A. ARTI PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
Hukum Islam, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, ialah koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan shariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.1 Sejalan dengan kajian Usul Fikih, hukum Islam terbagi menjadi dua. Pertama hukum Islam kategori shariat dan kedua hukum Islam kategori fikih. Shariat, menurut Satria Effendi M. Zein,2 adalah al-nusus al-muqaddasat (nas-nas yang suci) dalam al-Quran dan al-sunnat al-mutawatirat (hadith yang mutawatir). Shariat adalah ajaran Islam yang sama sekali tidak dicampuri oleh daya nalar manusia. Shariat adalah wahyu Allah secara resmi, yang justru itu ia tetap, tidak bisa berubah dan tidak boleh berubah. Adapun fikih dalam istilah Usul Fikih ialah pemahaman atau apa yang dipahami dari al-nusus al-muqaddasat itu. Fikih apabila diartikan sebagai “pemahaman” berarti merupakan proses terbentuknya hukum melalui daya nalar, baik secara langsung dari wahyu yang memerlukan daya pemahaman, maupun secara tidak langsung. Fikih dalam pengertian ini sama dengan istilah ijtihad. Adapun fikih apabila dikaitkan dengan hasil pemahaman itu, maka ia berarti hukum Islam yang mengandung ciri intelektual manusia.
Agar lebih jelas tentang hukum Islam kategori shariat dan kategori fikih ini perlu dibahas sedikit mengenai sejarah hukum Islam yang dalam Usul Fikih dikenal dengan istilah Tarikh al- Tashri’al-Islami. Pembahasan menganai sejarah hukum Islam juga dapat memperjelas arti pembahasan hukum Islam itu sendiri.
Sejarah hukum Islam dapat dibagi ke dalam lima periode, yaitu periode Rasul, periode Sahabat, periode tadwin dan imam mujtahid, periode taklid, dan periode pembaharuan pemikiran hukum Islam.3
Sumber hukum Islam, sebagaimana diketahui, adalah al-Quran dan hadith. Baik al-Quran maupun hadith tidak datang sekaligus melainkan secara berangsur-angsur. Apabila timbul suatu masalah lain yang memerlukan ketentuan hukum, Allah menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya dengan satu atau beberapa ayat yang mengandung ketentuan hukum yang diperlukan. Rasul menyampaikan wahyu itu kepada kaum muslimin dan ketentuan hukumnya menjadi ketentuan yang wajib diikuti. Sedangkan apabila timbul masalah yang memerlukan ketentuan hukum, dan Allah tidak menurunkan ayat yang menjelaskan ketentuan hukum itu, maka Rasul berijtihad dan menetapkan hukum tersebut. Hasil ijtihad Nabi itu juga menjadi ketentuan yang wajib diikuti. Ijtihad Rasul itu adakalanya berupa ungkapan dan ilham Ilahi, artinya bahwa Rasul apabila berijtihad, Allah mengilhamkan ketentuan hukum dari suatu yang ingin diketahui hukumnya. Dan adakalanya ijtihad Rasul itu berupa pemikiran beliau sendiri dengan memeperhatikan maslahat, ruh al-tashri’ (jiwa shariat), dan hukum-hukum ijtihadiah yang diilhami oleh Allah – yaitu hukum-hukum Ilahi yang diungkapkan beliau dengan perkataan atau perbuatannya – serta bermusyawarah dengan para sahabatnya.
Hukum-hukum ijtihadiyah yang tidak diilhami Rasul-Nya oleh Allah, akan tetapi bersumber pada pemikiran dan penalarannya itu tidak dibiarkannya atau tidak diakuinya oleh Allah, kecuali apabila hukum-hukum itu benar. Apabila hukum-hukum itu tidak benar, Allah meluruskannya atau mengembalikannya kepada yang benar.4 Contohnya masalah izin yang tidak diberikan Rasul kepada orang-orang yang mencari-cari alasan untuk meninggalkan atau tidak ikut dalam perang Tabuk. Allah SWT menjelaskan kepadanya ketentuan yang benar dengan firmanNya dalam surat al_tawbat (9): 43
"Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-oarang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?
Dari uraian di atas jelaslah bahwa Nabi hanya berijtihad apabila timbul masalah yang memerlukan ketentuan hukum dan Allah tidak menurunkan ayat yang menjelaskan hukum itu. Dan Nabi tidak bisa disebut mujtahid, begitupun hasil ijtihadnya tidak bisa disebut hukum ijtihadi, karena hasil ijtihad Nabi adalah maksum dan menjadi Sunnah yang merupakan sumber hukum Islam. Yang dimaksud hasil ijtihad Nabi di sini adalah hasil itihadnya yang benar, dan ijtihad yang salah tidak perlu disebutkan lagi karena ijtihadnya yang salah sedikit sekali dan ijtihadnya yang salah itu, sebagaimana telah dijelaskan, segera diluruskan Allah dan dikembalikannya kepada yang benar.
Demikianlah Nabi telah meninggalkan kumpulan ayat-ayat al-Quran dan hadith-hadith yang merupakan al-qanun al-asasi (undang-undang dasar) bagi kaum muslimin dan menjadi rujukan bagi setiap mujtahid Islam di setiap waktu. Setelah Nabi wafat, para ulama sahabat menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan hadith-hadith tersebut dan melakukan istinbat hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak disebutkan oleh nas.5
Ada tiga kondisi yang mendorong para ulama sahabat untuk melakukan tugas tersebut. Yang pertama karena tidak semua orang mampu merujuk kepada al-Quran dan hasith dan memahami hukum-hukum yang ditunjukinya, karena dikalangan mereka ada orang awam yang tidak mampu memahami nas kecuali dengan meminta bantuan sahabat yang ahli. Yang kedua, ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith tidak tersebar secara merata diantara mereka karena nas-nas al-Quran pada masa-masa awal kerasulan ditulis pada lembaran-lembaran khusus dan dihafal di rumah Rasul dan di rumah beberapa sahabat. Sedangkan sunnah pada dasarnya tidak tertulis. Kondisi ketiga ialah karena al-qanun al-asasi menshariatkan hukum-hukum bagi peristiwa-peristiwa dan persoalan-persoalan yang terjadi waktu penshariatan. Al-qanun al asasi tidak menshariatkan hukum-hukum terhadap hal-hal yang kemungkinan akan terjadi. Padahal kaum muslimin banyak menghadapi masalah-masalah baru yang tidak ada pada masa Nabi dan tidak ditemui pada nas-nas al-Quran dan hadith sesuatau yang menjelaskan hukumnya.6
Karena ketiga faktor itulah, para ulama masa sahabat merasa berkewajiban untuk menjelaskan kepada kaum kaum muslimin penjelasan dan penafsiran nas-nas hukum yang mereka perlukan yang ada dalam al-Quran dan sunnah. Para ulama itu menyebarkan kepada kaum muslimin ayat-ayat al-Quran dan hadith Rasul yang mereka hafal dan memberi fatwa kepada mereka tentang kejadian-kejadian dan persoalan-persoalan yang mereka hadapi yang tidak disebut dalam nas.
