Judul: "Agama Ageming Aji"ditulis oleh Abu Su'ud
Dalam suatu omong-omong kosong, seorang teman bilang, agama itu
ibarat pakaian atau ageman. Karena itu, ya bisa dilepas, bisa digantungkan di
rak baju. Lalu bisa saja disimpan dialmari, untuk sekali waktu dipakai lagi.
Dan kalau pakaian itu tidak lagi cocok dengan badan, atau tidak sesuai lagi
sesuai dengan tren yang berkembang, ya bisa saja dipermak. Saya manthuk-manthuk bisa memahami.
Teman tadi msneruskan, sebagaimana pakaian, kita bisa kemudian
gonta-ganti agama. Saya masih manthuk-manthuk bisa memahami. Dia
memang konsisten dengan pendapatnya, Waktu itu ia baru saja berganti
agama, untuk merigikuti agama calon istri. Keyakinannya tentang agama
memang dilaksanakan benar dalam hidupnya. No problem, karena dalam
hidup sosialnya dia beranggapan bahwa tatanan agama hanya diperlukan
dalam kaitannya dengan Gusti, sementara dalam hidup yang dipakai tatanan
sosial politik antara manusia saja.
Tatanan sosial politik nggak sesuai kalau masih menggunakan tatanan
agama, yang hanya menjadi alat kepentingan agamawan, katanya. Karena itu
kita nggak boleh dong mengatasnamakanTuhan dalam menanggapi salah
tingkah menungsa. Wong Tuhan sendiri nggak rewel, kok menungsa yang
rewel. Saya masih tetap manthuk-manthuk. "Kok mantuk-mantuk melulu sih?"
dia bertanya. "Habis saya harus bagaimana? Sampeankan memiliki hak asasi
untuk berpendapat sesuai dengan pandangan Sampean. Sampeankan lebih
senang mengatasnamakan kemanusiaan, meskipun saya nggak tahu manusia
yang mana?"jawab saya. Lalu kamiketawa ber-haha hihi hoho.
Sebagai lulusan perguruan tinggiyang banyak mengecap ajaran
berbagai filsafat saya selalu memandang kehidupan ini dengan kaca-mata
rasionalisme humanisme. Bahkan ketika sempat memimpin sebuah organisasi
pemuda beragama dalam usia tiga puluhan tahun saya beranggapan sorga dan
neraka itu nggak ada.
Itu cuma cara para agamawan agar manusia bisa hidup rukun
sesamanya- Yang penting kan agar hidup bisa bermanfaat bagi kemanusiaan?
Nampaknya motivasi tentang sorga dan neraka itu berhasil. Tapi hanya bagi
anak-anak. Yang tua-tua sudah nggak mempan amang-amang daniming-imingitu.
Waktu usia memasuki kepala 5, saya merasa makin kolot. Pandangan
hidup saya makin transendental dan emosional. Rasanya nggak adil kalau
setiap perbuatan salah, perbuatan jahat yang bisa saja lolos dari hukuman di
dunia, kok didiamkan tanpa ada hukuman pembalasan di kelak kemudian hari.
Jadinya neraka mutlak harus ada. Demikian juga sorga mutlak harus
ada, karena banyak perbuatan becik ketampik waktu di dunia.
Aneh juga rasanya konversi kejiwaansaya. Kok jadi kebalikan dari
tren yang terjadi pada masa sekarang ini. yang dulu-dulunya
bergelimang dengan spiritualitas, dengan emosionalitas kehidupan beragama
pada masa kecil, mulai merasa jenuh. Lalu menjadi makin rasional dan sepi
dari emosionalitas dan spiritualitas agama. Lalu sangat bersemangat dengan
yang serba rasional dan logika, dan bebas dari "pengaruh luar", seperti tatanan
agama.
Sampai-sampai ini ada yang berpandangan seksualitas manusia itu
urusan individual semata. Keperawanan bukan lagi ukuran moral manusia.
Demikian juga perselingkuhan bukan apa-apa, homoseksualitas dan lesbian
hanyalah sebuah gaya hidup.
Pertanyaan muncul, betulkah semua itu: seks, makan minum,
pergaulan bebas itu hanya urusan ragawi? Apakah kita hanya memandang itu
sekadar sebagai kebutuhan dasar yang ragawi semata? Tidakkah masih tersisa
kebutuhan harga diri manusia, kebutuhan ingin diakui? Dan lebih dari itu
sudah hilangkah kebutuhan akan aktualisasi diri berupa ketulusan pada
penerimaan akan kasih sayang Tuhan yang telah memberikan tatanan hidup
pada umat manusia?
Tuhan pun tidak akan memaksakan hukumnya yang jumlahnya
menurut syariat Taurat. Juga padatatanan moral Kristus, syariat
Qur'ani, bahkan moralitas Konghucu. Salah seorang ustadz pernah
mengatakan bahwa agama itu semata-mata budi pekerti baik. "Khusnul huluq'
atau budi pekerti baik. Begitu sabda seorang Nabi, ketika ditanya "Ma huwa
dien? (Apa itu hakikat agama)? Siapa pun tak ada yang boleh melarang
kalau ada di antara umat manusia yang meragukan tata nilai
yang berupa
agama itu sebagai tata krama sosial bagi seluruh umat manusia. Tuhan pun
mengatakan, "Yang mau percaya, percayalah, yang ingkar ya ingkarlah. "Tapi
tak seorang pun boleh mengatakan bahwa atas nama kemanusiaan tatakrama
agama itu tidak pantas untuk diterapkan dalam kehidupan umat manusia yang
telah mendapat pencerahan.
Kapan pun manusia kan bermacam ragam.
Lalu kalau mereka ada yang memilih tata nilai agama itu diterapkan
dan dikembangkan sebagai bagian daripendidikan bangsa untuk semua
generasi, siapa larang? Dalam pidato"Lahirnya Pancasila", Bung Karno
menekankan, kelompok mana pun boleh berlomba secara demokratis
mengisinya dengan ajaran agama mana pun. Itu hak demokratis untuk
manfaat bersama. Asal dilakukan secara demokratis.
Jadi religiositas setiap pemeluk agama harus dikembangkan secara
spesifik dan unik sesuai semangat konstisusi dan Pancasila. Ibarat dalam
sebuah taman bunga, biarkan mawar berkembang sebagaimana mawar. Juga
melati berkembang sebagaimana melati. Juga anggrek berkembang
sebagaimana layaknya anggrek.
Masing-masing harus disiangi dan dijaga agar
tidak kena benalu.
Hanya bunga potong, bunga plastik dan kembang kertas yang bisa
dibentuk menjadi sebuah karangan bunga pluralisme; Indah tapi tak bernyawa,
karena merupakan hasil rekayasa yang dipaksakan. Biarkan taman bunga itu
berkembang dalam pluralitas sosial. Agama bukanlah hanya bahan kajian ilmu
dan bisa diperbandingkan. Lebih indah kalau agama itu ditelaah, dipahami,
dihayati dan diamalkan sebagai bagian dari keyakinan pemeluknya.
Agama bukan agemanyang bisa dicampakkan kapan saja. Agama
adalah ageman yang bisa membuat pemeluknya makin kajen keringan,
memiliki harkat kemanusiaan tinggi. Begitu konon ajaran Mangkunegara IV
dalam Serat Wedhatama. Sampun. Wassalamu'alaikum Wr Wb.