As-Salam dinamai juga As-Salaf (pendahuluan)
Yaitu penjualan sesuatu sengan kriterian tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan dengan pembayaran segera/disegerakan.
Para fuqaha menamainya dengan al-mahawi’ij (barang-barang mendesak), karena ia sejenis jual beli barang yang tidak ada ditempat sementara dua pihak yang melakukan jual beli mendesak.
Pemilik uang butuh membeli barang, dan pemilik barang butuh pembayarannya sebelum barang ada ditangan untuk ia gunakan memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan tanamannya sampai waktu tanaman dapat dipanen/masak. Jual beli semacam ini termasuk kemaslahatan kebutuhan.
Pembeli disebut Al-Muslim atau pemilik as-salam (yang menyerahkan), dan penjual disebut al-muslamu ilaihi (orang yang diserahi), sedangkan barang yang dijual disebut al-muslam fiih (barang yang akan diserahkan) dan harganya disebut ra’su maalis salam (modal as-salam).
Landasan Hukumnya
Landasan hukum disyari’atkannya dengan kitabullah dan sunnah serta ijma’
1. Ibnu Abbas r.a. berkata :
أَشْهَدُ اَنَّ السَّلَفَ المضمون الى اجل قد احله الله فى كتابه واذن فيه. ثم قـرأ قوله تعالى : يأيها الذين امنوا اذا تدينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبوه.
“Aku bersaksi bahwa as-salaf yang dijamin untuk waktu tertentu benar-benar dihalalkan Allah di dalam kitabullah dan diizinkan”. Kemudian ia membaca ayat Allah : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amallah tidak secara tunaiuntuk waktu-waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya dengan benar”. (Q.S. 2 ayat 282)
2. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan, bahwa Nabi Saw, datang di Madinah dimana mereka melakukan as-salaf untuk penjualan buah-buahan (dengan waktu) satu tahun atau dua tahun. Lalu beliau bersabda :
من اسلف فليسلف فى كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم
“Siapa yang melakukan salaf, hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu tertentu”.
Ibnu Al-Munzir mengatakan : Semua orang yang ilmunya kami pelihara kami hafak mengatakan : bahwa as-salam itu boleh.
Kesesuaiannya dengan Kaidah-kaidah Syariah
Pensyari’atan as-salam sesuai dengan tuntutan syari’at dan sesuai pula dengan kaidah-kaidahnya. Tidak bertentangan dengan kias, karena sebagaimana penangguhan pembayaran dalam jual beli, boleh pula menangguhkan barang seperti dalam as-salam tanpa ada pembedaan antara keduanya dan Allah berfirman :
اذا تداينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبوه (البقرة : 282)
“Apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya dengan benar”. (Q.S. :2 ayat 282)
yang dimaksud dengan kata dain dalam ayat ini (bukan hutang), tetapi mu’amallah tidak secara tunai untuk barang yang tidak terkandung dalam jaminan. Selama kriteria barang diketahui jelas dan berada dalam tanggungan (penjual,red) dan si pembeli meyakini akan dipenuhi oleh oleh si penjual saatnya nanti seperti yang terkandung dalam ayat ini, sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas, selama itu pula ia tidak termasuk larangan Nabi Saw, tentang tidak bolehnya seseorang menjual sesuatu yang tidak ada padanya sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan dari Al-Hakim Ibnu Hazam yang berbunyi:
لاتبع مل ليس عندك (اخرجه احمد واصحاب السنن وصححه الترمذى وابن حبان)
“janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu”.
(Dikeluarkan oleh Ahmad dan Ashhabus Sunan dan diShahihkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
Sesungguhnya yang dimaksud dengan pelarangan ini, bahwa seseorang menjual barang yang ia tidak dapat menyerahkannya. Karena, barang yang ia tidak dapat menyerahkannya, pada hakekatnya bukanlah miliknya. Sehingga jual beli menjadi gharar atau petualangan.
Adapun jual beli barang yang berkriteria, dan ada jaminannya, disertai sangkaan kuat dapat dipenuhi tepat pada waktunya, tidaklah termasuk dalam kategori ini.
Syarat-syaratnya
Dalam jual beli ada syarat-syarat yang harus diikuti sehingga jual beli menjadi sah. Di antaranya persyaratan untuk modal (pembayaran) dan persyaratan untuk barang yang dijual.
Syarat Pembayaran (modal)
1. Diketahui jelas jenisnya
2. Diketahui jelas kadarnya
3. Diserahkan di majlis
Syarat Barang yang disalamkan
1. Bahwa Barang tersebut ada dalam tanggungan
2. Barang tersebut berkriteria yang bisa memberikan kejelasan kadar dan sifat-sifatnya yang membedakannya dengan lainnya agar tidak mengandung gharar dan terhindar dari perselisihan
3. Bahwa batas waktu diketahui jelas
Bolehkah penentuan batas waktu sampai dengan masa panen, masa potong, datang haji dan sampai diberikan?
Menurut Imam Malik : boleh saja selagi diketahui jelas seperti beberapa bulan dan beberapa tahun.
Persyaratan Tempo
Jumhur berpendapat perlunya menuliskan tempo dalam jual beli as salam. Dan mereka berpendapat : As-Salam tidak boleh berlangsung seketika (sekarang).
Para penganut Mazhab Asy Syafi’I berpendapat : Boleh saja (seketika, red) karena jika dibolehkan penangguhan padahal bisa jadi gharar, pembolehannya untuk waktu itu juga tentu lebih utama dan disebutnya waktu/masa/tempo dalam hadits di atas bukanlah untuk penangguhan mengingat tidak adanya dalil yang mendukung, menghormati hukum yang tanpa dalil bukanlah kelaziman.
