BAB I
PENDAHULUAN
Dalam filsafat Islam, Ghazali dikenal sebagai orang yang pada mulanya ragu terhadap segala-galanya, terutama mengenai beberapa aliran dalam ilmu kalam yang saling bertentangan.sikap Al Ghozali terhadap filosof dapat dipahami melalaui bukunya Tahafut al Falasifah dan Al Munqidz min al Dlalal, al Ghozali menentang filosof-filosof Islam, bahkan mengkafirkan mereka dalam tiga hal yaitu:
1. Pengingkaran kebangkitan jasmani
2. Membataskan ilmu Tuhan pada hal yang besar saja
3. Alam kekal dan tidak bermula (qidam)
Untuk hal yang ketiga, Ghozali tidak setuju karena dinilai bertentangan dengan nash Al Quran, yaitu alam diciptakan atau tidak qadim, karena alam ini diciptakan oleh sang kreator yaitu Tuhan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini akan dibahas tentang pendapat Al Ghozali tentang alam, yang dalam hal ini Ghozali lebih banyak mengomentari pendapat para filosof tentang alam.
BAB II
PEMBAHASAN
PANDANGAN AL GHOZALI TENTANG ALAM
Al Ghozali dipandang sebagai orang yang tidak percaya pada filsafat, bahkan memandang filosof-filosof sebagai ahli al bid’ah yaitu tersesat dalam beberapa pendapat mereka. Didalam kitabnya,”Tahafut al falasifah”, al-Ghozali menyalahkan filosof-filosof dalam pendapat-pendapat mereka, sebagai berikut:
1. Tuhan tidak mempunyai sifat
2. Tuhan mempunyai substansi basit, sederhana dan tidak mempunyai mahiah, hakekat
3. Tuhan tidak mempunyai juz’iat /perincian.
4. Tuhan tidak dapat diberi sifat al jins/ jenis dan fashl
5. Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan.
6. Jiwa planet-planet mengetahui semua juz’iat
7. Hukum alam tidak dapat berubah.
8. Pembangkitan jasmani tidak ada.
9. Alam ini tidak bermula.
10. Alam ini akan kekal
Tiga dari kesepuluh pendapat diatas, menurut Ghozali membawa kepada kekufuran yaitu :
1. Alam kekal dan tidak bermula
2. Tuhan tidak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam
3. Pembangkitan jasmani tidak ada.
Kaum filosof berpegang pada pendapat yang mereka warisi dari orang Yunani, Bahwa alam adalah qadim, ini dengan tegas dinyatakan oleh Aristoteles, dan kurang tegas dinyatakan oleh Plato dan Plotinus. Menurut Plato alam memang Qadim tetapi Tuhanlah yang mengaturnya; sekalipun pada bab lain dari Dialogue-nya ia mengatakan :”Kreator (pencipta yang mengharapkan ide azali, kemudian ia mencipta alam seperti ide itu”. Plotinus lain lagi, ia tidak menampilkan teori ‘penciptaan’, karena teorinya adalah faidh atau shudur (perlimpahan atau timbul), semacam teori Wahdatul Wujud (Pantheisme). .
Pendapat bahwa alam qaadim dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Dalam teologi Islam Tuhan adalah pencipta. Dan yang dimaksud dengan pencipta adalah yang menciptakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilo). Dan kalau alam (dalam arti yang ada selain Tuhan), dikatakan tidak bermula, maka alam bukanlah diciptakan dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta. Dan dalam Al-Quran disebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta segala-galanya. Menurut al-Ghozali tidak ada orang Islam yang menganut faham bahwa alam ini tidak bermula. Dalam ketiga hal tersebut diatas kaum filosof terang-terangan menentang nash al-Quran.
Jawaban dari fihak-fihak filosof terhadap serangan-serangan al Ghozali ini, diberikan oleh Ibn Rusyd dalam bukunya “Tahafut al Tahafut”, (kekacauan dalam kekacauan, “The Incoherence of the Incoherence)
Pendapat bahwa alam ini Qadim dalam arti tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa lampau, hal inilah yang tidak dapat diterima dalam teologi Islam, sebab menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta .yang dimaksud dengan pencipta adalah yang menciptakan sesuatu dari yang tidak ada (creatio ex nihilo) menjadi ada. Kalau alam dalam arti yang ada selain Tuhan, dikatakan qadim, tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dan dengan demikian berarti Tuhan bukanlah Pencipta, sedangkan dalam Al-Quran disebutkan bahwa Tuhan adalah Pencipta segala sesuatu.
