Perbankan merupakan salah satu lembaga yang mempunyai peran strategis
dalam menyelaraskan, menyerasikan serta menyeimbangkan berbagai unsur
pembangunan. Peran yang strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi
bank sebagai lembaga yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat secara efektif dan efisien, yang dengan berdasarkan asas demokrasi
ekonomi mendukung pelaksanaan pembangunan dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan
taraf hidup rakyat banyak.
Peran lembaga perbankan yang strategis dalam mencapai tujuan
pembangunan nasional, mengakibatkan perlu adanya pembinaan dan pengawasan
yang efektif, sehingga lembaga perbankan di Indonesia mampu berfungsi secara
efisien, sehat, wajar dan mempu melindungi secara baik dana masyarakat yang
dititipkan kepadanya, serta mampu menyalurkan dana masyarakat tersebut ke
bidang-bidang yang produktif bagi sasaran pembangunan.
Perbankan syariah di indonesia
Di Indonesia terdapat dua jenis perbankan, yaitu perbankan yang melakukan
usaha secara konvensional dan bank yang melakukan usaha secara syariah. Bank konvensional dalam masyarakat Indonesia sudah sangat dikenal, yang pada
kegiatan usahanya berdasarkan pada pembayaran bunga dan lebih dahulu muncul
serta berkembang di Indonesia. Sedangkan bank syariah adalah bank yang
menjalankan fungsi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan menurut
jenisnya terdiri dari Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia kini sudah terbukti secara nyata
melalui banyaknya bermunculan institusi keuangan syariah di Indonesia.
Berdasarkan data statistik yang dipublikasikan oleh OJK (Otoritas Jasa
Keuangan) pada November 2014, Indonesia memiliki 12 Bank Umum Syariah
(BUS), 22 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 163 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS). Tabel 1 menunjukkan perkembangan bank syariah di Indonesia.
Maraknya bank syariah di Indonesia, tentu memicu terjadinya persaingan
antar bank. Persaingan itu tidak hanya antara bank konvensional dengan bank
syariah, namun juga merambah antar instansi bank syariah sebagai intitusi yang
memiliki keistimewaan dan market share tersendiri. Keadaan itu tentu menuntut
bank syariah untuk ekstra keras meningkatkan kinerjanya. Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan salah satu bank syariah di Indonesia
yang mendapat perhatian khusus, baik bagi pemerintah maupun masyarakat luas
dengan berbagai macam produk dan jasa yang ditawarkan serta kebijakan yang
dilakukan. Kehadiran BSM sejak tahun 1999 menjadi salah satu bank syariah
terbesar yang membawa angin segar terhadap perekonomian Indonesia. Hal itu
tentu menjadi nilai positif tersendiri bagi Bank Syariah Mandiri (BSM) untuk
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat lebih luas lagi.
Bank Syariah Mandiri (BSM) sebagai salah satu bank syariah dengan market
share terbesar di Indonesia dengan pertumbuhan pangsa pasar tabungan BSM
terhadap tabungan perbankan syariah sebesar 22,69 triliun atau tumbuh 2,64%
dari tahun sebelumnya (annual report 2014).
Perkembangan kantor BSM dari
tahun ketahun juga selalu mengalami peningkatan. Hingga tahun 2014 jumlah
jaringan kantor BSM mencapai 865 unit dengan total jaringan ATM adalah
16.732 unit. Selama tahun 2014 BSM telah meraih beragam penghargaan dari
berbagai lembaga, baik dalam maupun luar negeri. Penghargaan-perngargaan
yang diperoleh BSM tersebut mencerminkan kepercayaan masyarakat tetap kuat
kepada BSM. Beberapa penghargaan yang diraih pada tahun 2014 antara lain
Most Trusted Company Based on Corporate Govermance Preception Index
(CGPI) oleh majalah SWA dan The Indonesian Intitute for Corporate
Govermance, BSM tujuh kali berturut-turut menjuarai Islamic Finance Award, Bank dengan kinerja sangat bagus atas keuangan selama tahun 2013 tahun 2013
dan berbagai penghargaan lainnya (Annual report, 2014).
Memasuki tahun 2014, Bank Syariah Mandiri (BSM) menghadapi tantangan
yang semakin tinggi. Kondisi makro ekonomi Indonesia yang kurang kondusif
berdampak pada bisnis nasabah pembiayaan sehingga keuangan mereka
menurun. Hal itu mengurangi kualitas aktiva Bank Syariah Mandiri (BSM). Per
Desember 2014, rasio pembiayaan bermasalah neto (Non Performing
Fincancing/NPF Nett) menjadi 4,29%, naik dari posisi Desember 2013 sebesar
2,29%.