Dalam menetapkan suatu hukum para sahabat menempuh langkah-langkah sebagai berikut. Apabila mereka mendapati suatu nas dalam al-Quran atau sunnah yang menjelaskan hukum dari peristiwa yang mereka hadapi, mereka berpegang pada nas tersebut dan mereka berusaha memahami maksudnya untuk menerapkannya terhadap peristiwa-peristiwa itu secara benar. Apabila mereka tidak mendapati suatu nas dalam al-Quran dan sunnah yang menjelaskan hukum dari peristiwa-peristiwa yang mereka hadapi, mereka berijtihad untuk menetapkan hukumnya. Dalam ijtihadnya itu mereka berpegang pada kemampuan mereka dalam bidang shariat – dari hasil bergaul dengan Nabi dan menyaksikan pershariatan dan ijtihadnya – dan memperhatikan rahasia-rahasia shariat (asrar al-tashri’) dan dasar-dasarnya yang umum. Kadangkala mereka mengqiaskan sesuatu yang tidak ada penjelasan nas padanya kepada sesuatu yang ada nasnya. Kadangkala mereka menetapkan hukum sesuai dengan kehendak maslahat atau untuk menolak kerusakan (bahaya). Dengan demikian, ijtihad mereka pada sesuatu yang tidak ada penjelasan nas, lapangannya luas sekali sebanding dengan luasnya kebutuhan dan maslahat manusia. Kebebasan ijtihad mereka inilah yang menjamin perkembangan hukum Islam bagi segala macam muamalat dan kebutuhan umat,. Meskipun pada waktu itu Islam telah dipeluk oleh bermacam-macam bangsa dan telah tersiar ke berbagai nagara.7
Dengan demikian generasi sahabat telah memperkaya dan mengembangkan hukum Islam dengan menyumbangkan dua hal penting, yaitu:
1. Penjelasan-penjelasan bagi nas-nas hukum dalam al-Quran dan sunnah. Para mujtahid sahabat ketika membahas nas-nas al-Quran dan hadith untuk diterapkan kepada masalah-masalah yang timbul, mereka menggunakan pemikiran dalam memahami maksud nas. Mereka mengemukakan pendapat sesuai dengan kemampuan dan ilmunya dalam hukum shariat, sebab-sebab nuzul (turunnya) ayat, dan sebab-sebab wurud (datangnya) hadith. Kumpulan pendapat-pendapat itu membentuk penjelasan bagi nas-nas hukum yang dianggap sebagai rujukan yang kuat dalam menafsirkan nas, dalam merinci nas yang mujmal (global), dan dalam cara-cara menerapkan nas Ini dapat dilihat dalam kitab-kitab Tafsir Bi al-Mansur8 seperti al-Tafsir al-Mansub Ibn Abbas dan Tafsir Muhammad Ibn Jarir al-Tabari.
2. Bermacam-macam fatwa ijtihadi sahabat tentang persoalan-persoalan yang tidak disebutkan hukumnya oleh nas.9
Setelah masa sahabat, sejak awal abad kedua sampai pertengahan abad keempat Hijriah, yaitu selama hampir 250 tahun, hukum Islam memasuki periode tadwin dan Imam-Imam mujtahid. Masa tersebut dinamakan periode tadwin dan Imam-Imam mujtahid karena dua sebab. Yang pertama karena pada masa itu gerakan penulisan dan pentadwinan maju pesat. Pada masa itulah dibukukan hadith-hadith, fatwa-fatwa sahabat, fatwa-fatwa tabiin, fatwa-fatwa atba’ tabiin, tafsir al-Quran, fikih, Imam-Imam madhhab, dan risalah-risalah tentang Ilmu Ushul Fikih. Yang kedua, sumbangan para mujtahid pada masa itu juga mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan hukum (taqnin) dan dalam istinbat hukum–hukum terhadap sesuatu yang telah dan akan terjadi.
Masa ini merupakan masa keemasan hukum Islam. Pada masa ini hukum Islam tumbuh, berkembang, dan menghasilkan materi-materi hukum yang memperkaya negara Islam dengan hukum-hukum dalam berbagai bidang, bermacam-macam keadaaan, dan berbagai kemaslahatan. Dan pada periode ini pulalah timbulnya madhhab-madhhab fikih.10
Timbulnya aliran fikih yangd dikenal dengan mahhhab merupakan suatu hal yang wajar. Sifat sumber hukum Islam yang pada umumnya memberi peluang yang amat luas untuk menerima berbagai kesimpulan, juga perbedaan metodologi dalam memahami wahyu, tingkat kemampuan yang berbeda dalam mengistinbatkan hukum, ketidaksepakatan dalam menilai otentisitas suatu hadith, dan ditambah dengan latar belakang situasi dan kondisi tempat mujtahid berada, menurut Satria Effendi M.zein,11 merupakan alasan yang mendasar yang menyebabkan timbulnya kesimpulan hukum yang bervariasi. Dalam kondisi yang demikian timbullah berbagai aliran fikih yang dikenal dengan mahhhab. Diantara madhhab-madhhab itu berkembang selanjutnya adalah mahhhab Hanafi, Maliki, Shafi’i, dan Hanbali.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum Islam kategori shariat adalah ketentuan-ketentuan hukum yang disebut secara tegas dalam al-Quran dan hadith, sedangkan hukum Islam kategori fikih adalah selain dari ketentuan-ketentuan hukum yang disebutkan secara tegas dalam al-Quran dan hadith, berupa penjelasan-penjelasan dan penafsiran-penafsiran terhadap al-Quran dan hadith, fatwa-fatwa, dan hasil-hasil ijtihad, baik yang dilakukan oleh para sahabat, tabiin, dan atba’tabiin serta para mujtahid lainnya disepanjang zaman.
Oleh karena fikih merupakan hasil dari proses penalaran manusia terhadap wahyu, maka kualitas atau kepastianya berada dibawah kualitas dan kepastian shariat. Apabila shariat bersifat stabil dan tidak berubah, maka fikih bisa berkembang, bervariasi, sesuai tingkat kemampuan daya nalar para mujtahid. Perkembangan dan variasinya itu, tetap berkisar dalam ruang lingkup kebolehjadian arti dari suatu teks al-Quran dan sunnah, atau dalam ruang lingkup substansi makna dari sumber utama tersebut, sebagai tujuan umum dari shariat Islam.
Zaman keemasan hukum Islam, sebagaimana telah disebutkan, berlangsung sekitar 250 tahun. Setelah itu, yakni sejak pertengahan abad keempat Hijriyah, hukum Islam mengalami periode taklid. Pada masa itu kegiatan Islam terhenti, kebebasan berfikir para ulama sudah tidak ada lagi. Para ulama tidak lagi mengambil hukum Islam dari sumbernya, al-Quran dan hadith, mereka lebih senang bertaklid dan mengikuti fikih Imam-Imam pendahulu. Kemampuan akal mereka, mereka batasi pada mempelajari madhhab Imam-Imam tersebut, mereka mengharamkan dirinya keluar dari batasan itu. Mereka berusaha memahami lafal-lafal dan ibarat-ibarat Imam-Imam mereka, bukan berusaha memahami nas-nas shariat dan prinsip-prinsipnya yang umum. Mereka telah melupakan ijtihad malah mereka sampai mengatakan pintu ijtihad telah tertutup.12
Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad untuk mengembangkan hukum Islam disebut gerakan pembaharuan hukum Islam, sebab gerakan itu muncul untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru itu mengandung dua unsur. Pertama, menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah bayi tabung.13 kedua, menetapkan atau mencari ketentuan hukum baru bagi sesuatu masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya tetapi tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang. Yang dimaksud dengan “tidak sesuai dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang” adalah ketentuan hukum lama itu yang merupakan hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah tidak mampu lagi merealisasi kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat masa kini. Untuk itu perlu ditetapkan ketentuan hukum baru yang lebih mampu merealisasi kemaslahatan umat yang merupakan tujuan shariat dengan mempertimbangkan pengetahuan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan teknologi modern. Contonya ketentuan hukum Islam mengenai pemimpin wanita. Ijtihad ulama sekarang ini telah membolehkan wanita menjadi pemimpin atau kepala negara, padahal ijtihad lama menetapkan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin atau kepala negara.
