BAB I
PENDAHULUAN
Para pakar antropologi, seperti halnya para ilmuwan sosial lain, belum mencapai kesepakatan tentang cara yang terbaik untuk menggambarkan segi-segi kehidupan sosial yang rumit. Pola berpikir tentang budaya, masyarakat, dan individu yang akan kita bahas disini berdasarkan kesepakatan bersama perihal prinsip-prinsip umum diantara para pakar teori mutakhir seperti Geertz, Levi-Strauss, dan Goodenough. Pada saat mengulas beberapa pokok permasalahan, kita juga akan membahas hal-hal yang lebih bersifat filsafat, ketimbang substantif, yang memisahkan para pakar tersebut. Pendekatan teoritis ini memandang dunia gagasan, kekuatan simbol sebagai hal yang sangat penting dalam pembentukan tingkah laku manusia – bukan sekedar cerminan sekunder keadaan material kehidupan sosial. Terlebih dahulu pembaca diingatkan bahwa tidak semua pakar antropologi menyetujui pandangan ini. Berbagai pendekatan teoritis lain akan disinggung dalam bab-bab berikut. Akan tetapi, apabila semuanya mendapat penekanan yang sama; persoalan akan menjadi campur aduk dan kabur. Oleh sebab itu, kita memerlukan piranti konseptual yang tepat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Antropologis Tentang Budaya
Konsepsi antropologis tentang budaya merupakan salah satu gagasan paling penting dan berpengaruh dalam pemikiran abad ke-20. pemakaian istilah “budaya” sebagaimana digunakan oleh pakar antropologi abad ke-19 telah berkembang ke berbagai bidang pemikiran lainnya dengan pengaruh yang dalam; sekarang di kalangan pakar humaniora dan para ilmuwan sosial lainnya merupakan hal yang lumrah apabila mereka berbicara, misalnya, tentang “budaya Jepang”.
Para pakar antropologi belum tepat sama sekali, atau benar-benar konsisten, dalam memakai konsep yang penting ini. Beberapa upaya untuk memberikan definisi menunjukkan beberapa segi budaya:
Suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
(semua) rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, dan nonrasional, yang ada pada suatu waktu sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia.
Keseluruhan realisasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan – dan perilaku yang ditimbulkannya.
Bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.
Pola, eksplisit dan implisit, tentang dan untuk perilaku yang dipelajari dan diwariskan melalui simbol-simbol, yang merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda budaya.
B. Budaya Sebagai Konsep Gagasan
Kata Goodenough, para pakar antropologi berbicara berbeda tentang dua tatanan semesta yang sangat berbeda jika mereka menggunakan istilah budaya – dan terlalu sering mereka mondar-mandir antara kedua pengertian ini. Pertama, budaya digunakan untuk mengacu pada kegiatan dan pengaturan material dan sosial yang berulang secara teratur “yang merupakan kekhususan suatu kelompok manusia tertentu. Kedua, istilah budaya dipakai untuk mengacu pada sistem pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka, menentukan tindakan, dan memilih diantara alternatif yang ada.
Bilamana para pakar arkeologi berbicara tentang budaya masyarakat tai Timur Dekat purba sebagai suatu sistem adaptasi, mereka menggunakan konsep tersebut menurut pengertian yang pertama. Itu adalah cara kehidupan dalam ekosistem yang merupakan kekhususan masyarakat tertentu: “Budaya ialah semua cara yang bentuknya tidak dibawah kendali keturunan, yang berfungsi membantu penyesuaian individu dan kelompok terhadap masyarakat ekologinya”.
Sebagaimana dikatakan oleh Goodenough, pengetahuan ini memberikan “patokan guna menentukan apa, … guna menentukan bisa jadi apa, … guna menentukan bagaimana kita merasakannya, … guna menentukan apa yang harus diperbuat tentang hal itu, dan … guna menentukan bagaimana melakukannya.
C. Memahami Sandi Budaya
Kesulitan yang mula-mula timbul dalam mengkaji budaya ialah bahwa kita tidak terbiasa menganalisis pola budaya; bahkan kita jarang menyadarinya. Seolah-olah kita atau manusia dari masyarakat yang manapun – dibesarkan dengan pemahaman mengenai dunia melalui kaca mata yang mempunyai lensa kabur. Hal-hal, peristiwa-peristiwa, dan hubungan-hubungan yang kita anggap berada “diluar sana” pada kenyataannya disaring melalui layar persepsi ini. Reaksi pertama, mau tak mau, pada waktu menjumpai orang-orang yang mengenakan kaca mata yang berlainan ialah menganggap perilaku mereka sebagai aneh atau keliru. Memandang cara kehidupan masyarakat lain menurut kaca mata budaya kita sendiri dinamakan etnosentrisme. Proses menyadari menganalisis kaca mata kita sendiri adalah justru tindakan yang menyakitkan. Kita melakukan yang terbaik bila kita mempelajari kaca mata lain orang. Walaupun kita tidak akan pernah bisa melepas kaca mata kita dalam memahami dunia “seperti apa adanya” atau berusaha melihat melalui kaca mata orang lain tanpa mengenakan kaca mata kita, paling tidak dapat belajar banyak tentang persepsi kita sendiri.
