Pembicaraan dalam kitab faraidh berkenaan dengan orang yang mewarisi dan tidak. Kemudian orang itu mewarisi, apakah selamanya ia mewaris atau ia mewaris bersama pewaris tertentu, bukan pewaris lain ? Dan jika bersama pewaris lain, lalu berapakah besarnya ia mewaris ? Begitu juga ia mewaris sendirian, berapakah besarnya ia mewaris ? Jika ia mewaris bersama pewaris – pewaris lainnya, apakah baginya akan berbeda – beda menurut satu persatuannya atau tidak ?
Kelompok Pewaris
Kelompok pewaris ada tiga macam : pewaris nasab, pewaris karena ada hubungan perkawinan (ashhar), pewaris maula (hubungan budak dengan tuannya yang memerdekakan).
Pewaris Nasab
Tentang pewaris ini di antara mereka terdapat orang-orang yang sudah disepakati kepewarisannya dan ada pula yang masih diperselisihkan.
Orang – orang yang disepakati yaitu golongan al-furu’ ;anak laki-laki, Anak perempuan, cucu laki-laki, cucu perempuan, golongan al-Ushul; ayah, ibu, kakek, nenek, golongan keluarga yang mempunyai pertalian darah dengan si mayit pada pokok keturunan terdekat terdiri dari saudara-saudara laki dan saudara-saudara perempuan baik sekandung, seayah maupun seibu, golongan keluarga yang sama-sama mempunyai pertalian yang lebih dekat atau jauh pada pokok-pokok yang satu, yaitu paman, anak laki-laki paman
Apabila dirinci, jumlah kelompok pewaris adalah sepuluh orang laki-laki dan tujuh orang perempuan. Pewaris-pewaris laki-laki adalah anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara laki-laki (sekandung, seayah, dan seibu), anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman, anak laki-laki paman, suami, tuan yang telah memberi kenikmatan. Sedangkan pewaris-pewaris perempuan adalah anak perempuan, cucu perempuan, ibu, nenek, saudara perempuan, istri, bekas tuan perempuan yang pernah memerdekakan budak.
Sedangkan yang masih diperselisihkan kepewarisannya oleh para fuqaha ialah dzawul arham. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai bagian tertentu dalam al-Qur’an dan tidak termasuk kelompok ashabah.
Mereka (dzawul arham) terdiri dari anak laki-laki dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, anak perempuan dari paman lak-laki, paman seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, bibi dari ayah, bibi dari ibu, paman dari ibu.
Imam Malik, Syafi’I dan fuqaha Amshar, demikian pula Zaid bin Tsabit r.a. dari kalangan sahabat, berpendapat bahwa orang-orang tersebut tidak mewarisi.
Sedangkan menurut sahabat yang lain, fuqaha irak, Kufah, dan Basrah, dan golongan ulama dari berbagai penjuru berpendapat bahwa mereka mewaris.
Menurut Malik dan para fuqaha yang sependapat denganya dalam masalah faraidh tidak ada tempat bagi lapangan analogi pemikiran (qiyas), maka pada prinsipnya suatu ketentuan tidak dapat ditetapkan di dalamnya kecuali berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, atau ijmak.
Para pengikut periode Abu Hanifah mengatakan bahwa dzawul Arham lebih utama dibanding kaum muslim, karena bagi mereka terkumpul dua sebab, yaitu sebagai kerabat dan Islam. Itulah sebabnya mereka menyamakan/menganalogikan dengan mendahulukan saudara laki-laki kandung atas saudara laki-laki se ayah. Sehingga orang yang mempunyai dua sebab itu lebih utama dibanding orang yang hanya mempunyai satu sebab.
Sedangkan Abu Zaid, ulama mutaakhirin dan sahabat-sahabatnya menyamakan warisan dengan wilayah. Mereka mengatakan, menyiapkan jenazah, menyalatkan, dan menguburnya ada ditangan dzawul Arham – ketika para pewaris yang mempunyai bagian tertentu dan ashabah tidak ada, maka kekuasaan mewaris seharusnya ada pada dzawul Arham.
Warisan Anak Kandung
Kaum muslim sependapat bahwa warisan anak-anak kandung yang terdiri dari anak-laki-laki dan anak perempuan secara bersama-sama maka seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Dan anak laki-laki apabila sendirian maka menerima seluruh harta. Dan anak perempuan apabila sendirian maka memperoleh separuh harta. Apabila anak-anak perempuan berjumlah tiga orang atau lebih, maka mereka menerima du pertiga harta.