Jadi pembaharuan hukum Islam berarti gerakan ijtihad untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang. Yang dimaksud dengan ketentuan hukum di sini adalah ketentuan hukum Islam kategori fikih yang merupakan hasil ijtihad para ulama, bukan ketentuan hukum Islam kategori shariat.
Pembaharuan itu dapat terjadi dalam tiga bentuk atau tiga kondisi.
1. Apabila hasil ijtihad lama itu adalah salah satu dari sekian keboleh-jadian yang dikandung oleh suatu teks al-Quran dan hadith. Dalam keadaan demikian, pembaharuan dilakukan dengan mengangkat pula keboleh-jadian yang lain yang terkandung dalam ayat atau hadith tersebut. Contoh, Jumhur ulama telah menetapkan tujuh macam kekayaan yang wajib zakat, yaitu emas dan perak; tanam-tanaman; buah-buahan; barang-barang dagangan; binatang ternak; barang tambang; dan barang peninggalan orang dahulu yang ditemukan waktu digali.14 Ketujuh macam kekayaan yang ditetapkan wajib zakat itu berkisar dalam ruanglingkup keboleh - jadian arti.
(sebagaimana dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu). Pendapat yang menetapkan penghasilan yang datang dari jasa dikenakan zakat, sebagaimana telah dijelaskan, juga tetap berkisar dalam ruang lingkup keboleh-jadian arti teks al-Quran di atas.
2. Bila hasil ijtihad lama didasarkan atas ‘urf setempat, dan bila ‘urf itu sudah berubah, maka hasil ijtihad lama itupun dapat diubah dengan menetapkan hasil ijtihad baru yang berdasarkan kepada ‘urf setempat yang telah berubah itu. Contohnya hasil ijtihad mengenai kepala negara wanita. Hasil ijtihad ulama terdahulu menetapkam wanita tidak boleh menjadi kepala negara, sesuai dengan ‘urf masyarakat Islam masa itu yang tidak bisa menerima wanita sabagai kepala negara. Dengan berkembangnya paham emansipasi wanita, ‘urf masyarakat Islam sekarang sudah berubah, mereka sudah dapat menerima wanita sebagai kepala negara. Hasil ijtihad ulamapun sudah dapat berubah dan sudah menetapkan bahwa wanita boleh menjadi kepala negara.
3. Apabila hasil ijtihad lama ditetapkan dengan qias, maka pembaharuan dapat dilakukan dengan meninjau kembali hasil-hasil ijtihad atau ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan dengan qias dengan menggunakan istihsan. Sebagaimana diketahui, penetapan hukum dengan istihsan merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan hukum yang dihasilkan oleh qias dan metode-metode istinbat hukum yang lain. Contohnya hasil ijtihad tentang larangan masuk masjid bagi orang haid yang diqiaskan kepada orang junub karena sama-sama hadath besar. Ada ulama yang merasa qias di atas kurang tepat karena ada unsur lain yang membedakan haid dengan junub, walaupun keduanya sama-sama hadath besar.
Karena pembaharuan hukum Islam mengandung arti gerakan ijtihad menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru maka pembaharuan itu dilakukan dengan cara kembali kepada ajaran asli al-Quran dan hadith dan tidak mesti terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam hasil ijtihad lama yang merupakan hukum Islam kategori fikih. Hukum Islam kategori fikih adalah hasil pemahaman dan rumusan para ulama yang bisa jadi ada yang dipengaruhi oleh keadaan pada masa itu, seperti yang dilandaskan atas ‘urf setempat dan karenanya ketentuan itu belum tentu mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru, artinya belum tentu mampu merealisasikan kemaslahatan umat masa kini yang keadaannya berbeda dengan keadaan pada masa itu. Sedangkan ajaran asli al-Quran dan hadith selalu mampu manjawab permasalahan-permasalahan masyarakat sepanjang zaman dan semua tempat. Oleh karena itu dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah, para mujtahid harus langsung kembali kepada ajaran asli al-Quran dan hadith dengan cara berijtihad memahami dan menafsirkan ajaran-ajaran asli tersebut serta memperhatikan dasar-dasar atau prinsip-prinsipnya yang umum. Dengan demikian ketentuan hukum Islam yang dihasilkan oleh ijtihad itu betul-betul mampu menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat, dalam arti mampu merealisasikan kemaslahatan umat manusia yang merupakan tujuan shariat Islam.
B. TUJUAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
Kemajuan pesat yang terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi modern menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam segala bidang kehidupan manusia. Kalau pada masa awal Islam peperangan masih menggunakan pedang., sekarang sudah sampai kepada penggunaan senjata canggih berupa senjata kimia dan bom nuklir. Kalau pada masa awal Islam alat transportasi masih menggunakan binatang tunggangan seperti unta, kuda, dan lain-lain, sekarang sudah sampai pada penggunaan pesawat yang mempunyai kecepatan jelajah yang luar biasa. Jelasnya dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak sekali muncul hal-hal baru dalam kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Perubahan struktur sosial dan munculnya masalah-masalah baru seperti masalah trasnfusi darah, inseminasi ( pembuahan ) buatan, bayi tabung, dan lain-lain pelu diatur dan diselesaikan sesuai dengan ketentuan Islam.
Islam sebagai agama wahyu yang terakhir dan dimaksudkan sebagai agama yang berlaku dan dibutuhkan sepanjang zaman tentu mempunyai pedoman dan prinsip dasar yang dapat digunakan sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam kehidupannya agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sebagai agama yang dibawa untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam, Islam tentu harus dapat menjawab semua permasalahan umat manusia yang telah dan akan timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Kalau Islam tidak mampu menjawab permasalahan umat manusia tersebut, Islam tentu akan ditinggalkan. Dan hal itu tentu tidak diinginkan oleh siapa pun yang meyakini kebenaran ajaran Islam.