Penurunan kualitas aktiva produktif tersebut mendorong perseroan menambah
percadangan penghapusan aktiva, sehingga laba pada tahun 2014 mengalami
tekanan. Selain biaya pencadangan, perseroan terpengaruh pembiayaan yang
tumbuh negative 2,63% dan penurunan fee based income (FBI). Penurunan
tersebut terutama akibat masih adanya pemberlakukan Peraturan Pemerintah
mengenai pembiayaan haji.
Pada sisi lain, pesatnya pertumbuhan Bank Syariah Mandiri (BSM) pada
tahun-tahun sebelumnya belum sepenuhnya diiringi kecepatan penyediaan
infrastruktur teknologi informasi (TI) yang optimal dan peningkatan kompetensi
SDM sehingga mempengaruhi produktifitas cabang.
Akibat dari pesatnya
pertumbuhan Bank Syariah Mandiri (BSM) tanpa sepenuhnya diiringi kecepatan
penyediaan infrastruktur, maka selama tiga tahun terakhir BSM mengalami penurunan kinerja. Di sisi lain, laba bersih juga mengalami penurunan signifikan
yaitu 806 miliar (2012), 651 miliar (2013) dan 72 miliar (2014).
Dari internal, Bank Syariah Mandiri (BSM) menghadapi isu operasional
utama yang membutuhkan perbaikan segera. Pertama, tingginya pembiayaan
bermasalah dan fraud. Kedua, lemahnya sanksi dan disiplin terhadap pelaku
fraud. Ketiga, perlambatan pertumbuhan bisnis telah menggerus pangsa pasar
BSM. Keempat, pengembangan sumber daya manusia, teknologi informasi, dan
produktifitas cabang belum optimal. Kelima, komunikasi internal belum efektif
(annual report, 2014).
Menurunnya kinerja perbankan syariah di Indonesia, tentu harus segera
diperbaiki kinerjanya.
Menurut Badoui dan Manosur (2003), selama ini bank
syariah di Indonesia masih berfokus pada pemegang saham dan belum
memberikan manfaat besar bagi pihak luar. Padahal industri perbankan
merupakan industri yang mengandalkan kepercayaan, semakin baik kinerja dari
sebuah bank maka bank tersebut akan memperoleh kepercayaan yang lebih tinggi
dari pada bank yang memiliki kinerja kurang baik. Kinerja perbankan yang baik
dilihat dari kinerja keuangan yang baik. Sehingga perlu dilakukan penilaian
kinerja perbankan secara berkala.
Penilaian kinerja perbankan dimaksudkan untuk menilai keberhasilan
manajemen di dalam mengelola suatu badan usaha. Kinerja perbankan merupakan
gambaran prestasi yang dicapai bank dalam aspek keuangan, pemasaran, penghimpunan dana dan penyaluran dana. Penilaian itu penting dilakukan karena
dapat menganalisis dan mengetahui sejauh mana pelaksanaan kegiatan dalam arah
pencapaian visi perbankan (Mulyadi, 2003).
Penilaian kinerja perbankan akan
membuat manajer berusaha memperbaiki kinerja dimasa mendatang.
Jika selama ini pengukuran kinerja perbankan syariah di Indonesia hanya
fokus pada perhitungan rasio keuangan konvensional seperti CAMELS (Capital,
Asset, Management, Earning, Liquidity, Sensivity of Market Risk) dan EVA
(Economic Value Added) maka ukuran tersebut memiliki beberapa kelemahan
(Yuwono, 2004). Pertama, dengan menjadikan rasio keuangan sebagai penentu
utama dari kinerja suatu perbankan syariah membuat manajer bertindak secara
jangka pendek dan mengabaikan rencana jangka panjang. Kedua, mengabaikan
aspek pengukuran non-keuangan dan asset tetap, akan memberikan pandangan
yang keliru terhadap manajer perusahaan pada saat ini bahkan juga di masa
depan. Ketiga, kinerja keuangan hanya didasarkan pada kinerja masa lalu,
sehingga tidak mampu membawa perusahaan untuk mencapai tujuannya dapat
terwujud.
