Judul: "Pilih Aku" ditulis oleh Abu Su'ud
Sungguh mati saya belum tahu gejala yang sesuai dengan jati diri dan
kepribadian Indonesia itu yang mana. Apa yang menonjolkan diri? Apa yang
tawaduk, low profile? Yang malu-malu? Yang pura-pura? Atau yang tampil
lugas, seperti terungkap dalam slogan: Iki jajaku, endi jajamu, rawe-rawe
rantas, malang-malang pulung, ora tinggal glanggang-colong playu? Dulu
kebanyakan anak-anak bangsa ini kalau memberi nama toko atau warung:
Sederhana. Lumayan, Barokah, Sakdrema, Restu Anda, Serasi dan
sebagainya. Lalu warna bangunan pintu, rumah tinggal itu maupun toko
mereka tidak pernah dicet mencolok, paling-paling putih, sawo mateng, merah
bata atau abu-abu. Sekarang kita saksikanantara lain nama-nama seperti Serba
Ada, Mewah, Modern, Ideal, Spesial, Imperial, Global, dan Hebat.
Coba saja
bandingkan.
Yang dulu terasa low profile, yang sekarang cenderung "sombong",
atau paling tidak, percaya diri. Lalubagaimana dengan warna-warni yang
digunakan?
Sekarang kita cenderung berani memilih warna mencolok yang dulu
dibilang ndees. Kombinasi biru, merah, kuning atau hijau, merah, kuning
sudah biasa kita saksikan digunakan di gedung-gedung resmi, toko-toko
maupun perorangan. Bahkan pendapa atau pringgitan. Juga kios tukang rokok
di trotoar. Ini pertanda apa coba? Percaya diri, sombong, atau keterbukaan?
Mari kita cermati gejala berikut.
Sudah selama satu generasi warga masyarakat hanya menjadi penonton
dan pelengkap penderita selama masaOrde Baru.
Anak bangsa menjadi jinja
atau ketakutan untuk tampil. Bahkan untuk mengajukan usul atau saran pun
dalam suatu rapat, hanya berani mengatakan sebagai masukan. Ini terjadi
terutama dalam bidang politik.
Orang sekolahan bilang itu namanya the silent massalias massa yang
bisu. Dan ketika dengan agak was was Amien Rais menyatakan keberanian
menjadi presiden kalau mendapat kepercayaan rakyat,orang bilang: nekat,
kurang deduga, kemaki, kumawani, keladuk, ora njawanidan sebagainya.
Ternyata dampak dari kenekatan ituitu, bermunculan tokoh-tokoh yang dulu
menghujat Amien kecil itu menyatakan kesiapan jadi caton presiden. Ibarat
tembok batu ah, bendungan, Amien Rais itubagai sebiji kerikil yang lepas
dari tembok beton. Lalu terjadilah celah tempat air bisa rembes keluar. Lalu
dhadhallahtembok beton bendungan itu. Ya. lalu yang lain rame-rame bilang
"Amien".
Tiba-tiba saja langit Indonesia jadiriuh rendah dengan suara-suara:
"Pilihlah aku." Bukan sekadar para jago tua yang "pasang iklan" untuk
pencalonan presiden maupun wakil presiden, tapi lebih rendah lagi di
kalangan rumput yang bergoyang maupun yang lebih bawah lagi, akar rumput.
Mereka pasang iklan untuk pencalonan apa saja. Ya gubernur/wakil gubernur,
wali kota/wakil wali kota. Juga bupati/wakil bupati. Tidak ketinggalan pula
dalam bursa calon anggota legislatif.
Banyak di antara mereka belajar pidato.
Sayembara memilih pemimpin lelah dibuka. Lantas banyak kiai di pesantren
disowani untuk mohon berkah, dukungan, atau restu. Nggak ketinggalan para
"wong pinter" membuka praktik untuk konsultasi spiritual bagi para calon
pemimpin bangsa itu.