Agar ajaran Islam selalu mampu menghadapi perkembangan zaman dan mampu menjawab tantangan zaman, maka hukum Islam perlu dikembangkan, dan pemahaman terhadap Islam perlu terus-menerus diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran baru terhadap nas syara, dengan cara menggali kemungkinan-kemungkinan lain atau alternatif-alternatif dalam shariat yang diyakini mengandung alternatif-alternatif yang bisa diangkat dalam menjawab masalah-masalah baru. Jadi pembaharuan hukum Islam dimaksudkan agar hukum Islam selalu mampu merealisasi tujuan shariat semaksimal mungkin, yaitu mampu merealisasi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan diakhirat. Pembaharuan hukum Islam dimaksudkan agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Timbul pertanyaan, apakah boleh hukum Islam terus-menerus diperbaharui dan dikembangkan? Bukankah ajaran Islam itu mutlak benar dan tidak berubah? Untuk menjawab pertanyaan itu perlulah dipelajari terlebih dahulu hakikat Islam secara filosofis dan historis.
Sebagaimana diketahui Islam mengandung ajaran-ajaran yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui wahyu. Wahyu yang diturunkan allah kepada Nabi Muhammad melalaui Jibril pada hakikatnya adalah ayat-ayat al-Quran dalam teks Arabnya. Oleh karena itu kalam Allah dalam Islam harus diartikan secara harfiah, firman, sabda, atau kata-kata Tuhan.
Hakikat ini mempunyai implikasi bahwa jika kata-kata Arab dalam ayat yang disampaikan kepada Nabi Muhammad diganti dengan sinonimnya, atau diubah sususan katanya, atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka ayat yang dihasilkan oleh pergantian kata dan perubahan sususnan kata-kata itu demikian pula terjemahannya, bukanlah lagi wahyu yang bersifat absolut, melainkan merupakan penafsiran, hasil buatan manusia, yang bersifat relatif kebenarannya. Dengan kata lain, penafsiran dan terjemahan itu tidak mengikat bagi manusia. Yang mengikat adalah ayat-ayat dalam teks Arab itu. Demikianlah sifat dasar dari al-Quran sebagai sumber pertama ajaran Islam.
Adapun hadith, sebagai sumber kedua, bukanlah wahyu dalam arti di atas. Hadith pada umumnya mengandung ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW yang disebut sunnah Nabi dan terpelihara dari kesulitan. Kalau ada ucapan atau perbuatan Nabi dan terpelihara dari kesalahan. Kalau ada ucapan Nabi yang salah, beliau mendapat teguran dari Tuhan. Kalau tidak mendapat teguran, ucapan dan perbuatan Nabi itu benar. Dengan cara demikian, Nabi terpelihara dari kesalahan dan menjadi maksum. Ada pula hadith yang mengandung bukan ucapan atau perbuatan Nabi, melainkan arti yang dimasukkan oleh Allah ke dalam hati beliau. Kemudian Nabilah yang mengungkapkan arti kata itu dalam kata-kata beliau sendiri yang disebut hadith qudsi. Hadith sebagai sumber kedua memberi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran.16
Ayat al-Quran berjumlah lebih dari 6000 tetapi hanya sebagian kecil dari jumlah itu yang merupakan ayat-ayat yang mengadung ajaran-ajaran tentang keimanan, ajaran-ajaran tentang hubungan vertikal manusia dengan Tuhan dan ajaran-ajaran tentang hubungan horizontal manusia dengan manusia. Menurut perkiraan ulama, jumlah ayat-ayat itu hanya kira-kira 500; 130 mengenai keimanan, 140 mengenai ibadat dan 230 mengenai muamalat atau hidup kemasyarakatan manusia. Di samping itu ada pula ayat-ayat yang mengandung ungkapan tentang fenomena alam yang erat hubungannya dengan filsafat dan ilmu pengatahuan. Sebagian besar dari ayat-ayat selebihnya mengandung riwayat tentang Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad, riwayat umat-umat dulu, teladan serta ibarat yang dapat diambil dari pengalaman-pengalaman umat-umat masa lampau, hidayah serta kesesatan, dan kebaikan serta kejahatan.
Dalam pada itu ayat-ayat yang mengandung ajaran-ajaran tentang iman, ibadat, dan hidup kemasyarakatan manusia itu pada umumnya datang dalam bentuk ajaran-ajaran dasar dan prinsip-prinsip tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai perincian dan cara pelaksanaannya. Demikian juga halnya dengan ayat-ayat tentang fenomena alam.
Ayat-ayat yang mengandung ajaran-ajaran dasar dan prinsip-prinsip inilah yang menjadi pegangan utama umat Islam, semenjak Nabi Muhammad wafat, dalam menghadapi masalah-masalah yang timbul di zaman-zaman sesudah beliau, baik dalam bidang keimanan atau teologi, maupun dalam bidang ibadat, bidang hidup kemasyarakatan, filsafat, dan sebagainya.
Timbullah dalam sejarah penjelasan-penjelasan serta penafsiran-penafsiran tentang ajaran-ajaran dasar dan prinsip-prinsip itu. Pemberian penjelasan dan penafsiran dimulai oleh sahabat-sahabat Nabi, terutama Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Talib, yang secara kronologis menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai kepala umat Islam yang tidak lama setelah hijrah ke Madinah, mengambil bentuk negara. Dalam memberi penjelasan dan penafsiran itu mereka dibantu oleh sahabat-sahabat lain yang senantiasa mereka ajak bermusyawarah.
Dengan demikian, disamping sunnah Nabi, timbullah sunnah sahabat. Sunnah sebenarnya berarti tradisi. Tetapi sunnah atau tradisi Nabi sabagaimana dijelaskan di atas, terpelihara dari kesalahan, sedang sunnah atau tradisi sahabat tidak. Dalam ajaran Islam, orang yang terpelihara dari kesalahan (maksum) hanyalah Nabi Muhammad. Tetapi sungguhpun tidak terpelihara dari kesalahan sunnah atau tradisi sahabat mempunyai pengaruh besar kepada umat Islam sesudah zaman mereka. Di zaman sekarang pengaruh itu masih tetap ada.
Setelah zaman sahabat datanglah zaman para ulama besar. Kalau zaman sahabat dunia Islam baru mencakup daerah-daerah sekitar semenanjung Arabia, seperti Palestina, Syria, Irak, Persia, dan Mesir, di zaman sesudah mereka, Afrika Utara, Spanyol, Transoxiana, India, dan daerah-daerah lain yang sejauh letaknya dari Arabia, telah menjadi Islam.17 Kalau masalah-masalah yang dihadapi sahabat dengan meluaskan daerah Islam ke luar semenanjung Arabia, daerah yang mencakup berbagai bangsa, bahasa, kebudayaan, dan adat istiadat, jauh berbeda masalah-masalah yang dihadapi Nabi di zaman Islam masih terbatas pada semenanjung Arabia yang satu bahasa, kebudayaan, dan adat istiadat, maka masalah-masalah yang dihadapi para ulama besar dengan Islam yang demikian luas jauh pula berbeda dengan yang dihadapai para sahabat.
Ulama pun tidak berpusat di satu tempat, tetapi masing-masing daerah mempunyai ulamanya sendiri-sendiri yang menghadapi masalah-masalah yang berbeda pula. Dalam menghadapi masalah-masalah yang berbeda itu pegangan mereka tetap ayat-ayat al-Quran dan hadith Nabi. Karena itu timbullah penjelasan-penjelasan dan penafsiran-penafsiran berbeda dalam menghadapi masalah-masalah berbeda itu.