Kemudian fuqaha berselisih pendapat tentang bagian dua anak perempuan. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa keduanya bersama-sama menerima dua pertiga.
Dari Ibnu Abas r.a. diriwayatkan bahwa keduanya secara bersama-sama menerima separuh.
Silang pendapat ini berpangkal pada ketidakjelasan pengertian firman Allah Swt. “Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua orang maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.”
Dari Ibn Abdillah bin Muhammad bin Aqil, dari Hatim bi Abdullah, dan dari Jabir r.a. diriwayatkan sebagai berikut :
“sesungguhnya Nabi Saw. Memberikan kepada dua orang anak perempuan dua pertiga.”
Pemakalah sependapat dengan pendapat di atas, yaitu dua anak perempuan tetap mendapatkan sepertiga, meskipun di al-Qur’an kurang begitu jelas tetapi ada hadis yang menguatkannya dengan dua orang anak perempuan mendapatkan dua pertiga harta.
Fuqaha sependapat bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki itu sama kedudukannya dengan anak laki-laki apabila anak laki-laki itu tidak ada, dalam warisan dan menghalang-halangi warisan lain.
Fuqaha juga sependapat bahwa cucu perempuan bahwa cucu perempuan dari anak laki-laki itu tiak menerima warisan, karena ada anak-anak perempuan, apabila anak-anak perempuan ini telah memperoleh dua pertiga penuh.
Kemudian fuqaha berselisih pendapat apabila bersama cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki itu terdapat pula cucu laki-laki dari anak laki-laki yang setigkat dengan mereka cucu-cucu perempuan atau lebih jauh tingkatan dari mereka.
Jumhur fuqaha amshar berpendapat bahwa cucu laki-laki ini menjadikan cucu-cucu perempuan sebagai ashabah. Pendapat ini dikemukakanoleh Ali r.a. dan zaid bin Tsabit r.a.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki menjadikan cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki sebagai ashabah, baik ia setingkat dengan mereka atau jauh.
Segolongan fuqaha mutaakhirin mengemukakan pendapat yang berbeda , dengan mengatakan bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki tidak menjadikan cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki sebagai ashabah kecuali masih satu tingkat
Anak Perempuan Bersama Seorang Cucu Atau Cucu-Cucu Perempuan Dari Anak Laki-Laki
Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seseorang mati dengan meninggalkan seorang anak perempuan kandung bersama seorang cucu perempuan dari anak laki-laki atau bersama cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki tanpa disertai cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki itu menerima seperenam harta pusaka sebagai pelengkap dua pertiga.
Dalam masalah ini Syi’ah berbeda pendapat. Mereka berpandangan bahwa cucu perempuan dari anak lak-laki tidak menerima warisan, apabila bersama-sama dengan anak-anak perempuan seperti anak laki-laki dari cucu laki-laki juga tidak menerima warisan, apabila bersama-sama dengan anak laki-laki
Jadi silang pendapat mengenai cucu perempuan dari anak laki-laki terletak pada dua keadaan. Pertama,ketika bersama-sama dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki. Kedua, ketika bersama-sama dengan anak-anak perempuan pada jumlah yang kurang dari dua pertiga dan lebih dari separuh.
Pemakalah sependapat dengan pendapat pertama, yaitu cucu perempuan mendapatkan seperenam, karena dalam masalah ini seolah-olah terdapat dua orang anak perempuan, dan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhori “Nabi Saw, telah menetapkan bagian 1/6 untuk cucu perempuan bila bersama anak perempuan kandung.
Warisan Suami dari Istri dan warisan Istri dari Suami
Fuqaha juga sependapat bahwa warisan suami dari istrinya, jika istri tersebut tidak meninggalkan anak dan cucu dari anak laki-laki, baik anak tersebut laki-laki maupun perempuan, adalah separuh harta, jika istri tersebut meninggalkan anak,maka suaminya mendapatkan seperempat.
Fuqaha juga sependapat bahwa warisan istri dari suaminya adalah seperempat harta manakalah suami itu tidak meninggalkan anak atau cucu. Sedangkan apabila suami meninggalkan anak atau cucu anak laki-laki, maka istrinya mendapat seperdelapan.
