Kebangkitan ditulis Abdul Djamil
Bangkit adalah kata ideal bagi mereka yang punya mimpi-mimpi
besar, karena mencerminkan kemajuan entah cara berpikir atau tindakan
nyata. Wajarlah kalau di sana sini bertebaran kata kebangkitan mulai dari
"kebangkitan ulama", "kebangkitan bangsa", hingga "kebangkitan ekonomi".
Tanggal 28 Oktober bangsa Indonesia memperingati Sumpah Pemuda yang
berisi kebangkitan semangat kesatuanbangsa, bahasa, dan tanah air.
Ingatkah kita hari itu menjadi tonggak sejarah tekad bangsa untuk
berbangsa, berbahasa dan bertanah Air satu Indonesia? Ingatkah kita bahwa
negara ini berbentuk kepulauan denganlatar belakang suku, agama, tradisi
yang sedemikian majemuk dan rentan terhadap perpecahan? Sadarkah kita sisi
lain dari reformasi acap, menampilkan semangat egoisme yang mengancam
persatuan?
Kalau dulu ada kebangkitan pemuda yang memancangkan Sumpah
Pemuda, saat ini diperlukan sumpah segala lapisan untuk sadar akan ancaman
serius semakin merosotnya bangsa ini di tengah bangsa lain. Sering orang
mengatakan "Semuanya masih dalam proses" ketika melihat demokrasi isinya
hanyalah demonstrasi jalanan yang tak kunjung habis.
Panggung politik isinya
semangat saling serang dan kalau ada yang tidak puas lalu meneriakkan
pentingnya "oposisi" dalam rangka checkand balances.
Sebagai anggota WTO, kapankah komoditas Indonesia itu diminati
oleh negara lain sehingga dapat menggerakkan roda ekonomi dan dunia
usaha? Kapan lagi Indonesia punya wibawa sebagai senior yang selalu
ditunggu "fatwanya" oleh negara-negara anggota ASEAN lain seperti masa
lalu? Kapan lagi ada pemimpin Indonesia yang suaranya lantang di
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian
dunia? Kalau belum ada, setidak-tidaknya orang harus sadar akan adanya
daftar masalah pelik dan segera menyerahkannya kepada mereka yang baru
saja dilantik sebagai menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
Tuhan memang memberi kemampuan macam-macam sehingga ada
yang hanya menjadi pengikut. Namun ada juga yang diberi anugerah berlebih
sebagai penggagas, trend setter dan penemu ide-ide kreatif.
Bangsa ini
sesungguhnya punya mentalitas penggagas,inovator dan pemberani. Anak-anak kita banyak yang menjadi jawara dalam berbagai event internasional.
Namun pada ke mana mereka ituakhirnya? Mahasiswa yang dulu
banyak disekolahkan di luar negeri itudi mana rimbanya kok "nyaris nggak
kelihatan batang hidungnya" dalam mewarnai pembangunan anak negeri ini?
Apakah mereka pada nggak mau pulang lalu berapa jumlahnya dan di
mana saja? Waktu berkunjung ke Arizonadan Pittsburg beberapa tahun yang
lalu saya ketemu beberapa di antara mereka itu yang sudah menetap di AS dan
bekerja pada perusahaan pembuatan pesawat terbang ternama. Lho jangan-jangan ada juga yang nyangkut di negaratetangga yang dulu banyak belajar
dari kita. Apakah masih ada ideologikebangkitan bangsa pada mereka atau
jangan-jangan hanya kebangkitan diri sendiri memperbaiki nasib dan malah
ikut membesarkan negeri orang.
Kabinet SBY-Boediono yang diharapkan bisa menjadi the dream team
agaknya harus bekerja ekstra keras karena ada pihak yang skeptis entah karena
salah tempat atau aroma orang-orang partai lebih kental. Harapan rakyat masih
tetap tak muluk-muluk, yaitu mereka mampu menumbuhkan kesadaran
kolektif untuk bangkit lagi secara sungguh-sungguh bukan sekadar bangkit,
lalu tidur lagi, bangkit lagi, tidur lagi, begitu seterusnya meminjam istilah
Mbah Surip.
Orang sering bertanya keheranan, "Lha saat ini kita sedang bangkit
menuju ke mana kok tiba-tiba kita merasaasing dengan diri sendiri yang dulu
sering diacungi jempol oleh orang asing karena keramahannya?" Ada
ungkapan tega larane ora tega patinesebagai pernyataan sikap empati pada
orang lain saat dirundung penderitaan.
Bersedia menerima jenazah dari orang
paling jahat sekalipun. Isih njawanimudah luluh dan peduli terhadap bencana
yang menimpa orang. Nah tiba-tiba ada orang masih getem-getem terhadap
jenazah dan semangatnya berubah menjadi tega laraneya tega patine seperti
kasus penolakan jenazah tersangka teroris itu. Lha kalau tidak boleh dikubur
di suatu tempat maunya dikubur di mana, wong syariat Islam itu orang mati
harus dikuburkan bukan dibakar atau dilarung ke laut.
Katanya sanksi sosial untuk membersihkan citra desa dari julukan desa
teroris atau semacamnya. Kalaulahjenazah bisa ngomong dia akan
memprotes, "Mengapa saya tidak boleh dikubur di sini wongsaya dilahirkan
di desa ini dan tercatat sebagai warga Negara Indonesia.
Lha kalau nggak boleh di sini tolong carikan tempat lain wong saya
tidak bisa cari sendiri, saya kan jenazah." Apakah ini juga kebangkitan bangsa
menjadi lebih sangar temperamental atau kebangkitan menjadi orang peka
merespons persoalan hingga yang kecil-kecil seperti penguburan jenazah
tersangka teroris itu.
Mungkinkah kita ini kesingsal dari percaturan ekonomi dunia karena
nggak ada yang bisa dijual selain TKI dan gosip jalanan? Saudaraku, sejumlah
persoalan masih mengadang di depan.
Ada kemampuan daya saing yang
masih rendah, ada indeks persepsi korupsi yang masih berkisar di angka
jeblok, ada indeks kemajuan bangsa (Human Development Index) yang masih
nangkring di atas peringkat seratus dan sejumlah persoalan yang perlu
direspons dengan kebangkitan bersama, dari anak ingusan hingga orang-orang
tua yang sedang menikmati masa tua.
Ayo bangkit dan bangkit lagi, enak to asyik to dari pada tidur melulu
takut kalau nggak bisa bangun selama-lamanya. Wallahu a 'lam bissawab.