Dalam perkembangan sejarah, penjelasan-penjelasan dan penafsiran-penafsiran berbeda itu mengambil bentuk madhhab dan aliran-aliran. Madhhab-madhhab dan aliran-alairan itu terkadang tidak hanya menunjukkan perbedaan pendapat, tetapi juga pendapat yang saling bertentangan.
Demikian dalam soal keimanan, yang menjadi ajaran paling pokok dalam Islam, terdapat lima aliran teologi atau ilmu kalam. Masalah yang pertama timbul dalam bidang ini adalah kedudukan pembuat dosa besar seperti membunuh orang tanpa alasan yang sah, berzina, menjalankan riba, dan durhaka kepada orang tua. Dipersoalkan apakah pembuat dosa besar masih mukmin, masih orang Islam. Golongan keras yang dalam sejarah teologi dikenal dengan Khawarij, mengatakan bahwa pembuat dosa besar bukan mukmin lagi melainkan sudah menjadi kafir dan keluar dari Islam. Golongan lembut Murji’ah berpendapat, bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, orang Islam bukan kafir. Golongan rasional, Muktazila, berpendapat. Pembuat dosa besar tidak mukmin, tidak kafir, dan hanyalah muslim. Bagi muktazila, orang mukmin adalah orang yang mengucapkan dua syahadat dan menjalankan ajaran-ajaran Islam, sedangkan orang muslim adalah orang mengucapkan dua shahadat tetapi tidak melaksanakan ajaran-ajaran Islam.18
Perbedaan penafsiran ini timbul karena dalam al-Quran tidak ada ayat-ayat yang secara terperinci dan definitif menyebutkan siapa yang mukmin dan siapa yang kafir. Ayat hanya menyebut iman mencakup kepercayaan kepada Tuhan, Malaikat, Rasul- rasul, Kitab-kitab, dan hari perhitunagn di akhirat. Ketika terjadi peperangan dan pembunuhan antara sesama muslim di zaman Usman, Ali, dan muawiyah, timbullah pertanyaan tentang pembuat dosa besar. Dalam menjawab pertanyaan itu timbullah penafsiran yang berbeda-beda.
Setelah ulama Islam mulai dari abad ke-8 Masehi mempelajari filsafat Yunani dalam usaha menentang serangan-serangan bersifat filosof yang datang dari luar Islam, filsafat mempengaruhi pemikiran keagamaan dalam Islam. Sebagai akibatnya timbullah dalam Islam. Sebagai akibatnya timbullah dalam Islam teologi rasional dan teologi tradisional. Teologi rasional banyak memakai penafsiran metaforis, sedangkan teologi tradisional banyak terikat pada penafsiran harfiah.
“Tangan Tuhan” dan “Kursi Tuhan” yang terdapat dalam al-Quran diartikan teologi rasional “Kekuasaan Tuhan” sedangkan teologi tradisional tetap berpegang pada arti harfiyah, yaitu “Tangan” dan “kursi” walaupun tidak sama dengan tangan dan kursi manusia. Demikian pula dalam soal kemauan dan perbuatan manusia, teologi rasional menganut paham adanya kebebasan manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan, sedang teologi tradisional menganut paham fatalisme.19 Perbedaan-perbedaan penafsiran ini timbul karena ayat-ayat mengenai tangan dan pembuatan manusia tersebut di atas tidak mengandung penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kata-kata itu.
Dalam hubungan ini baik disebut dalam perkembangan penjelasan dan penafsiran selanjutnya, para ulama Islam membagi ayat-ayat al-Quran dalam dua kelompok: ayat-ayat yang artinya pasti sebagaimana diberikan teks dan tak dapat ditakwilkan lagi (qath’I al-dalalat) dan ayat-ayat yang artinya masih dapat ditakwilkan (zhanni al-dalalat). Yang banyak terdapat dalam al-Quran adalah ayat-ayat yang zhanni al-dalalat,ayat-ayat yang artinya dapat ditakwilkan; yaitu ayat-ayat yang tidak mesti diambil arti tersuratnya, tetapi dapat diambil artinya tersiratnya.20 “Kursi” dan “Tangan” Tuhan tersebut di atas termasuk dalam kelompok ayat zhanni al-dalalat ini. Demikian juga jannat (surga) dan nar (neraka). Jannat dalam arti tersurat menggambarkan istana yang penuh dengan kesenangan jasmani, sedang nar secara harfiyah menggambarkan api yang menyala-nyala. Kaum shariat mengambil arti harfiah ini. Tetapi kaum sufi dan filosofi mengambil arti tersirat, yaitu kesenangan dan kesengsaraan ronahi yang secara tersirat terletak di belakang gambaran jasmani tentang surga dan neraka yang diberikan al-Quran.21
Kalau dalam bidang keimanan, yang merupakan masalah paling pokok dalam Islam, terdapat aliran-aliran yang berbeda pendapat, maka tidak mengherankan kalau dalam bidang ibadat dan bidang muamalat atau hidup kemasyarakatan manusia, terdapat pula madhhab-madhhab. Imam madhhab yang banyak memakai rasio adalah Abu Hanifah dan yang banyak memakai sunnah atau hadith adalah Ahmad Ibn Hanbal. Karena itu sebagai halnya dalam bidang ilmu kalam atau teologi Islam, dalam bidang hukum fikih yang berhubungan dengan ibadat dan hidup kemasyarakatan manusia terdapat pula madhhab yang rasional dan tradisional.
Sebagaimana contoh dalam soal ibadat dapat diambil penentuan permualaan hari puasa, hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Ru’yat oleh golongan rasional diartikan “melihat” dengan otak yaitu perhitungan atau hisab, sedang golongan tradisional mengartikan ru’yat “melihat” dengan mata kepala.22
Dalam hidup kemasyarakatan, ayat al-Quran, sebagaimana telah disebut di atas, berjumlah kira-kira 230. Perincian yang diberikan oleh seorang Guru Besar dalam bidang hukum Islam adalah sebagai berikut: hidup kekeluargaan 70 ayat, jual beli 70 ayat, soal pidana 30 ayat, hubungan muslim dengan non muslim 25 ayat, peradilan 13 ayat, hubungan si kaya dan si miskin 10 ayat, dan soal kenegaraan 10 ayat.23
Sesuai dengan sifat dasar ayat-ayat al-Quran tersebut di atas, yaitu hanya mengandung ajaran-ajaran dasar dan prinsip-prinsip, banyak berbentuk zhanni al-dalalat dan hanya sedikit berbentuk qath’i al-dalalat, maka ayat-ayat mengenai hidup kemasyarakatan ini juga memerlukan penjelasan dan penafsiran yang banyak dari para ulama hukum Islam. Sebagai halnya dalam bidang-bidang lain di sini juga banyak dijumpai perbedaan pendapat dan penafsiran.
Sebagai contoh dapat diambil perkawinan pria Islam dengan wanita Ahli Kitab yaitu wanita Yahudi dan Kristen. Dalam madhhab Syafi’i ada pendapat bahwa wanita Kristen tak boleh dikawini seorang pria muslim, karena ia menganut keyakinan trinitas. Menurut madhhab lain, seorang pria Islam boleh kawin dengan wanita Kristen karena dia adalah Ahli Kitab dan bukan musyrikah atau politeis.24 Ayat dengan jelas mengatakan bahwa orang Islam boleh mengambil wanita Ahli Kitab menjadi Istri.25 tetapi karena ayat tidak menjelaskan lebih lanjut Ahli Kitab mana yang dimaksud, timbullah perbedaan penafsiran tentang Ahli Kitab dalam ayat ini.