Disepakati pula bahwasanya tidak seorang pun bisa menghalang-halangi warisan istri atau mengurangi bagiannya, kecuali anak, berdasarkan nash pada firman Allah Swt,:
“Dan bagimu (suami-suami) separuh dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu apabila mereka mereka tidak mempunyai anak. (Qs.an-Nisa’ : 11)
Warisan Ayah dan Ibu
Para ulama sependapat bahwa apabila ayah itu sendirian, maka ia menerima seluruh harta. Dan apabila ayah dan ibu bersama, maka ibu mendapat sepertiga harta, sedang ayah menerima selebihnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt surat An-Nisa’ ayat:11
“(Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak), dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.”
Ulama juga sependapat behwa bagian ibu bapak dari warisan anaknya adalah dua perenam jika anaknya itu mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
Fuqaha juga sependapat bahwa bagian ayah tidak kurang dari seperenam pada saat ia bersama-sama dengan para pewaris dzawul furudh, bahkan ia menerima lebih dari seperenam.
Dari sisni fuqaha sependapat pula bahwa ibu dapat dikurangi bagiannya oleh saudara-saudara si mayit dari sepertiga menjadi seperenam berdasarkan firman Allah surat An-Nisa’ ayat : 11
“jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.”
Kemudian fuqaha berselisih pendapat tentang sedikitnya bilangan saudara yang menghalang-halangi ibu dari sepertiga menjadi seperenam.
Menurut Ali r.a. dan Ibn mas’ud r.a. bilangan yang dapat menghalangi bagian ibu ialah dua orang ke atas. Malik juga memegangi pendapat ini.
Ibn Abbas r.a. berpendapat bahwa bilangan mereka adalah tiga orang ke atas, dan bahwa dua orang saudara tidak dapat menghalangi bagian ibu dari sepertiga menjadi seperenam.
Silang pendapat ini berpangkal pada ketentuan ukuran sedikitnya jamak. Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa ukuran yang paling sedikit bagi bilangan jamak adalah tiga orang mengatakan bahwa saudara yang menghalangi bagian ibu adalah tiga ke atas.
Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa ukuran paling sedikit bagi sebutan bilangan jamak adalah dua orang mengatakan bahwa saudara yang dapat menghalangi bagian ibu ialah dua orang ke atas.
Al-Gharrawain
Dari bab ini timbul silang pendapat di kalangan fuqaha berkenaan dengan masalah yang dikenal dengan nama al-gharrawain. Yaitu tentang orang yang meninggalkan istri dan ibu bapak, atau suami dan ibu bapak.
Tentang masalah pertama, jumhur fuqaha berpendapat bahwa istri memperoleh seperempat, ibu memperoleh sepertiga dari kelebihan harta atau seperempat dari keseluruhan harta, dan ayah memperoleh selebihnya, yaitu separuh harta.
Tentang masalah kedua, mereka berpendapat bahwa suami memperoleh separuh, ibu memperoleh sepertiga dari kelebihannya atau seperenam dari seluruh harta peninggalan, ayah memperoleh selebihnya, yaitu dua perenam atau sepertiga. Ini adalah pendapat Zaid r.a. dan Ali r.a.
Ibnu Abbas r.a. juga untuk masalah pertama : istri memperoleh seperempat dari harta peninggalan dan ibu memperoleh sepertiga dari harta peninggalan, karena ia pewaris dzawul furudl, sedang ayah memperoleh selebihnya sebagai pewaris ashabah.
Untuk masalah kedua, menurut Ibn Abbas r.a., suami memperoleh separuh dari harta peninggalan, ibu memperoleh sepertiganya, karena ia adalah pewaris dzawil furudh, dan ayah memperoleh selebihnya. Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh Syuraih al-qadhi, Dawud, Ibn Sirin, dan segolongan fuqaha.
Warisan Saudara-Saudara Seibu
Ulama sependapat bahwa saudara seibu, bila ia menyendiri, mendapat seperenam baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian jika lebih dari seorang, maka bagian yang mereka peroleh adalah sepertiga dibagi sama rata, yakni saudara laki-laki memperoleh bagian yang sama dengan perempuan. Hal ini berdsarkan firman Allah surat an-Nisa’ ayat 12.
“ Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, secara kalalah (tidak meninggalkan ayah dan anak), tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu mendapatkan seperenam harta.”
Warisan Saudara Kandung atau saudara Seayah Saja
Ulama sependapat bahwa saudara kandung (seayah dan seibu) atau saudara seayah saja ikut mewaris juga dalam kalalah.
Adapun saudara perempuan sekandung atau seayah saja mendapat bagian separuh, dan jika terdiri dari dua orang, maka keduanya memperoleh dua pertiga.
