Wahyu adalah sabda Tuhan yang mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnua baik di dunia maupun akhirat. Dalam Islam wahyu atau sabda yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.
Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan nabi-nabi, diberikan oleh Al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang Telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (An-Nahl (16) : 102)
Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.
Ayat-ayat di atas dengan jelas menggambarkan bahwa firman Tuhan sampai kepada Nabi SAW, melalui Jibril utusan Tuhan. Jadi, bukan melalui ilham ataupun di belakang tabir. Sebagai telah digambarkan di atas dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateri dan manusia yang bersifat materi.
|
Wahyu Al-Qur'an |
Sebagai telah disebut wahyu yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui Jibril mengambil bentuk Al-Qur’an. Al-Qur’an mengandung sabda Tuhan dan wahyu, sebagai disebut salah satu ayat di atas, diturunkan dalam bahasa Arab.
Ayat tentang kejadian atau kosmos, dalam Al-Qur’an disebut bahwa kosmos ini penuh dengan tanda-tanda yang harus diperhatikan, diteliti dan difikirkan manusia, untuk mengetahui rahasia yang terletak dibelakang tanda-tanda itu. Semua bentuk ayat-ayat yang dijelaskan di atas, ada ayat-ayat yang berisikan sebutan ulu al-albab, ulu al-‘ilm, ulu al-absar, ulu al-nuha, dan ayat kauniah, mengandung anjuran, dorongan bahkan perintah agar manusia banyak berfikir dan mempergunakan akalnya. Selain dalam Al-Qur’an, disinggung juga akal dan wahyu dalam hadis, bahwa hadis sebagai sumber kedua dari ajaran-ajaran Islam yang sejalan dengan Al-Qur’an. Hadis memberi kedudukan yang tinggi pada akal.
“Sesungguhnya Allah SWT tidak mematikan suatu ilmu dengan mencabutnya (ilmu) dari hambanya, akan tetapi Allah mematikan suatu ilmu dengan mematikan para ulama’ sehingga tidak bersisapun seorang alim. Lantas para manusia mengangkat atau menjadikan orang-orang bodoh menjadi pemimpin, dan ketika mereka di tanya suatu permasalahan, mereka berfatwa dengan tanpa ilmu atau pengetahuan, sehinggamereka sesat dan menyesatkan”. Betapa tingginya kedudukan akal dalam ajaran Islam dapat dilihat dalam QS.Shaad (38): 29:
Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.
Tidak semua kebaikan dan kejahatan dapat diketahui akal. Akal, kata Ibn Abi Hasyim, seorang tokoh Mu’tazilah lain, mengetahui kewajiban menjauhi perbuatan-perbuatan yang membawa kemudaratan, tetapi ada perbuatan-perbuatan yang membawa kemudaratan, tetapi ada perbuatan-perbuatan yang tak dapat dketahui akal apakah membawa kebaikan atau kejahatan. Dalam hal demikian wahyulah yang menentukan buruk atau baiknya perbuatan bersangkutan. Umpamanya akal mengatakan bahwa memotong binatang adalah perbuatan tidak baik. Tetapi wahyu turun menjelaskan bahwa menyembelih binatang untuk keperluan-keperluan tertentu, seperti memperingati peristiwa keagamaan bersejarah, memperkuat tali persaudaraan dengan tetangga dan menunjukkan rasa kasih sayang kepada fakir miskin, adalah baik. Sejalan dengan pendapat kaum Mu’tazilah, mereka mengadakan perbedaan perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut pendapat akal, perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut wahyu. Juga mereka berpendapat kewajiban yang ditentukan akal dan kewajiban yang ditentukan oleh wahyu.
Wahyu turun juga untuk memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat kelak. Al-Qodi ‘Abd Al-Jabbar menegaskan bahwa akal tidak dapat mengetahui besar kecilnya pahala di surga dan hukuman di neraka nanti. Menurut Al-Jubba’i wahyulah yang menjelaskan semua itu.
Wahyu datang memperkuat apa yang telah diketahui akal. Rasul-rasul datang untuk memperkuat apa yang telah ditempatkan Tuhan dalam akal kita dan untuk menerangkan perincian apa yang telah diketahui akal.
Jelas kiranya bahwa kaum Mu’tazilah, sunggguhpun mereka memberi daya yang kuat kepada akal, tidak membelakangkan wahyu, tetapi tetap berpegang dan berhajat pada wahyu.