Semenjak masuknya bank Barat ke dunia Islam pada abad ke- 19 timbullah perbedaan pendapat mengenai haram atau tidaknya bunga Bank. Yang tegas diharamkan dalam al-Quran adalah riba.26Tetapi ayat tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan riba. Menjadi pertanyaan apakah bunga Bank masuk dalam kategori riba. Yang menganggapnya masuk kategori riba mengharamkan bunga Bank. Yang menganggapnya bukan riba berpendapat bahwa bunga Bank tidak haram.
Dari uraian ringkas di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sepanjang masa timbul penjelasan dan penafsiran mengenai ajaran-ajaran dasar dan prinsip yang terkandung dalam Al-Quran. Penjelasan dan penafsiran para ulama, yang disebut ijtihad itu, makin lama makin banyak jumlahnya, dan memerlukan buku-buku tebal dan berjlid-jilid. Ijtihad ulama yang jauh lebih banyak jumlahnya dari pada ayat-ayat Al-Quran sendiri, juga merupakan ajaran Islam. Tetapi karena ajaran-ajaran yang berasal dari ijtihad ini adalah hasil pemikiran manusia, maka ajaran itu bersifat relatif dan tidak absolut.
Dengan demikian dalam Islam sebenarnya terdapat dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah, dan tidak dapat diubah, yang jumlahnya sedikit sebagaimana terdapat di dalam Al-Quran. Kedua, ajaran relatif, tidak mutlak benar, tidak kekal, tetapi dapat berubah dan boleh diubah, yang jumlahnya banyak sekali sebagaimana terdapat dalam buku-buku ilmu kalam atau teologi Islam, ilmu fikih atau hukum Islam, ilmu tasawuf atau mistisme Islam, tafsir, hadith, ibadat, akhlak,filsafat, dan sebagainya. Ajaran-ajaran relatif yang berubah dan dapat diubah inilah yang berkembang semenjak Nabi Muhammad SAW. Wafat pada permulaan abad ke-7 sampai zaman modern pada akhir abad ke-20 ini, sesuai dengan pekembangan zaman dan sesuai dengan kondisi setempat. Yang tidak berubah adalah ajaran dasar dan prinsip-prinsip sebagaimana terdapat daalam Al-Quran dan hadith.
Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa ajaraan-ajaran dasar dan prinsip-prinsip yang dibawa 500 ayat tersebut sebelumnya, memerlukan banyak penjelasan dan penafsiran melalui ijtihad ulama agar ajaran-ajaran dasar serta prinsip-prinsip itu dapat dijalankan oleh umat dalam masyarakat. Ijtihad ulama itu berjalan sepanjang zaman semenjak Nabi Muhammad wafat, dan dalam Islam terdapat ijtihad yang bukan saja jumlahnya banyak sekali, melainkan juga berbeda, bahkan terkadang bertentangan. Karena ijtihad ulama ini juga merupakan ajaran dalam Islam, ajaran Islam itu dalam sejarah adalah hakikatnya senantiasa bertambah dan berkembang, sehingga pada akhirnya yang banyak terdapat dalam Islam adalah ajaran hasil ijtihad ulama yang tidak bersifat mutlat benar, tetapi relatif, berubah dan dapat diubah. Dalam pada itu ajaran yang bersifat mutlak benar, kekal, tidak berubah, dan dapat diubah sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan hadith tetap sebagaimana ditinggalkan Nabi, tidak bertambah jumlahnya.
Setelah diuraikan hakikat ajaran Islam seperti tersebut di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa pembaharuan hukum Islam adalah suatu keharusan, malahan kewajiban yang mutlak.27 Pembaharuan menurut Nurcholish Madjid, merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan YME. Pembaharuan atau modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunatullah yang hak. Sunatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, maka untuk menjadi modern manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu. Manusia, karena keterbatasan kemampuannya, tidak sekaligus mengerti sunatullah itu, melainkan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu.28 Oleh karena itu hukum Islam pun harus terus menerus mengalami pembaharuan seirama dengan penemuan dan peerkembangan pengetahuan manusia terhadap hukum alam agar hukum Islam ssesuai dengan kenyataan yang ada dalam hukum alam.
C. IJTIHAD SEBAGAI SARANA PEMBAHARUAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Sedangka menurut istilah terdapat macam-macam redaksi yang diberikan oleh para ulama terhadap definisi ijtihad ini. Menurut Ibnu Al-Humam, ijtihad itu ialah:
“Pengerahan kemampuan ahli fikih untuk menemukan hukum shariat yang bersifat zhanni”.
Sedangkan menurut Abu Zahrah
“Pengerahan kemampuan ahli fikih dalam mengistinbathkan hukum yang amaliah dari dalil-dalilnya yang terinci.” 30
“Pengerahan kemampuan dalam memperoleh hukum shariat yang amaliah dengan cara melakukan istnbath.” 31
Kalau diperhatikan dengan cermat ketiga pengertian ijtihad di atas pada prinsipnya sama, yaitu usaha ahli fikih menggunakan pengetahuannya secara sungguh-sungguh untuk menemukan hukum shariat yang amaliah (hukum fikih) dari sumber (dalil) nya. Sedangkan hukum yang ditetapkan dengan ijtihad itu sifatnya zanni (bukan satu-satunya kebenaran, masih mengandung kemungkinan yang lain). Meskipun Syawkani tidak menyebutkan kata “fakih” dalam mengartikan ijtihad yang dikemukakannya, namun pengertiannya sudah dicakup oleh kata hukmin syar’iyin ‘amaliyyin (hukum shariat yang amaliah, maksudnya hukum fikih), karena tidak mungkin orang yang bukan ahli fikih (fakih) dapat menemukan hukum fikih. Dengan tegas Muhammad Abu al-NurZujer menandaskan bahwa pengertian ijtihad itu dikaitkan dengan kegiatan fakih untuk mebatasi kegiatan yang dilakukan oleh bukan fakih, kegiatan yang demikian di luar ijtihad menurut pengertian ahli ushul fikih.32 Kaitan zhanni dalam teks pengertian itu menunjukkan bahwa hukum hasil ijtihad itu zhanni, artinya bukan satu-satunya kebenaran (tidak qath’i) tetapi mengandung kemungkinan lain.