Saudara Sekandung Bersama Anak Perempuan
Fuqaha sependapat bahwa saudara-saudara sekandung laki-laki maupun perempuan tidak memperoleh apapun, manakala berkumpul bersama anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau bersama ayah.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa saudara-saudara sekandung tersebut menjadi pewaris ashabah yang diberi dari kelebihan bagian anak-anak perempuan.
Dawud Ibn Ali az-Zhahiri dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa saudara perempuan tidak memperoleh warisan, manakalah berkumpul bersama anak perempuan.
Jumhur fuqaha beralasan dengan hadis Ibn Mas’ud r.a. dari Nabi Saw. Bahwa beliau mengatakan tentang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan sebagai berikut :
“ Bagian untuk anak perempuan adalah separuh dan untuk cucu perempuan dari anak laki-laki adalah seperenam untuk melengkapi jumlah dua periga, sedang selebihnya untuk saudara perempuan.”
Penghalang Saudara Sekandung tehadap Saudara Seayah Saja
Dari persoalan ini fuqaha sependapat bahwa saudara laki-laki kandung menghalangi saudara seayah, karena diqiyaskan dengan anak laki-laki kandung terhadap cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Sedangkan apabila saudara perempuan sekandung itu seorang, maka bagi saudara perempuan seayah adalah seperenam sebagai pelengkap jumlah dua pertiga.
Kemudian mereka berbeda pendapat apabila bersama saudara seayah terdapat seorang saudara laki-laki.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa saudara laki-laki seayah itu menjadikan saudara-saudara perempuan seayah sebagai pewaris ashabah dan mereka membagi harta dengan pihak laki-laki memperoleh bagian dua orang perempuan seperti cucu perempuan dari anak laki-laki terhadap anak perempuan.
Ibn mas’ud r.a berpendapat bahwa apabila saudara perempuan sekandung itu telah mengambil dua pertiga penuh, maka kelebihan harta itu untuk saudara laki-laki seayah tanpa saudara-saudara perempuan seayah. Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh Abu tsaur.
Saudara Lkai-Laki Sekandung Digantikan Kedudukannya Oleh Saudara Laki-Laki Seayah
Fuqaha sependapat bahwa saudara laki-laki seayah menggantikan kedudukan saudara laki-laki sekandung jika yang terakhir ini tidak ada, seperti kedudukan cucu laki dari anak laki-laki terhadap anak laki-laki. Begitu pula apabila bersama saudara perempuan terhadapa laki-laki, maka saudara laki-laki menjadikan mereka sabagai ashabah dengan cara pembagian dimulai dari pewaris yang mempunyai bagian tertentu, kemudian para pewaris lain menerima selebihnya.
Masalah Musytarakah
Ulama berselisih pendapat tentang masalah musytarakah, yakni apabila seorang perempuan mati dengan meninggalkan suami, ibu, saudara-sausara seibu, dan saudara-saudara sekandung.
Umar, Ustman, dan Zaid bin tsabit r.a. memberikan kepada suami separuh, ibu seperenam, dan saudara-saudara seibu sepertiga. Dengan pembagian ini, pewaris-pewaris tersebut telah mengahabiskan harta sehingga saudara kandung tidak memperoleh sesuatu pun.
Para sahabat tersebut mengikut sertakan saudara kandung pada saudara seibu dalam mengambil bagian sepertiga, dengan ketentuan bagian yang diterima oleh laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.
Adapun Ali, Ubai bin Ka’ab, dan Abu Musa al-Aya’ri r.a. tidak mengikut sertakan saudara kandung dalam bagian tersebut dan tidak memberikan sesuatupun kepada mereka.
Warisan Kakek
Ulama sependapat bahwa ayah menghalangi kakek. Dan jika ayah tidak ada, maka bersama dengan anak laki-laki kakek menggantikan ayah. Kakek juga menjadi pewaris ashabah ketika bersama-sama dengan dzawil furudh
Kemudian mereka berselisih pendapat, apakah kakek juga menggantikan ayah dalam menghalangi saudara-saudara sekandung atau saudara-saudara seayah ?
Ibnu Abbas dan Abu Bakar r.a. serta segolongan fuqaha berpendapat bahwa kakek menghalangi mereka. Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah, Abu Tsaur, al-Muzani, dan Ibnu Suraih dari kalangan pengikut Syafi’I, serta Dawud dan segolongan fuqaha.
Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu mas’ud r.a. sependapat untuk memberikan warisan kepada saudara-saudara ini ketika bersama kakek, meskipun mereka kemudian berselisih pendapat tentang cara pembagiannya seperti yang akan kami kemukakan nanti.
