Pandangan Islam Tentang Kemiskinan - Dari bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata “sakana” yang berarti “diam atau tenang”. Sedangkan kata fakir barasal dari kata “Faqr” yang pada mulanya berarti “tulang punggung”. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga mematahkan tulang punggungnya.
Dalam bukunya Quraisy Shihab yang berjudul Wawasan al-Qur’an pengertian fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedang miskin adalah orang yang berpenghasilan diatas itu, namun tidak cukup untuk menutupi kabutuhan pokoknya. Ada juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin.
Al-Qur’an dan Hadits tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran orang miskin / kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah. Namun yang pasti al-Qur’an menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin yang harus dibantu. Firman Allah:
Artinya: Adakah engkau perhatikan orang yang mendustakan agama? Itulah (orang) yang mengusir anak yatim piatu. Dan tidak manganjurkan untuk memberi makan kepada orang miskin.(QS. Al-Ma’un; 1-3)
Berkenaan dengan orang miskin, Al-Qur’an biasa menghubungkannya dengan memberikan makanan kepada mereka dan itu dipandang sangat perlu, bahkan menjadikan bukti bahwa orang itu membenarkan ajaran agama. Orang-orang yang tidak menganjurkan supaya memberikan makanan kepada orang miskin, mereka dimasukkan dalam golongan orang yang mendustakan agama. Mendustakan ajaran agama dalam perbuatan, walaupun membenarkan dalam hati.
Jalan dan cara untuk membantu orang miskin, dengan perkataan lain memberi makan kaum miskin atau menyediakan berbagai sumber untuk itu, disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an surat (Ad-Dahr: 8), (Al-Hasyr: 7), (An-Nisa: 8, 36), (Al-Baqarah: 83, 215, 184), (Al-Balad: 11-16) (Al-Haqqah: 30-34), (Al-Muddassir: 42-44).
|
Kemiskinan Menurut Islam |
Suatu ukuran yang pasti untuk menentukan batas kemiskinan tidaklah mudah, tetapi dibawah ini akan dijelaskan beberapa pendapat para fuqaha madzhab, seperti madzhab Maliki, Safi’i, dan Hambali mendefinisikan miskin ialah:“Orang yang masih mampu berusaha memperoleh harta secara halal, tetapi hasilnya tidak mencukupi bagi dirinya dan keluarganya”
Sedangkan golongan Hanafi mendefinisikan miskin ialah: “Yang tidak memiliki sesuatu (harta/tenaga)”.
Berdasarkan gambaran batasan fakir miskin diatas, maka kedua sifat yang melekat pada dua terminologi itu disebut kemiskinan (al-miskin). Al-Thabathaba’i, menafsirkan kata fakir mempunyai pengertian lebih umum bagi orang yang tidak memiliki harta, termasuk di dalamnya miskin. Lebih dipopulerkannya terminologi miskin dari fakir, karena secara kuantitas orang yang berstatus miskin lebih banyak dari yang fakir, yang pasti keduanya serba kekurangan.
Di antara ulama madzhab sendiri terdapat perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mengenai definisi miskin dan faqir tersebut. Menurut Imam Syafi’i orang faqir ialah yang tidak mempunyai harta dan tidak mempunyai mata pencaharian. Dan orang miskin ialah yang mempunyai harta atau mata pencaharian tetapi di bawah kecukupan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, orang miskin ialah orang yang menurut Imam Syafi’i disebut faqir. Dan orang faqir menurut Abu Hanifah ialah orang yang disebut miskin oleh Syafi’i.
Sementara menurut para ilmuwan / cendikiawan muslim kontemporer lainnya mendefinisikan
kemiskinan sebagai berilut: Menurut Nabil Ath-Thawil, kemiskinan adalah tiadanya kemampuan untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan pokok. Kebutuhan-kebutuhan itu dianggap pokok, karena ia menyediakan batas kecukupan minimum untuk hidup manusia yang laik dengan tingkatan kemuliaan yang dilimpahkan Allah atas dirinya.