Kinerja bank syariah selain dapat diukur dari segi keuangan dengan metode
konvensional, pengukuran kinerja bank syariah juga harus diukur dari aspek
tujuan syariah (maqashid sharia). Menurut Capra (2001), untuk dapat mencapai
maqashid sharia, sebuah bank harus mampu melakukan penjagaan terhadap al-
aql (pikiran), addien (agama), nafs (jiwa), nasl (keturunan) dan maal (harta). Mengacu pada pendapat tersebut maka diperlukan sebuah alat ukur yang
sesuai dengan prinsip dan tujuan bank syariah yang dapat memberikan evaluasi
sejauh mana bank syariah dapat menunjukkan kinerjanya. Tidak hanya pada
aspek keuangan saja, namun bank syariah harus mampu mencapai aspek
maqashid sharia (Mohammed dan Taib, 2009).
Maqashid sharia adalah peraturan yang terdiri dari petunjuk dan larangan
yang diberikan Allah kepada umat manusia. Hal ini dapat didefinisikan sebagai
kumpulan etika-etika yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Dari segi
bahasa, maqashid sharia mempunyai tujuan atau kumpulan hukum islam. Bedoi
dan Mansour (2003) menyatakan ruang lingkup maqashid sharia mencakup
semua aspek kehidupan yang terkait dengan sosial, personal, ekonomi dan
intelektual.
Penggunaan konsep maqashid sharia dalam konteks kinerja bank syariah
dinilai penting karena sebagian besar bank syariah menggunakan rasio-rasio
keuangan yang berasal dari bank konvensional sehingga tidak memberikan
evaluasi pada semua dimensi yang dimiliki oleh bank syariah.
Penelitian yang
dilakukan oleh Naviq (2000) menggunakan rasio keuangan konvensional. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bank syariah kurang efisien daripada bank
konvensional. Menurut Badoui dan Mansour (2013) menilai hal ini terjadi karena
langkah-langkah dalam mengukur efisiensi bank syariah hanya hanya
mencerminkan dimensi keuangan saja dan pengukuran yang sama dengan bank konvensional tidak masuk akal karena sifat kedua bank berbeda. Dalam hal ini
penilaian kinerja bank syariah harus menggunakan konsep maqashid sharia
sesuai dengan tujuan utama bank syariah.
Muhammed, Dzuljastri dan Taib (2008), merumuskan sebuah pengukuran
yang berguna bagi penilaian kinerja perbankan syariah yang sesuai dengan tujuan
berdasarkan prinsip-prinsip maqashid sharia dengan tujuan agar ada sebuah
pengukuran bagi bank syariah yang sesuai dengan tujuan bank syariah. Penelitian
tersebut menghasilkan sebuah pengukuran kinerja bank keuangan bank syariah
dengan menggunakan sepuluh rasio yang disebut maqashid sharia index.
Upaya untuk mengembangkan maqashid sharia index sebagai sebuah alat
ukur kinerja perbankan syariah juga dilakukan oleh Antonio, Sanrego dan Taufiq
(2009), Mughess (2008) dan Hammed, Alrazi, Nazli dan Pramono (2004).
Hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa maqashid sharia index bisa menjadi
alternatif penting yang dapat mengukur seberapa baik kinerja perbankan dan
hasilnya dapat diimplementasikan dalam bentuk strategi komprehensif. Dengan
menggunakan maqashid sharia index kinerja perbankan akan lebih terukur
dengan benar dan tidak hanya dari aspek ekonomi namun dapat mengukur kinerja
perbankan terkait aspek lingkungan dan sosial.
Maqashid sharia index dikembangkan berdasarkan tiga faktor utama yaitu
pendidikan individu, penegakkan keadilan, dan pencapaian kesejahteraan dimana
tiga faktor tersebut sesuai dengan tujuan umum maqashid sharia yaitu “mencapai kesejahteraan dan menghindari keburukan”. Penilaian kinerja menggunakan
maqashid sharia index itu bersifat universal yang seharusnya menjadi tujuan dan
dasar operasional setiap entitas berakuntabilitas publik seperti halnya Bank
Syariah Mandiri (BSM).
Kinerja perbankan syariah, seperti Bank Syariah Mandiri misalnya yang
selama ini masih banyak diteliti menggunakan rasio keuangan konvensional perlu
dilakukan evaluasi terkait tujuan mereka agar sesuai dengan maqashid sharia.