Fuqaha yang menmpatkan kakek pada kedudukan ayah berpegangan pada adanyakesamaan antara keduanya dari segi pengrtian. Yakni keduanya berposisi sebagi ayah bagi si mayit.
Fuqaha yang memberi warisan kepada saudara laki-laki ketika bersama kakek berpegangan bahwa saudara laki-laki itu lebih dekat kepada si amyit dibanding kakek. Karena kakek adalah ayah dari ayah si mayit, sedang saudara lak-laki adalah anak dari ayah si mayit, dan anak laki-laki lebih dekat dari pada ayah.
Jika anak tidak menghalangi kakek, sedang anak tersebut menghalangi saudaraa laki-laki, mak seharusnya juga menghalangi orang-orang yang dihalangi oleh anak laki-laki. Saudara laki-laki itu bukan pokok dari si mayit satu keturunannya, melainkan ia bersama-sama dengan si mayit pada satu pokok. Dan pokok itu lebih berhak terhadap sesuatu dibanding orang yang bersama-sama di mayit.
Cara Pewarisan Kakek Bersama Saudara-Saudara
Selanjutnya, para fuqaha yang memberikan warisan kepada kakek ketika bersama-sama dengan saudara-saudara si mayit berselisih pendapat tentang cara pembagiannya.
Keringkasan pada Zaid r.a. dalam soal ini ialah bahwa di samping saudara-saudara ini terkadang juga terdapat dzawil furudh yang menyertai kakek dan terkadang tidak.
Jika tidak terdapat dzawil furudh, maka cara pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Kakek diberi salah satu dari dua hal yang lebih menguntungkannya. Yakni memperoleh sepertiga dari seleuruh harta atau mendapatkan seperti bagian salah seorang dari beberapa saudara laki-laki, baik saudara-saudara yang bersama dengan dia itu laki-laki atau perempuan.
2. Kakek berada dalam dua keadaan sekaligus. Yakni ketika kakek bersama saudara laki-laki, saling membagi harta itu. Demikian pula ketika bersama dua, tiga, atau empat orang saudara laki-laki, kakek mengambil sepertiga.
Jika selainsaudara-saudara tersebut terdapat dzawil furudh, maka mereka inilah yang didahulukan. Selain mereka mengambil bagian masing-masing, dari kelebihan ini kakek mengambil yang lebih menguntungkan dari tiga pilihan berikut ini :
1. Mengambil sepertiga dari kelebihan harta sesudah dzawil furudh mengambil bagiannya.
2. Bagian kakek disamakan dengan bagian saudara laki-laki
3. kakek memperoleh seperenam dari keseluruhan harta warisan tanpa dikurangi.
Masalah Akhdariyyah
Para ulama berselisih pendapat tentang akhdariyyah. Yakni bila perempuan meninggal duani dengan meninggalkan suami, ibu, sudara perempuan sekandung, dan kakek.
Umar dan Ibnu Mas’ud r.a. memberikan separuh kepada suami, ibu seperenam, saudara perempuan sekandung separuh, dan kakek seperenam. Dan pembagiannya dengan cara memperbanyak atau menambahkan pokok hitungan.
Ali dan Zaid r.a. berpendapat bahwa suami memperoleh separuh, ibu sepertiga, saudara perempuan separuh, dan kakek seperenam berdasarkan ketentuan. Hanya saja, zaid r.a. mengumpulkan bagian saudara perempuan dengan kakek, kemudian dari pengumpulan tersebut dibagi diantara keduanya dengan bagian seorang laki-laki (dalam hal ini kakek) sama dengan bagian dua orang perempuan (saudara perempuan). Pendapat ii dipegang oleh Imam Malik. Semua ini menurut pendapat fuqaha, sahabat, dan nfuqaha Amshar memegangi ‘aul.
Zaid r.a. berpendapat bahhwa jika disamping kakek dan saudara-saudara sekandung ini terdapat saudara-saudara sekandung dengan menggunakan saudara-saudara seayah ini menghalangi kakek, sehingga kakek ini tidak menerima warisan yang banyak. Dan saudara-saudara seayah tidak mendapatkan warisan jika bersama dengan saudara saudara kandung.
Al-Kharqa’
Dari sini para sahabat berselisih pendapat tentang pembagian yang dinamakan al-Kharqa’, dengan para pewarinya adalah ibu, saudara perempuan, dan kakek. Dalam hal ini terdapat lima pendpat.
