Para ulama berselisih dalam memberikan ukuran sedikit atau banyak dalam soal bergerak ini, ada yang berpendapat bahwa yang disebut banyak ialah sekiranya ada orang yang melihatnya dari jauh, maka ia akan menanyakan tidak dalam bersembahyang dan jika sebaliknya, maka ia disebut bergerak sedikit. Ada pula yang mengatakan, jika pelakunya dikira orang sedang tiada bersembahyang, maka ia katakan banyak. Berkata Nawawi: “Perbuatan yang tidak termasuk dalam pekerjaan shalat, jika banyak maka membatalkan, dan kalau hanya sedikit, maka tidak”.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi s.a.w. bersabda kepada seorang Badui yang tidak menyempurnakan shalatnya.
إِرْجِعْ فَصَلِّى فَإِنَّكَ لَمْ تَصَلِّى
“Kembalilah bersembahyang, sebab engkau belum lagi berarti shalat”.
Semua ulama sama sepakat dalam hal ini, tetapi dalam menentukan ukuran banyak atau sedikitnya, ada empat pendapat. Imam Nawawi memilih yang keempat, katanya: “Adapun yang sah dan mashur ialah mengembalikan soal itu kepada lazim. Jadi yang biasa dianggap sedikit oleh orang banyak seperti memberi isyarat ketika menjawab salam, melepaskan terompah melepaskan serban atau meletakkannya, juga mengenakan pakaian yang ringan atau melepasnya, begitu pula mengambil benda kecil atau meletakkannya , menolak orang lewat hendak di muka atau menggosok lendir di baju dan lain-lain, semua itu tidak membatalkan. Tetapi kalau menurut anggapan orang, pekerjaan itu banyak, seperti banyak melangkah dan berturut-turut atau melakukan perbuatan yang sambung-bersambung, maka itu membatalkan”.
Selanjutnya katanya: “Para sahabat sepakat bahwa bergerak banyak yang membatalkan itu, ialah jika berturut-turut. Jadi kalau berntara, maka tidak seperti melangkah selangkah kemudian berhenti sebentar, lalu melangkah lagi selangkah atau dua langkah, yakni secara terpisah-pisah. Sendainya ini diulang-ulang walaupun sampai seratus langkah atau lebih, maka tidak apa-apa. Adapun gerakan enteng seperti menggerakkan jari buat menghitung tasbih atau disebabkan gatal dan lain-lain, maka tidak membatalkan walaupun dilakukan berturut-turut, dan hukumnya hanya makruh saja. Dan Syafi’i telah menegaskan bahwa seseorang yang menghitung-hitung bacaan ayat dengan cara menggenggamkan tangan, tidaklah batal shalatnya, hanya sebaiknya hal itu ditinggalkan.
Bercakap sekurang-kurangnya terdiri dari dua huruf walaupun tidak mempunyai arti. Begitu juga dengan huruf yang mempunyai arti, seperti “qi” kata kerja perintah dari “waqa” (mentega), tetapi bila suatu huruf tadi tidak mempunyai arti maka tidak membatalkan. Begitu juga suatu yang terdiri dari beberapa huruf tanpa maksud tertentu.
Madzhab Hanafi dan Hambali tidak membedakan hukum batal shalat karena bicara ini, baik pembicaraan itu disengaja atau karena lupa keduanya dianggap batal.
Sedangkan Imamiyah, syafi’i dan Maliki mengatakan: “Shalat tidak batal karena perkataan yang diucapkan karena lupa, kalau hanya sedikit sekiranya bentuk shalat itu tetap terjaga”.
Adapun empat madzhab mengatakan: “Termasuk perkataan yang membatalkan itu adalah membalas ucapan salam seseorang. Kalau seseorang lagi shalat atau ada yang memberi salam kepadanya dan salam orang itu dibalasnya dengan lisannya maka shalatnya menjadi batal, dan tidak batal kalau hanya isyarat”.
Sedangkan Imamiyah mengatakan: “Seseorang yang sedang shalat wajib membalas ucapan salam yang sama kalau sighatnya adalah salam, asalkan salam tersebut bukan selamat bagi atau sejenisnya dan mereka mensyaratkan agar ucapan salam itu harus sama, tanpa perubahan”.
KESIMPULAN
Bergerak banyak dengan sengaja dalam shalat masih diperdebatkan oleh para ulama’. Dan dalam Makalah yang kami susun ini mengambil dari beberapa Madzhab.
Dan mereka berpendapat bahwa bergerak banyak dalam shalat yang mereka kemukakan adalah seperti: Melepas terompah, melepas surban dan lain-lain.
Dan dalam makalah ini kami menyimpulkan dari beberapa madzhab diantaranya (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Imamiyah, Hambali). Mereka bersepakat bahwa bergerak dalam shalat secara disengaja maupun tidak itu tidaklah membatalkan shalat. Namun sebaiknya hla-hal tersebut ditinggalkan untuk mencapai suatu ibadah yang khusuk dan sempurna.