Ketiga definisi ijtihad di atas diberikan oleh para ulama Ushul Fikih. Pengetian ijtihad menurut mereka terbatas pada usaha para fakih untuk menetapkan hukum fikih. Penulis tidak setuju dengan pengertian ijtihad yang demikian. Menurut penulis, ijtihad itu tidak terbatas hanya dalam masalah fikih tetapi mencakup semua ajaran atau aspek Isalam yang lain.33 karena ijtihad sebanarnya mengandung arti yang luas sekali, yaitu sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Musa Tiwana meliputi tiga macam:
a. Ijtihad dalam menjelaskan nas dan menafsirkannya.
b. Itihad menggunakan qias kepada sesuatu yang telah ditegaskan oleh nas atau hukum yang telah disepakati.
c. Ijtihad dalam bentuk penggunaan ra’yu.34
Dalam hal ini menurut penulis, definisi ijtihad seperti yang dirumuskan oleh Mahmasani, lebih tepat dan sesuai dengan kenyataan, sebab al-Quran dan hadith juga meliputi aspek-aspek Islam yang lain (selain fikih), dan teks al-Quran dan hadith dalam aspek-aspek tersebut juga ada yang perlu dipahami dengan menggunakan ijtihad, baik dalam bentuk penjelasan dan penafsiran maupun dengan ijtihad dalam bentuk penggunaan rakyu. Adapun definisi ijtihad menurut Mahmasani ialah upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami dan menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam (al-Quran dan hadith).35
Dalam kenyataan sejarah pun kita melihat bahwa ijtihad telah dilakukan dalam aspek-aspek Islam yang lain, tidak terkecuali dalam aspek teologi. Lahirnya aliran-aliran dalam ilmu kalam, sebagaimana telah dijelaskan, adalah bukti kongkrit adanya ijtihad dalam aspek tersebut.
Selain dapat digunakan dalam semua ajaran atau aspek Islam, menurut penulis, ijtihad juga mempunyai objek yang sangat luas. Objek ijtihad ialah setiap peristiwa baik sudah ada ketentuan nasnya yang bersifat zhanni maupun belum ada nasnya, cara ijtihad adalah dengan jalan memahami nas dan meneliti apakah suatu nas bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau bersifat umum, apakah dibatasi keumumannya atau tidak. Bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada nas ketentuannya, maka obyek ijtihad ialah meneliti hukumnya dengan memakai kias, atau istihsan, atau pemakaian ‘urf atau dalil-dalil hukum lainnya.36
2. Ijtihad Sebagai Sarana Pembaharuan Hukum Islam
Nabi Muhammad telah menjalankan tugas kerasulannya dengan baik dan sempurna dalam waktu dua puluh dua tahun lebih beberapa bulan. Dalam waktu yang demikian singkat, shariat Islam telah dinyatakan lengkap dan sampurna, dengan turunnya al-Quran, ditambah dengan penjelasan dari Rasulullah.
Begitu Rasulullah hijrah ke Madinah, mulailah terbentuk suatu umat membutuhkan hukum dan perundang-undangan. Bersamaan dengan itu hukum Islam pun mulai terbentuk, menggantikan adat istiadat jahiliah. Ayat-ayat al-Quran yang menyangkut hukum, jumlahnya relatif sangat terbatas. Dari jumlah yang terbatas itu, khusus masalah ibadat, meskipun pada umumnya disebut dalam al-Quran pokok-pokoknya saja, namun telah lengkap secara terinci dijelaskan oleh sunnah Rasulullah. Adapun dibidang muamalat. Hanya sebagian kecil yang secara tegas dan terinci, sedangkan kebanyakannya berupa prinsip-prinsip dasar secara singkat – yang dalam pelaksanaannya memerlukan aturan tambahan – dan berupa teks-teks tidak tegas yang mungkin menerima berbagai penafsiran, serta pada umumnya dinyatakan atau diisyaratkan illat atau hikmah hukumnya. Bentuk sumber hukum yang dibekalkan kepada umat sedimikian rupa, menurut Satria Effendi, 37bukanlah secara kebetulan tanpa tujuan. Karena andaikan al-Quran dan sunnah terinci dalam seluruh persoalan, akan membuat hukum Islam kaku dan mudah ketinggalan zaman. Maka justru pada watak sumber hukum yang singkat dan terbuka tetapi cukup memuat pokok-pokok pikiran dan mengandung makna yang mendalam itulah terletaknya dinamika hukum Islam.
Dengan demikian jelaslah bahwa hanya dalam masalah ibadatlah yang terdapat ketentuan hukum yang jelas dan terinci, sedangkan dalam bidang muamalat dan hidup kemasyarakatan tidak demikian. Selain tidak ada penjelasan yang jelas dan terinci dari al-Quran dan hadith, masalah-masalah baru pun banyak muncul dalam bidang tersebut malah terus bermunculan dan tidak pernah berhenti sedangkan al-Quran dan hadith tidak pernah datang lagi, padahal shariat islam sudah berumur 14 abad dan terus akan berlaku sepanjang zaman karena memang Islam merupakan agama wahyu yang terakhir dan dimaksudkan sebagai agama yang berlaku sepanjang zaman.
Karena dimaksudkan sebagai agama yang berlaku sepanjang zaman itulah, Islam membawa ajaran-ajaran dasar dan prinsip-prinsip yang dapat dikembangkan secara rasional menyongsong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan melestarikan kebenaran. Sarana penting yang diberikan Islam untuk mengembangkan ajaran-ajaran dasar dan prinsip-prinsip itu adalah ijtihad, dengan memfungsikan akal semaksimal mungkin.
Dengan ijtihadlah para sahabat menjabarkan dan mengembangkan sumber-sumber hukum Islam. Mereka memberikan penjelasan-penjelasan dan penafsiran-penafsiran terhadap nas dan menyelesaikan setiap masalah yang timbul dalam masyarakat Islam. Dan dengan ijtihadlah hukum Islam mencapai masa keemasannya pada abad kedua sampai pertengahan abad ke-4 Hijriah. Sebaiknya hukum Islam pernag mengalami masa jumud dan beku karena macet dan terhentinya ijtihad sehingga menimbulkan taklid. Dengan demikian untuk memperbaharui dan mempertahankan dinamika hukum Islam seirama dengan dinamika masyarakat, maka gerakan ijtihad harus terus-menerus dihidupkan.
Dari uraian terdahulu dapat kita lihat bahwa sahabat yang hidup pada masa Nabi masih perlu melakukan ijtihad. Banyak hal yang mereka hadapi, sebagaiman telah dijelaskan, perlu mereka selesaikan dengan ijtihad mereka sendiri kerena mereka belum memperoleh kepastian hukumnya dari Rasulullah baik melakukan al-Quran maupun hadith.