Oleh sebab mereka nggak punya rupiah cukup untuk biaya memasang
iklan di media massa, ya buka saja blogspot internet. Masih murah lagi kalau
iklan itu digantung saja di pepohonan kota maupun jalan kecamatan.
Dari bibir potret-potret calon di pepohonan atau kain-kain rentang itu
terdengar lantang bak propagandis yang mempromosikan obat kuat di alun-
alun: "Pilihlah aku!" "Pilihlah beta!""Pilih aje gue'""Pilihlah awak". "Pilih
kula mawonAtau "Pilih wae abdi". Nggak ada lagi rasa ewuh pakewuh.
Tak ada lagi rasa canggung. Nggak ada lagi malu-malu. Nggak ada
lagi rasa tawaduk. Tak ada yang salah sih. Zaman keterbukaan kok. Dari dulu
sih sudah ada lagu "Pilihlah Aku'. Tapi itu hanya lagu main-mainan, hanya
lagu seloroh bagi para ibu yang sedang milih-milih calon menantu. Tiba-tiba
anak-anak bangsa jadi suka jual tampang, suka mejeng. Bahkan nyaris suka
pamer. Saya tidak yakin apakah bisa disebut pula gejala itusebagai adigang,
adigung, adiguna.
Seorang peramal mengatakan: "Amenangi jaman pasar bebas... yen tan
melu hukum pasar norak eduman". Nah dalam era pasar bebas itu diperlukan
marketing, promosi, pamer, proaktif atau agresif. Itu namanya laku prihatin
masa kini. Bahkan toh dhuwit dilakoni.
Wah jadi makin yakin saya bahwa yang namanya jati diri maupun
kepribadian itu bukan ciri yang menetap. Sebuah rekayasa maupun
pengalaman hidup yang lama, sebuah imbas perubahan sosial maupun temuan
ilmiah dapat saja mengubah atau menggeser kepribadian maupun jati diri.
Jangan pula diabaikan pengaruh pendidikan yang besar peranannya.
Faktor
lain, itu loyang namanya kepentingan atauinteres: ya harta, ya takhta, ya
wanita, bukan main besar kemampuannya mengubah.
Lihat saja apa yang sedang berkembang dalam kepribadian kita. Dulu
berasas kekeluargaan dan rosialisme kekeluargaan, lantas bergeser ke privat,
sampai berlangsung privatisasi BUMN. Perguruan Tinggi juga bergeser
menuju ke privatisasi dan kapitalisasi.Tadinya tembaga nirlaba, bergeser
menuju tembaga bisnis. Namanya sih Dewan Pelayanan Umum. Namanya
masih pemerintahan presidensial, namun praktiknya bergeser ke parlementer.
Pancasilanya masih berbunyi...Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan bergeser ke kedaulatan
rakyat secara langsung. Bukan namanyabergeser. Ya sudah wong maunya
begitu.
Di jagad ini yang tidak berubah hanyalah perubahan itu sendiri. Jadi ya
pokoknya waton slamet sajalah. Akhirnya, berikut beberapa alternatif untuk
menentukan pilihan. Pilih yang paling kitakenal. Habis semuanya ngaku baik.
Pilih siapa saja sesuai petunjuk Pak Kiai. Pilih siapapun secara acak, wong
kita nggak kenal satu pun calon. Caralain ya nggak usah buang suara
sembarangan, ya nggak pilih siapa-siapa. Wong memang nggak ada yang
cocok. Biarkan kertas itu tetap putih. Masih ada lagi nih, pilih siapapun yang
membayar, ketimbang nagihnya susah kalau sudah kepilih nanti. Ya. Pilihlah
sesuai hati nurani. Jangan pilih karenauang, jangan pilih karena dipaksa.
Pelajari dan pelajari hati nurani, apakahpilihan ini sesuai dengan pilihan yang
sebenarnya, atau hanya ikut-ikutan. Sudah ya, pamit dulu. Wassalamu'alaikum
Wr.Wb.