Kemiskinan tidak hanya pada persoalan ekonomi belaka, tetapi bersifat multidimensional karena dalam kenyataannya berurusan juga dengan persoalan-persoalan non ekonomi. Karenasifat tersebut maka kemiskinan disamping berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan sosial juga maslah kualitas sumber daya manusia.
Kemiskinan berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Kemiskinan muncul karena sumber daya manusia tidak berkualitas, demikian pula sebaliknya. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia mengandung upaya menghapuskan kemiskinan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak mungkin dapat dicapai bila penduduk masih dibelenggu kemiskinan. Oleh karena itu, dalam pengembangan sumber daya manusia salah satu program yang harus dilaksanakan adalah mengurangi dan menghapuskan kemiskinan.
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa tidaklah mudah untuk membangun pengertian kemiskinan karena menyangkut berbagai macam dimensi. Dimensi kemiskinan dapat diidentifikasi menurut ekonomi, sosial dan politik. Oleh karena itu dibawah ini akan dijelaskan dimensi kemiskinan yang berkaitan dengan ketiga faktor tersebut.
|
Macam-macam Dimensi Kemiskinan |
a. Kemiskinan ekonomi
Dimensi ini menjelma dalam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material, yaitu sandang,pangan, papan, kesehatan dan lain-lain. Dimensi ini dapat diukur dalam rupiah meskipun harganya akan selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung dari tingkat inflasi rupiah itu sendiri.
Berdasarkan pengertian sumber daya itu akan muncul berbagai macam kemiskinan. Namun, kemiskinan yang perlu mendapat perhatian adalah kemiskinan yang berkaitan dengan sumber daya penting yang menentukan kesejahteraan masa datang dari pada saat ini. Sumber daya yang perlu mendapat perhatian adalah sumber daya alam dan manusia (keahlian, kemampuan memimpin, inisiatif dan sebagainya). Perlu dicatat bahwa ini tidak sama dengan indikator umum kualitas sumber daya manusia seperti tingkat pendidikan. Jadi, kemiskinan sumber daya menyangkut kekurangan sumber daya yang di butuhkan untuk konsumsi dan produksi.
Menurut pengertian itu kemiskinan sekelompok orang dikaitkan dengan pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan hanya mengacu pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum untuk hidup layak. Bila pendapatan seseorang atau keluarga tidak memenuhi kebutuhan minimum, maka orang atau keluarga itu dapat dikategorikan miskin.
Tingkat pendapatan atau kebutuhan minimum merupakan garis batas antara miskin dan tidak miskin. Garis pembatasan antara miskin dan tidak miskin disebut garis kemiskinan. Tingkat pendapatan seseorang sangat mungkin telah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi bila dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu masih rendah atau di bawah kebutuhan fisik minimum, maka orang atau keluarga itu tergolong miskin. Kemiskinan menurut konsep ini ditentukan oleh perkembangan kebutuhan masyarakat karena kebutuhan masyarakat tidak hanya kebutuhan fisik tetapi ada kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Jadi menurut konsep ini kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kebutuhan dasar manusia sesuai dengan kebutuhan saat itu.
b. Kemiskinan Sosial
Kemiskinan sosial dapat diartikan sebagai kekurangan jaringan sosial dan struktur sosial yang dapat mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan agar produksivitas seseorang meningkat. Dapat juga dikatakan bahwa kemiskinan sosial adalah kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia. Faktor-faktor penghambat dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat mencegah seseorang memanfaatkan kesempatan yang ada. Kemiskinan tipe ini dapat juga disebut sebagai kemiskinan struktural. Dengan kata lain, kemiskinan ini muncul sebagai akibat adanya hambatan-hambatan struktural. Jadi kemiskinan ini bukan karena seseorang malas bekerja atau tidak mampu bekerja. Alfian merumuskan bahwa “kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.” Kemiskinan struktur meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya, bahkan termasuk kekurangan perlindungan dari hukum dan pemerintah.
Kedua, faktor-faktor penghambat yang datang dari dalam diri seseorang atau sekelompok orang, misalnya rendahnya tingkat pendidikan atau karena adanya hambatan budaya. Kemiskinan ini dapat muncul sebagai akibat nilai-nilai dan kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Lewis menggambarkan bahwa kemiskinan ini muncul karena sekelompok masyarakat tidak terintegrasi dengan masyarakat luas, apatis, cenderung menyerah pada nasib, tingkat pendidikan rendah, serta tidak mempunyai daya juang dan kemampuan untuk memikirkan masa depan. Kriminalitas dan kekerasan menyertai kehidupan sehari-hari. Keadaan yang demikian muncul karena lingkungan atau budaya masyarakat itu sendiri dan keadaan itu cenderung diturunkan dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, kemiskinan sosial tipe ini dapat dikatakan sebagai akibat adanya kebudayaan kemiskinan.