D. Budaya Sebagai Sebagaimana Makna yang Dimiliki Bersama
Budaya tidak terdiri dari benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang dapat kita mati, hitung dan ukur: budaya terdiri dari gagasan-gagasan dan makna-makna yang dimiliki bersama-sama. Clifford Geertz, meminjam dari pakar filsafat Gilbert Tyle, memberikan contoh yang menarik. Misalnya kejapan mata (tidak disengaja) dan kedipan mata yang disengaja. Sebagai peristiwa lahiriah, keduanya mungkin serupa – pengukuran keduanya tidak akan menemukan perbedaan. Yang satu adalah tanda, kode yang mengandung makna yang sama bagi orang Amerika (tetapi yang mungkin tidak akan bisa dimengerti oleh orang Eskimo atau Aborijik Australia). Hanya dalam kesemestaan makna yang dimiliki bersama, bunyi-bunyi dan peristiwa-peristiwa fisik bisa dipahami dan meneruskan informasi.
E. Budaya Sebagai Milik Publik, Budaya Sebagai Milik Perorangan
Pandangan tentang budaya inilah sesungguhnya yang menjadi topik permasalahan yang diperdebatkan dengan seru oleh para pakar antropologi masa kini. Para pakar yang, seperti halnya Geertz, berpendapat bahwa budaya adalah sistem dari tujuan masyarakat, bukannya sandi perorangan di benak masing-masing anggota masyarakat, menunjuk ke arah pengertian “budaya Bulgaria” yang telah ada sebelum (dan terlepas dari) kelahiran setiap orang Bulgaria. Mereka berpendapat bahwa budaya – seperti misalnya bahasa Bulgaria – terdiri dari kaidah-kaidah dan makna-makna yang menembus benak perorangan. Mereka berpendapat bahwa sebagai suatu sistem konseptual, budaya Bulgaria tersusun (dan mengalami perubahan) menurut cara-cara yang tidak mudah dipahami jika kita memandangnya sebagai suatu susunan yang diketahui oleh setiap orang Bulgaria.
Argumentasi kontra yang mendukung apa yang oleh Schwartz (1978) disebut sebagai “model distribusi budaya” sama tangguhnya. Pandangan ini menganggap distribusi ragam-ragam bagian tradisi budaya diantara para anggota masyarakat sebagai suatu hal yang penting.
Distribusi budaya diantara para anggota masyarakat menembus keterbatasan perorangan dalam menyimpan, penciptaan, dan penggunaan masa budaya. Model distribusi budaya memperhitungkan baik keragaman maupun kebersamaan. Adalah keragaman yang meningkatkan inventaris budaya, tetapi adalah persamaan yang menjawab taraf komunikabilitas dan kordinasi.
F. Makna Budaya Sebagai Proses Sosial
Jika kita membayangkan suatu masyarakat manusia, masing-masing individu mempunyai konseptualisasi sendiri perihal dunia sosial, dan masing-masing individu melaksanakan kegiatan-kegiatan rutin dan menafsirkan makna atas dasar konseptualisasi realitas yang bersifat pribadi tadi, kita tidak akan dapat meraba proses sosial dimana makna yang dimiliki bersama diciptakan dan dipertahankan – suatu proses yang terjadi, sebagaimana adanya, antara manusia, tidak sekedar di dunia pikiran pribadi mereka. (Bentukan masyarakat dari makna yang dimiliki bersama inilah yang telah mendorong Geertz untuk mengkritik pandangan mentalistik terhadap budaya.
BAB III
KESIMPULAN
Budaya adalah keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
Budaya dalam konsep gagasan dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama, budaya digunakan untuk mengacu pada kegiatan dan pengaturan material dan sosial yang berulang secara teratur “yang merupakan kekhususan suatu kelompok manusia tertentu. Kedua, istilah budaya dipakai untuk mengacu pada sistem pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka, menentukan tindakan, dan memilih diantara alternatif yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Binford, L. R. 1986. Post Pleistocene Adaptations. Dalam L. R. dan S. Binford, ed. New Perspectives in Archeology, Chicago: Aldine Publishing Co.
Googdenough. W.H. 1957. Cultural anthropology and Linguistics. Dalam P. Garving, ed. Report of the seventh annual round table meeting on linguistics and Language Study. Monograph Series on Language and Linguistics, 9, Washington, D. C. Georgetown University.
Keesing, M. R., 1992, Antropologi budaya Suatu Perspektif Kontemporer, jilid I, Jakarta, Erlangga.
Schwartz, T. 1978, Where Is The Culture? Personality as the Distributive locus of culture. Dalam . D. Spindles, ed., The Making or Psychological Anthropology, Berkeley: University of California Press.