Kalau sahabat yang hidup pada masa Nabi SAW sudah perlu melakukan ijtihad, maka masa-masa sesudah itu, ijtihad tentu lebih-lebih lagi diperlukan. Ada dua kondisi penting yang menyebabkan ijtihad sesudah masa Nabi SAW lebih diperlukan. Yang pertama pada masa Nabi SAW, wahyu sebagai sumber utama ajaran Islam masih belum berhenti, masih tetap turun, sedangkan setelah masa Nabi SAW, wahyu tidak pernah turun lagi untuk selama-lamanya. Yang kedua masalah-masalah yang muncul sesudah itu. Masa Nabi, daerah Islam masih kecil, umat Islam belum banyak berhubungan dengan umat-umat lainnya. Sedangkan masa-masa sesudah Nabi, baik berupa perluasan Islam maupun karena perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, masalah-masalah baru yang muncul di hadapan umat Islam demikian banyaknya
Kebutuhan kepada ijtihad itu jelas tergambar dalam sebuah hadith Nabi ketika ia mengutus Mu’az Ibn Jabal r.a. untuk menjadi qadi (hakim) di daerah Yaman, ia sempat berdialog dengan Mu’az:
“bagaiman cara kamu menyelesaikan parkara jika kepadamu dimajukan suatu perkara? Mu’az menjawab, aku akan putuskan menurut ketentuan hukum yang ada dalam al-Quran. Kalau tidak kamu dapati dalam Kitab Allah? Tanya Nabi selanjutnya. Akan aku putuskan menurut hukum yang ada dalam sunnah Rasulullah, jawab Mu’az. Kalau tidak kamu jumpai dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Mu’az menjawab, aku akan berijtihad dengan kemapuan pikiranku. Maka Nabi menepuk data Mu’az seraya berucap: segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasul- Nya kepada jalan yang diridhai Rasul Allah” (H.R. Abu Daud).38
Dari hadith tersebut dapat disimpulkan bahwa Rasulullah SAW tidak hanya menyetujui tetapi juga menganjurkan penggunaan akal pikiran untuk menetapkan hukum terhadap sesuatu yang dalam al-Quran dan sunnah belum dinyatakan hukumnya secara jelas. Agama Islam mengajarkan agar segala perilaku menusia harus jelashukumnya; apakah haram, atau halal, apakah wajib dilakukan atau dilarang atau dibolehkan, apakah baik atau buruk dan apakah benar atau salah. Dengan mengetahui hukum itu diharapkan setiap muslim dengan iman di dada akan mampu membatasi perilakunya dalam hal-hal yang halal, yang perintahkan agama, yang baik, dan yang benar. Menggunakan akal pikiran atau rakyu menurut hadith di atas, merupakan jiwa dari pada ijtihad. Hadith tersebut sekaligus mengurutkan sumber hukum dalam agama Islam, yaitu al-Quran dan hadith; kemudian jika tidak terdapat keterangan yang jelas dalam kedua sumber itu maka harus diambil cara atau system ijtihad. Setiap masalah harus ditetapkan hukumnya karena menyangkut kehidupan manusia terutama manusia muslim.
Jadi dasar shariat adalah wahyu, akan tetapi Islam tidak pernah merendahkan kemampuan akal manusia. Al-Quran menghubungkan iman dan tauhid dengan pemikiran yang lurus tentang kekuasaan Allah dan keesaan-Nya dalam mencipta.39 hukum-hukum syarak seluruhnya sesuai dengan akal yang sehat, tidak ada sesuatu ketentuan pun dalam Islam yang bertentangan dengan akal.40 Demikian juga Islam menjadikan akal sebagai dasar pembebanan pada hukum-hukum syarak, artinya kewajiban syarak hanya dibebankan kepada orang yang berakal sehat, tidak gila.
Rasulullah SAW bersabda:
“Diangkat pena dari tiga golongan: orang gila sampai ia waras, orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai dewasa.”41
Jelaslah bahwa akal mempunyai tugas yang penting dalam melaksankan istinbath hukum. Tugas akal, menurut al-‘Umuri, tampak jelas dalam dua hal:
a. Mempelajari maksud dan tujuan dari sejumlah nas syarak dengan menggali hikmah pada setiap nas syarak, kemudian mempelajari tujuan shariat secara keseluruhan dari kesimpulan bermacam-macam ketentuan hukum yang diistinbathkan.
b. Melakukan istinbath hukum terhadap masalah-masalah yang tidak ada penjelasan nasnya, karena nas tidak lagi bertambah, sedangkan masalah-masalah baru terus saja timbul. Dalam keadaaan demikian tak ada jalan lain kecuali menetapkan nasnya itu dengan berpedoman kepada hukum yang ada penjelasannya.42
Oleh karena itu al-Quran sangat mendorong manusia untuk menggunakan akalnya. Al-Quran memberikan kedudukan yang tinggi kepada akal manusia. Dalam al-Quran, menurut Rasyidi, terdapat lebih dari 50 ayat yang mengandung kata “piker” atau “akal”.43 Manusia diperintahkan untuk selalu berpikir entah dalam masalah ibadah kepada Tuhan, dalam masalah muamalat dengan sesama manusia ataupun dalam masalah keagamaan dana masalah-masalah keduniaan yang lain.
Masalah-masalah baru yang terus-menerus timbul harus ditetapkan hukumnya dengan cara ijtihad menggunakan kemampuan akal semaksimal mungkin. Dengan demikian semua masalah yang muncul dapat ditetapkan hukumnya sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar-dasar syarak dengan menggunakan kemampuan akal dan mengembalikannya kepada nas-nas al-Quran dan hadith untuk mengetahui dasar pembebanan dan illat hukumnya.
Sebenarnya ijtihad itu, menurut al-‘Umuri, merupakan suatu kegiatan ilmiah untuk menjelaskan ilmiah untuk menjelaskan dasar-dasar shariat Islam. Ijtihad merupakan sarana untuk menggali peradaban Islam dan merupakan salah satu cara menjaga agar Islam sesuai dengan semua tempat dan zaman. Ijtihad pulalah yang dapat menjelaskan hikmah datangnya nas-nas dengan kaidah-kaidah yang universal yang dapat menjadikannya hidup dan elastis serta dapat memenuhi kebutuhan manusia.44
Oleh karena itu al-Quran memberikan kedudukan ang tinggi kepada para ulama, cendekiawan, dan ahli istinbath serta memerintahkan manusia untuk merujuk kepada mereka. Allah berfirman dalam surat al-Nisa’ (4): 59:
“wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan Ul al-Amr di antara kamu.
Menurut Ibn Abbas, Mujahid, dan al-zahhak, yang dimaksud dengan Ul al-Amr adalah para ulama yang memberi fatwa dalam hukum-hukum syarak dan mengajarkan masalah-masalah agama kepada manusia.45
Penafsiran di atas dikuatkan oleh firman Allah dalam surat al-Nisa’ (4): 83 yangberbunyi:
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ul al-Amr di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ul al-Amr). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).
Ayat itu menyandarkan kata istinbath kepada “para ulama”. Istinbath berarti istikhraj, mengeluarkan hukum.
fakih itu mengeluarkan hukum yang tidak jelas dengan ijtihad dan pemahamannya. Dan orang-orang yang mengeluarkan hukum itu adalah ulama).
Ayat itu juga menjadi dalil bahwa ada beberapa masalah baru yang tidak bisa diketahui hukumnya dengan nas melainkan dengan cara istinbath.”46
Dari uraian di atas jelaslah bahwa ijtihad itu sangat diperlukan dalam rangka pengembangan dan pembaharuan hukum Islam. Ijtihad merupakan pelaksanaan perintah Tuhan untuk memanfaatkan kemampuan akal pikiran guna memahami atau mengembangkan hukum Islam. Ijtihad dalam bidang hukum Islam berarti memberikan penjelasan dan penafsiran agar ajaran-ajaran dasar serta prinsip-prinsip yang dibawa oleh nas syarak dapat dijalankan oleh umat dalam masyarakat. Ijtihad berfungsi menetapkan hukum terhadap masalah yang tidak dijelaskan secara nyata oleh nas. Ijtihad juga berfungsi memberikan penafsiran dan pemahaman baru terhadap nas syarak yang memuat dasar-dasar dan prinsip-prinsip itu agar hukum Islam selalu sesui dengan perkembangan zaman.