pendidikan yang menggunakan sks dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien perlu ditetapkan batas minimal beban belajar sks. Beban belajar yang harus ditempuh oleh peserta didik SMA/MA yaitu minimal 130 sks, yang dapat ditempuh paling cepat 2 tahun (4 semester) dan paling lama 5 tahun (10 semester) (Kemendikbud, 2013).
1. Komposisi beban belajar. Komposisi beban belajar untuk peserta didik SMA/MA terdiri atas kelompok A (wajib), B (wajib), dan salah satu dari kelompok C (peminatan), serta lintas minat dan/atau pendalaman minat.
2. Kriteria pengambilan beban belajar. Kriteria yang digunakan dalam pengambilan beban belajar sebagai berikut:
a. Fleksibilitas dalam sks yaitu peserta didik diberi keleluasaan untuk menentukan beban belajar pada setiap semester.
b. Pengambilan beban belajar oleh peserta didik didampingi oleh Pembimbing Akademik.
c. Kriteria yang digunakan untuk menentukan beban belajar bagi peserta didik, diantaranya:
1) Pengambilan beban belajar (jumlah sks) pada semester 1 sesuai dengan prestasi yang dicapai pada satuan pendidikan sebelumnya atau hasil tes seleksi masuk dan/atau penempatan peserta didik baru;
2) Pengambilan beban belajar (jumlah sks) semester berikutnya ditentukan berdasarkan Indeks Prestasi (IP) yang diperoleh pada semester sebelumnya.
3) Peserta didik wajib menyelesaikan mata pelajaran yang tertuang dalam Struktur Kurikulum.
4) Satuan pendidikan dapat mengatur penyajian mata pelajaran secara tuntas dengan prinsip ”on and off”, yaitu suatu mata pelajaran bisa diberikan hanya pada semester tertentu dengan mempertimbangkan ketuntasan kompetensi pada setiap semester.
Sebagai inovasi baru, implementasi sks tentu menuntut usaha ekstra dan kendala yang mungkin dihadapi. Budiman (2013) misalnya, mengatakan "Banyak hal yang harus menjadi pertimbangan matang, jika harus menyelenggarakan Sistem Kredit Semester (sks) di sekolah, apalagi dengan hadirnya kurikulum 2013”. Efektivitas penyelenggaraan sks sangat bergantung pada banyak hal, diantaranya kesesuaian kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan (pengawas, kepala sekolah dan guru) terhadap kebutuhan tingkat satuan sks, kesiapan siswa, pengaturan struktur kurikulum, beban belajar, desain pembelajaran, mekanisme penilaian, pengelolaan, penjurusan dan layanan, serta standar kompetensi lulusan. Dengan demikian, perlu pengaturan manajemen penyelenggaraan tersendiri dan rapi. Pada beberapa sekolah rujukan, faktanya masih banyak ditemukan masalah terkait penyelenggaraan sks akibat belum matangnya manajemen yang dimiliki.
Sejak Kurikulum 2013 mulai dilaksanakan pada sejumlah sekolah sasaran, maka semua kegiatan sekolah harus disesuaikan dengan tututan kurikulum 2013. Salah satu kegiatan yang perlu disesuaikan adalah pengaturan beban belajar pada Kurikulum 2013 dengan sistem sks (Permendikbud No. 81a Tahun 2013). Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMA/MA, disebutkan secara rinci bahwa muatan kurikulum tingkat nasional untuk jenjang pendidikan menengah, SMA/MA dan SMK/MAK diorganisasikan pada mata pelajaran kelompok wajib A, wajib B dan mata pelajaran peminatan, muatan kurikulum tingkat daerah serta muatan kekhasan satuan pendidikan.
Muatan kurikulum tingkat daerah terdiri atas sejumlah bahan kajian atau mata pelajaran muatan lokal yang ditentukan oleh daerah bersangkutan. Penetapan muatan lokal didasarkan pada kebutuhan dan kondisi setiap daerah, berdasarkan peraturan Gurbernur atau Bupati/Walikota. Sementara, muatan kekhasan satuan pendidikan berupa bahan kajian atau mata pelajaran muatan lokal, yang ditentukan oleh satuan pendidikan bersangkutan dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik. Kepala sekolah dalam hal ini, berperan sebagai pembina dan narasumber dalam menyusun dan mengelola muatan kekhasan sekolah, sekaligus dibantu oleh Tim Pengembang Kurikulum Sekolah. Bahan kajian yang bisa dijadikan kekhasan sekolah, misalnya: kemampuan berbahasa asing, komputerisasi, seni budaya, religi, dan kompetensi yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja (industri) setempat. Praktiknya, dapat dimulai dengan mensosialisasikan terhadap seluruh warga sekolah, sehingga benar-benar sesuai dengan kebutuhan peserta didik, lingkungan sekolah dan kepentingan globalisasi.
Pada muatan kurikulum tingkat daerah dan kekhasan satuan
pendidikan inilah, menurut sejumlah ahli, sekolah dapat menyelipkan warna pendidikan khas dan berkarakter, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di sekitar sekolah. Penanaman nilai-nilai karakter pengetahuan, kesadaran, kemauan dan tindakan bagi peserta didik adalah aspek yang sudah sepatutnya dilakukan melalui penerapan kurikulum 2013 dengan sistem sks pada model pendidikan Indonesia (Samani & Hariyanto, 2012). Karakter yang dimaksud di dalamnya adalah pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, dan pendidikan watak yang tercermin dalam kompetensi lulusan sebagai dampak hadirnya kurikulum 2013 kekhasan, yang secara khusus memang dirancang untuk mengembangkan potensi peserta didik seutuhnya.
Penghitungan beban belajar suatu mata pelajaran/ tema atau subtema pada suatu satuan pendidikan, sangat tergantung dari penentuan minggu efektif yang digunakan oleh satuan pendidikan tersebut. Untuk itu satuan pendidikan harus menganalisis kebutuhan beban belajat tatap muka berdasarkan kebutuhan waktu dari setiap penyelesaian Kompetensi Dasar.
Komulatif kebutuhan waktu tatap muka dari sekumpulan KD mata pelajaran/ tema atau subtema dapat digunakan sebagai dasar penentuan penggunaan minggu efektif tatap muka dalam semester atau satu tahun oleh satuan pendidikan. Dalam praktiknya satuan pendidikan dapat menentukan minggu efektif berdasarkan pengalaman pembelajaran yang telah dilaksanakan. Hal ini umum terjadi dalam penentuan minggu efektif dari rentang rambu minggu efektif yang ada pada Permendikbud 67, 68, 69 dan 70 tahun 2013 mengenai kerangka dan struktur kurikulum atau permendikbud 81A mengenai implementasi kurikulum 2013.
Nilai-nilai moral dan kearifan lokal tersebut, diharapkan dapat mengkonstruk watak, tabiat dan kepribadian (personality) peserta didik, sekaligus mewarnai kompetensi akademik, mental, sosial dan spiritual dalam memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi, dan menghadapi berbagai problem kehidupan sehari-hari. Praktisnya, dengan manajemen penyelenggaraan SKS Kurikulum 2013, diharapkan provinsi, kabupaten/kota dan sekolah dapat menghadirkan model pendidikan terbaik sesuai potensi masing-masing, melalui pengaturan kurikulum lokal daerah dan kekhasan satuan pendidikan.