Menurut Al Ghozali tidak ada orang Islam yang menganut paham bahwa alam ini tidak bermula, alam haruslah hadist (bermula). Karena itu tidak mengherankan kalau dalam teologi Islam, syahadah laa ilaha illallah bergeser menjadi laa qadiima illallah. Jadi paham adanya yang qadim selain dari Tuhan, bisa membawa kepada:
1. Banyaknya yang qadim, banyaknya Tuhan, yaitu paham syirik, sedangkan syirik adalah dosa besar yang tidak diampuni Tuhan, atau
2. Paham Atheisme , alam yang qadim tidak perlu adanya pencipta.
Jelaslah bahwa kedua paham ini bertentangan dengan ajaran pokok dalam Islam yakni ketauhidan .
Para filosof mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya Tuhan atas alam sama dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (sebab atas akibat), yaitu dari segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman. Berikut ini kami sebutkan alasan-alasan mereka sebagai berikut:
Alasan pertama, tidak mungkin wujud yang hadist (baru), yaitu alam, keluar dari qadim (Tuhan) karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim tersebut sudah ada, sedang alam belum lagi ada.
Tentang mengapa alam belum wujud ,maka hal ini disebabkan pada waktu itu hal-hal (faktor marajjih) yang menyebabkan wujudnya belum lagi ada. Jadi pada waktu tersebut alam ini baru merupakan suatu kemungkinan murni (artinya bisa wujud dan bisa tidak wujud).
Sesudah wahyu tersebut datang , maka alam ini menjadi wujud dan wujud ini disebabkan karena faktor-faktor yang menyebabkan wujudnya.Tetapi timbul pertanyaan, mengapa faktor-faktor tersebut baru timbul pada waktu ini, dan tidak timbul sebelumnya, kalau dikatakan bahwa Tuhan mula-mula tidak berkuasa mengadakan alam, kemudian menjadi berkuasa untuk mengadakannya, maka timbul pula pertanyaan, mengapa kekuasaan itu timbul pada masa tersebut, bukan pada masa sebelumnya.
Atau kalau dikatakan, Tuhan sebelumnya tidak mempunyai tujuan bagi wujudnya alam, kemudian maksud ini timbul, maka pertanyaan yang muncul juga sama, yaitu mengapa tujuan itu muncul.
Atau kalau dikatakan bahwa Tuhan mula-mula tidak menghendaki adanya, maka timbul pertanyaan mengapa kehendak tersebut timbul dan dimana pula timbulnya, apakah pada zatnya ataukah pada selainzat-Nya. Kalau pada zat-Nya tidak mungkin, karena zat Tuhan tidak menjadi tempat perkara yang baru. Timbulnya kehendak Tuhan pada selain Zat-Nya juga tidak mungkin, karena kalau demikian, berarti bukan Dia yang mempunyai kehendak, melainkan zat lain itu.
Al ghozali menjawab dengan keberatannya, kalau dikatakan bahwa iradat (kehendak Tuhan) yang qadim itu menghendaki wujud alam pada waktu diwujudkannya.
Boleh jadi timbul pertanyaan kalau yang dimaksud dengan iradat yang qadim itu seperti niat kita untuk mengadakan sesuatu perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak mungkin terlambat, kecuali karena ada halangan. Sedangkan bagi Tuhan sebagai zat yang mengadakan pembuatan, sudah lengkap syarat-syaratnya dan tidak ada hal yang perlu dinantikan lagi tetapi perbuatannya terlambat juga.
Al Ghozali menjawab, bahwa perkataan tersebut tidak lebih kuat dari pada perkataan mereka yang mempercayai kebaharuan alam karena kehendak yang qodim.
Timbul juga pertanyaan lain yaitu bahwa nilai semua waktu dalam pertaliannya dengan kehendak adalah sama, tetapi mengapa satu waktu dipilih untuk mewujudkan alam, dan waktu yang sebelumnya atau sesudahnya tidak dipilih.