Abu Bakar dan Ibnu Abbas r.a. berpendapat bahwa ibu memperoleh sepertiga, dan selebihnya untuk kakek. Sedang saudara perempuan, menurut mereka dihalangi oleh kakek. Demikian itu didasarkan kepada pendapat yang menempatkan kedudukan kakek ditempat ayah.
Ali r.a. berpendapat bahwa ibu memperoleh sepertiga, saudara perempuan saeparuh, dan selebihnya untuk kakek.
Utsman r.a. berpendapat bahwa memperoleh sepertiga, saudara perempuan sepertiga, dan demikian pula kakek memperoleh seperiga.
Ibnu Mas’ud r.a. berpendapat bahwa saudara perempuan memperoleh separuh, kakek sepertiga, dan ibu seperenam. Ia mengatakan “Saya berlindung kepad Allah dari menutamakan ibu atas kakek.”
Zaid r.a. berpendapat bahwa ibu memperoleh sepertiga dan selebihnya untuk kakek dan saudara perempuan, dengan ketentuan bagian orang laki-laki (dalam hal ini kakek) sama dengan bagian dua orang anak perempuan (saudara perempuan)
Warisan Nenek
Fuqaha sependapat bahwa nenek, yakni ibunya ibu ketika tidak ada ibu memperoleh seperenam. Begitu pula nenek yang merupakan ibunya bapak memperoleh seperenam, ketika ayah tidak ada sedang apabila kedua jalur nenek ini berkumpul, maka bagian yang seperenam itu dibagi diantara keduanya.
Kemudian fuqaha berselisih pendapat tentang beberapa masalah lainnya. Zaid r.a. dan fuqaha Madinah berpenapat bahwa nenek yang merupakan ibunya ibu memperoleh seperenam sebagai pewaris bagian tertentu. Sedang apabila kedua nenek ini berkumpul,maka bagian yang seperenam itu dibagi diantara keduanya.
Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Malik yaitu :
“Seseorang nenek dating kepada Abu bakar r.a. untuk menanyakan warisannya. Maka berkatalah Abu Bakar, tak ada sesuatu pun untukmu dalam kitab Allah dan tak kuketahui sesuatu pun untukmu dalam sunah Rasulullah Saw. Pulanglah dahulu hingga aku bertanya kepada orang banyak”
Mughirah bin syu’bah berkata, saya menyaksikan Rasulullah saw. Memberikan seperenam kepadanya (nenek). Apakah ada orang lain bersamamu ?
Jawab Mughirah, Muhammad bin maslamah’. Maka Muhammad bin Maslamah pun mengatakan seperti yang dikatakan Mughirah. Abu Bakar pun lantas melaksanakan hal itu untuk orang tersebut
Apakah Ayah Dapat Menghalangi Ibunya
Kemudian fuqaha berselisih pendapat dalam hal, apakah nenek dari pihak ayah dapat dihalangi oleh anaknya, yakni ayah ?
Zaid r.a. berpendapat bahwa anak tersebut menghalanginya. Dan pendapat ini dipegangi oelh imam Malik, Syafi’I, Abu Hanifah dan Daud.
Menurut segolongan yang lain, nenek tersebut mewaris bersama anaknya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Umar dan Ibu Mas’ud r.a.serta segolongan sahabat, dan dipegangi oleh Syueaih, Atha’, Ibnu Sirin, Ahmad, dan fuqaha Mesir.
Pendapat ini sesui dengan hadis Rasulullah Saw. Yang diriwayatkan oleh Asy-Sya’bi dan Masruq dari Abdullah bahwa
“nenek pertama yang diberi seperenam oleh Rasulullah Saw. adalah nenek bersama anaknya, sedang anaknya masih hidup”
PENGHALANG WARIS (AL-HIJAB)
Ulama sependapat bahwa saudara laki-laki sekandung mengahalangi saudara laki-laki seayah menghalangi anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, dan anak-anak saudara laki-laki sekandung menghalangi anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki dari saudara laki-laki seayah
Mereka juga sepakat bahwa anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah lebih utama daripada anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah lebih utama dibanding paman, yaitu saudara laki-laki seayah.
Ulama juga sependapat bahwa saudara-saudara laki-laki sekandung dan saudara seayah menghalangi paman karena saudara adalah anak dari ayah si mayit, sedang paman adalah anak dari nenek si mayit.
Ayah menghalangi saudara laki-laki dan menghalangi pula orang-orang yang dihijab oleh saudara-saudara laki-laki