Adapun yang dikatakan bahwa as salam harus tidak penangguhan, itu sebenarnya untuk jual beli barang yang tidak ada rukhsah-nya, kecuali untuk as-salam yang tidak ada bedanya dengan jual beli biasa, hanya; soal waktu yang ditangguhkan.
Dengan demikian berarti sudah dijawab; bahwa sighatnya berbeda, dan itu sudah cukup (sebagai jawaban, red).
Barang Tidak mesti berada di tangan penjual
Dalam as-salam tidak disyaratkan barang berada pada penjual, tetapi harus ada pada waktu yang ditentukan. Manakala barang jual tidak ada pada waktu yang ditentukan, akad menjadi fasakh. Tidak adanya barang sebelum waktu yang ditentukan tidak membawa akibat apa-apa.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Muhammad bin Al-Mujalid, berkata : Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah mengutusku menemui Abdullah bin Abi Aufa, mereka mengatakan. Tanyakan padanya apakah para sahabat Nabi pada zaman saw. Melakukan salaf (as-salam) untuk gandum?”
Abdullah bin Aufa menjawab : “Dahulu kami melakukan salaf para petani penduduk Syam untuk gandum dan minyak dalam takaran yang diketahui jelas dan waktu yang jelas”.
Aku tanyakan lagi : “Darimana asal barang yang ada padanya?” Abdullah bin Aufa menjawab : “Kami tidak menanyakan hal tersebut”. Kemudian kedua orang itu (Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah, red). Mengutusku menemui Abdurrahman bin Abza. Aku menanyakannya lagi kepada orang lain. Ia menjawab : “Para sahabat Nabi dahulu pada zaman Nabi melakukan salaf (tetapi) kami tidak menanyakan mereka; apakah mereka memiliki ladang atau tidak?”.
Tidak mencantumkan Tempat Serah Terima tidak Merusak Akad
Kalau kedua belah pihak yang berakad tidak mencantumkan penentuan tempat serah terima, as-salam dinyatakan sah, dan tempat ditentukan kemudian. Karena soal ini tidak dijelaskan oleh Al-Hadits. Jika itu merupakan syarat tentu Rasulullah akan menyebutkanny seperti beliau menyebutkannya takaran, timbangan dan waktu.
As-Salam Untuk Buah yang masak dan Susu
Adapun as-salam untuk susu dan buah yang sudah masak yang mesti dipetik, itu termasuk masalah sivil, mereka sepakat untuk itu. Hukum ini berlandaskan kaidah kemaslahatan. Karena orang membutuhkan pengambilan susu dan buah yang sudah masak secara bertahap dan sulit bagi mereka mengambilnya setiap hari sejak awal (ia masak). Kadang-kadang uang tidak dapat dikumpulkan, dan harganyapun dapat berbeda, sedangkan pemilik susu dan buah membutuhkan uang, sementara yang ada padanya tidak dapat digunakan. Selama persoalannya adalah kebutuhan, maka untuk kedua jenis ini diberikan rukhsah (keringanan) dengan mengiaskannya kepada ‘araya dan dasar-dasar kebutuhan serta kemaslahatan lainnya.
Boleh mengambil barang lain sebagai ganti
Jumhur Ahli Fiqih berpendapat; tidak boleh mengambil barang lain yang bukan barang yang ditentukan dalam as-salam sebagai gantinya, sementara itu akad masih berlaku, karena bisa jadi ia (penjual) telah menjual barang yang mestinya ia serahkan sebelum penyerahterimaan.
Rasulullah bersabda :
من اسلف فى شيئ فلايصرفه الى غيره (رواه الدارقطنى)
“Siapa yang mensalafkan (memberi panjar) sesuatu maka dia tidak boleh mengopernya kepada orang lain” (Riwayat Ad-Daruquthni)
Imam Malik dan Ahmad membolehkan
Ibnu Al-Munzir berkata : diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkata: “Jika kamu mensalafkan (mengambil panjar barang) sesuatu untuk waktu tertentu, kamu harus menyerahkan barang yang kau salafkan, jika tidak, ambillah ganti yang lebih sedikit, jangan kau mengambil keuntungan dua kali”.
Demikian menurut yang diriwayatkannya Syu’bah. Ia merupakan seorang sahabat. Dan ucapan seorang sahabat dapat dijadikan hujjah selama tidak ada yang menentangnya.
Adapun hadits yang periwayatnya terdapat Athiyah bin Saad tidak dapat dijadikan hujjah. Ibnu Al-Qayyim memperkuat pendapat ini.
Setelah argumentasi kedua kelompok didiskusikan, jelas tidak ada dasar-dasar pengharaman (as-salam) baik dari ijma’, maupun qias dan bahwa Nash an Qias membenarkan adanya.
Yang jelas wajib pada waktu terjadinya perselisihan, adalah mengembalikan persoalan kepada Allah dan Rasul-Nya, adapun jika akan as-salam fasakh dengan sebab iqalah dan lainnya, ada beberapa pendapat.
Ada yang mengatakan : tidak boleh seseorang mengambil ganti dalam mu’amallah tak tunai, selain jenis barang tersebut (pada perjanjian).
Pendapat lain : Boleh saja mengambil gantinya, seperti yang terdapat pada mazhab Asy Syafi’i. Sementara itu Al-Qadhi Abu Ya’la dan Ibnu Taimiyah mengatakan : boleh khiar.
Adapun Ibnu Qayyim berpendapat : Boleh saja (sah) karena ganti itu masih berada dalam tanggungan tak ubahnya seperti hutang dalam Qiradh dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulussalam III, Al-Ikhlas, Surabaya, 1995
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Juz 3, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
Fiqih Muamalah, Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Fiqih Muamalah Konstektual, Drs. Ghufron A. Mas’adi, M.Ag