Al Ghozali menjawab bahwa arti kehendak (iradah) ialah yang memungkinkan untuk membedakan sesuatu dari lainnya. Kehendak Tuhan adalah mutlak, artinya bisa memilih suatu waktu tertentu bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena sebab tersebut adalah kehendak-Nya itu sendiri. Kalau masih ditanyakan sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas tidak lagi bebas sedang kehendak itu bersifat bebas mutlak.
Alasan kedua. Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi jaman melainkan dari segi pribadi (tingkatan, dzat) seperti terlebih dahulunya bilangan satu atas dua, atau dari segi kausalitasnya (ke-‘illatan) seperti dahulunya gerakan seseorang atas gerakan bayangannya sedang kedua gerakan tersebut sebenarnya sama-sama mulai atau sama-sama berhentinya, artinya sama dari segi zaman.
Kalau yang disebut dengan terlebih dahulunya Tuhan atas alam ini ialah dari segi zaman maka kelanjutannya ialah :
1. Tuhan dan alam baru kedua-duannya, atau
2. Tuhan dan alam qodim kedua-duanya dan mustahil salah satunya qodim sedang yang lain baru.
Kalau yang dikehendaki dengan perkataan Tuhan lebih dulu daripada alam dan zaman, dari segi zaman, bukan dari segi dzat, maka artinya sebelum wujud alam dan zaman tersebut sudah terdapat suatu zaman dimana ‘adam (tidak ada) murni terdapat didalamnya, sebagai hal yang mendahului wujud alam jadi Tuhan telah mendahului alam dengan suatu massa yang terbatas pada ujungnya yang satu, yaitu dengan adanya alam tetapi tidak terbatas pada ujungnya yang lain karena permulaan wujud Tuhan tidak ada batasnya.
Dengan perkataan lain sebelum terdapat zaman dimana alam wujud, sudah terdapat zaman yang tidak ada ujungnya dan ini adalah suatu perlawanan karena kalau ada batas pada salah satu ujungnya maka harus ada batas pula pada ujungnya yang lain begitupun sebaliknya. Karena alasan-alasan tersebut diatas maka tidak mungkin mengatakan baharunya zaman.
Al Ghozali menjawab dengan perkataan bahwa Tuhan lebih dulu adanya dari pada alam dan zaman, ialah bahwa Tuhan telah ada sendirian, sedang alam belum lagi ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama alam. Dalam keadaan pertama, kita membayangkan adanya Zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua, kita membayangkan dua zat yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu membayangkan ada zat (wujud) yang ketiga yaitu zaman apalagi kalau diingat bahwa apa yang dimaksud dengan zaman ialah gerakan benda (alam) yang berarti sebelum ada benda (alam), sudah barang tentu belum ada zaman.
Alasan ketiga, tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya untuk dapat dikatakan bahwa benda itu baru, jadi yang baru tidak terlepas dari benda dan benda itu sendiri tidak baru, yang baru hanyalah shurrah (form), aradl (sifat-sifat) dan cara-cara atau peristiwa-peristiwa yang mendatangkan kepada benda. Pikiran ini masih perlu dijelaskan. Tiap-tiap yang baru sebelum terjadinya tidak lepas dari tiga sifat: 1. Mungkin bisa wujud, 2. Tidak mungkin bisa wujud, 3. Wajib wujudnya.
Sifat yang kedua tidak bisa dibenarkan karena yang tidak mungkin wujud tidak akan terdapat selamanya, sebab alam ini telah menjadi wujud yang nyata. Sifat yang ketiga juga tidak dapat dibenarkan, karena yang wajib wujudnya tidak akan lenyap sedang alam ini dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya asalnya ada, kemudian tidak ada, dan sebaliknya, jadi kedua sifatnya tersebut diatas tidak mungkin terdapat pada alam, dan oleh karena itu satu-satunya sifat alam ialah bahwa alam itu mungkin wujudnya yang sudah terdapat pada alam sebelum wujudnya.
Akan tetapi mungkin wujud adalah suatu sifat yang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan membutuhkan kepada perkara yang lain sebagai tempatnya yang lain. Tempat tersebut tidak lain adalah materi, sehingga kita dapat mengatakan materi ini mungkin wujud seperti kita mengatakan benda ini bisa panas atau dingin, bisa bergerak atau bisa diam. Artinya terjadinya sifat-sifat tersebut dan terjadinya perubahan tersebut dapat terjadi (mungkin) pada benda.