Dari definisi kemiskinan tersebut, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya yang disebut degan miskin ialah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar atau pokok bagi suatu tingkat kehidupan yang layak menurut ukuran yang umum berlaku pada masyarakat setempat.
Pandangan ajaran Islam mengenai kemiskinan terjalin erat dalam suatu sistem ajaran dengan berbagai aspeknya tentang tatanan kehidupan Islami yang di gariskan dalam al-Qur’an dan Hadits serta inspirasi atau tauladan dari sejarah kehidupan para Nabi dan Rasul serta para Khulafaur Rasyidin dan penerusnya. Dalam beberapa literatur, pada umumnya uraian kemiskinan merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu kajian mengenai “sistem ekonomi” dalam Islam yang meliputi uraian tentang harta, perdagangan, jual beli, keadilan, kekayaan dan kemiskinan beserta sebab dan akibatnya serta cara-cara penanggulangannya.
Menurut Islam adanya perbedaan dalam perolehan hasil kerja yang tercermin dalam kehidupan kaya dan miskin diakui sebagai salah satu ketentuan dan rahmat dari Allah (al-Zukhruf, ayat 32).
“Karena harta benda itu merupakan alat (perantara) untuk menuju kepada kebaikan dan guna mempermudah kemanfaatan seluruh manusia, maka manusia di wajibkan berusaha dengan giat dalam mencari dan menghasilkan harta” seperti di katakan oleh Muhammad al-Buraey bahwa beberapa ayat al-Qur’an mendorong kerja keras dan mengatasi fatalisme serta kemandegan (Q.S. 9: 105;23;15;18;30;110). Kata amal, yang diartikan bekerja, muncul (dalam berbagai bentuk) lebih dari 350 kata dalam al-Qur’an. Demikian juga kitab-kitab Hadits penuh dengan ucapan dan perbuatan rasul yang berkaitan dengan kerja produktif. Diantaranya seperti: “Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang mempunyai pekerjaan (profesi) sehinggatidak merepotkan orang lain,” dan “Allah mencintai pekerja yang beriman yang berkecukupan hidupnya.” Dan oleh karena itu “Islam melarang pemeluknya untuk mengemis dan menyuruh untuk berusaha sendiri mencari nafkah. Seperti sabda Nabi, “Bahwa tangan diatas lebih baik dari tangan yang di bawah (HR. Bukhori).
Dari uraian diatas maka jelas bahwa pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus menjadi salah satu tujuan ekonomi masyarakat Islam, karena hal itu merupakan manifestasi dari usaha yang terus menerus, untuk memanfaatkan sumber-sumber daya yang disediakan Allah untuk kepentingan dan peningkatan hidup manusia. Sebaliknya, kemiskinan dalam pandangan Islam di lihat sebagai suatu kelemahan, ketidakberdayaan yang dapat menurunkan martabat kehormatan manusia yang harus di atasi. Bahkan Assiba’i menyebutkan sebagai penyakit masyarakat, karena kemiskinan dapat mendekatkan orang kepada kekufuran, sebagaimana sabda Rasulullah: “Kefakiran (kemiskinan) itu mendekatkan pada kekufuran (kekafiran).” (HR. Muttafaq Alaih).
Karena kemiskinan merupakan suatu penderitaan dalam serba kekurangan, maka Allah mengingatkan bahwa hal itu merupakan salah satu cobaan dari Allah. Sebagaimana Firman-Nya: Artinya : “Dan sesungguhnya Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kalaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (al-Baqarah; 155).
Mengenai sebab-sebab timbulnya kemiskinan, Ali Yafie menguraikan dari kesimpulan Hadits Nabi, berupa doa,”….Aku mohon supaya Engkau (Tuhan) melindungi aku dari kelemahan, kemalasan, katakutan, kepelitan, ketindihan hutang dan diperas atau dikuasai semua manusia”.