Al Ghozali menjawab, sifat mungkin yang disebutkan diatas merupakan pekerjaan pikiran (proposisi pikiran). Sesuatu yang dikirakan oleh akal dapat wujud, dan perkiraan ini tidak mustahil, maka sesuatu itu disebut perkara yang mungkin. Kalau perkiraan itu mustahil maka perkara tersebut dinamai perkara yang mustahil. Kalau tidak dapat diperkirakan tidak adanya maka disebut perkara yang wajib (yang mesti dan selamanya ada). Ketiga-tiga perkara tersebut adalah pekerjaan pikiran, untuk dapat disifati dengan sifat-sifat tersebut. Untuk menguatkan ini, Ghozali mengemukakan dua alasan:
1. Kalau sifat-sifat mungkin memerlukan sesuatu wujud, untuk disifatinya. Maka sifat, tidak mungkin wujud juga memerlukan sesuatu perkara, untuk dapat dikatakan bahwa perkara ini tidak mungkin wujud, sedang perkara yang tidak mungkin wujud tidak perlu ada wujudnya atau bendanya yang ditempati sifat tersebut.
2. Akal pikiran memutuskan tentang warna hitam dan putih sebelum wujudnya bahwa kedua warna ini adalah mungkin bisa terjadi. Kalau sifat mungkin ini dipertalikan kepada benda yang ditempati kedua warna tersebut sehingga kita dapat mengatakan benda ini dapat diputihkan atau dihitamkan, maka artinya putih atau hitam itu sendiri tidak mungkin dan tidak mempunyai sifat mungkin, sebab yang mungkin adalah bendanya dan sifat mungkin menjadi sifatnya.
Kalau demikian maka kita akan bertanya, bagaimana kedudukan warna putih atau hitam itu sendiri? apakah mungkin ataukah wajib (mesti wujud), ataukah tidak mungkin?
Tentunya akan dijawab bahwa warna tersebut adalah mungkin. Jadi akal pikiran , ketika mengatakan sifat mungkinnya sesuatu, tidak memerlukan sesuatu zat yang wujud yang bisa ditempati sifat tersebut.
Al-Ghozali menjawab hal dengan mengingatkan kita kepada aliran nominalisme yang mengatakan bahwa soal universalitas (abstrak) hanya terdapat didalam akal pikiran, sedang diluar akal pikiran tidak ada kenyataannya sedang pendirian filosof-filosof yang ditentang al Ghozali mengingatkan kita kepada aliran realisme, yang mengatakan bahwa apa yang terdapat dalam pikiran juga terdapat benar-benar di luar pikiran. Kedua aliran tersebut paling ramai dibicarakan orang, pada akhir masa abad pertengahan di Eropa.
Semua teori tersebut bertentangan dengan dengan Islam yang dengan tegas menetapkan bahwa Tuhan sama sekali berlainan dengan dengan alam dan Maha Tinggi dari segala sesuatu, Islam menegaskan, Tuhanlah yang menciptakan alam ini, dari ketidakadaan, dan Tuhan Maha Kuasa mengganti ciptaan-Nya dengan ciptaan-Nya yang lain, atau mengembalikannya lagi seperti semula
Para filosof Islam saling berbeda pendirian menghadapi teori-teori tersebut. Sebagian dari mereka mengikuti teori Islam yang menetapkan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan, tidak qadim dan tidak azali. Sebagian yang lain berpendapat bahwa alam adalah qadim, tetapi mereka berusaha menafsirkannya dengan penafsiran yang tidak mengingkari kekuasaan Tuhan yang dapat menciptakan segala sesuatu. Sebagian yang lain lagi berpendapat bahwa alam ini merupakan rangkaian kejadian yang berasal dari zat Tuhan melalui ‘pelimpahan’ (faidh)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Filsafat Etika Islam, Mizan, Bandung, 2002
Al Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam , Bulan Bintang, Jakarta,1991
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang , Jakarta, 1991
Leamen, Olivar, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, Rajawali Press, Jakarta, 1989
Nasution, Harun , Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Pt Bulan Bintang,Jakarta, 1995
Nasution, Hasyimiyah, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta,1999