Faktor mana yang tampak dominan dalam menyumbang kemiskinan. Meskipun kebudayaan kemiskinan mempunyai andil sebagai penyebab kemiskinan, tidak sepenuhnya dapat untuk menjelaskan penyebab kemiskinan. Baker berpendapat bahwa konsep kebudayaan kemiskinan itu sangat normative dan merupakan kecurigaan dan prasangka buruk golongan atas terhadap golongan miskin. Kelemahan lain yang perlu disebutkan adalah konsep itu terlalu membesar-besarkan kemapanan kemiskinan. Namun, bukti empiris mengungkapkan bahwa kaum miskin, terutama di kota, bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan motivasi untuk memperbaiki nasib. Mereka mampu menciptakan pekerjaan sendiri serta bekerja keras untuk memenuhi tuntutan hidup mereka. Disamping itu, setiap saat berusaha memperbaiki nasib dengan cara beralih dari satu ke usaha lain dan tidak mengenal putus asa. Upaya ini dapat di pandang sebagai kiat kaum miskin untuk berusaha keluar dari kemelut kemiskinan.
Dalam bidang ekonomi, kaum miskin di kota mempunyai andil dalam menopang kehidupan kota. Melalui kegiatan kecil-kecilan dan mandiri di bidang ekonomi yang sering disebut informal mereka memberikan peluang bagi masyarakat elit kota untuk menikmati pelayanan dan jasa murah, baik dibidang angkutan maupun jasa lainnya. Ini mengisaratkan bahwa penduduk miskin di kota secara ekonomi terintegrasi dengan masyarakat luas kota, meskipun integrasi itu cenderung menghalangi perkembangan ekonomi mereka yang pada gilirannya memapankan kemiskinan.
Kaum miskin pasrah pada keadaannya karena kemiskinan yang kronis itulah mereka mudah ditaklukkan dan dikelola untuk mengikuti kepentingan golongan elit berkuasa, terutama golongan orang-orang kaya di kota. Mereka bersifat individualistis, tidak bisa mengenal satu sama lain, masing-masing tidak mengenal kesulitan yang menimpa tetangganya dan merasa tidak berguna untuk mengetahui kesulitan orang lain.
Dengan demikian dapat diajukan kesimpulan bahwa kemiskinan tidak semata-mata muncul karena kebudayaan, tetapi lebih terkait dengan tatanan ekonomi dan sosial yang membatasi peluang kaum miskin untuk keluar dari belenggu kemiskinan.
c. Kemiskinan Politik
Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, sehingga menduduki struktur sosial yang paling bawah. Ada asumsi yang menegaskan bahwa orang yag miskin secara politik akan berakibat pula miskin dalam bidang ekonomi.
Kemiskinan politik menekankan pada derajat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan yang dimaksud mencakup tatanan sistem sosial (politik) yang dapat menentukan alokasi sumber daya untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial yang menentukan alokasi penggunaan sumber daya. Cara mendapatkan akses itu dapat melalui sistem politik formal, kontak-kontak informal dengan struktur kekuasaan, dengan mempunyai pengaruh pada kekuasaan ekonomi. Namun aspek-aspek itu tidak begitu penting dalam menilai kemiskinan politik. Hal yang perlu diperhatikan adalah (1) bagaima sekelompok orang dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam masyarakat itu, (2) bagaimana sekelompok orang dapat turut dan ambil bagian dalam pengambilan keputusan penggunaan sumber daya yang ada, (3) kemampuan ikut serta dalam membentuk keleluasaaan dalam masyarakat yang akan dilaksanakan dan ditaati oleh pemerintah. sekelompok orang atau seseorang dapat digolongkan sebagai kemiskinan politik bila 3 hal tersebut tidak dimiliki oleh mereka.
Ditemui kesulitan untuk mengukur kemiskinan politik. Ada yang berpendapat bahwa kemiskinan politik dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Semakin besar proporsi penduduk usia pemilih yang memilih atau menggunakan hak suaranya dalam pemilihan umum dapat dikatakan partisipasi politik masyarakat tinggi. Namun, ada yang berpendapat kemiskinan politik tidak cukup bila hanya mengandalkan pada ukuran proporsi pemilih dalam pemilihan umum. Ukuran itu belum mencerminkan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Belum tentu hak-hak politik masyarakat dapat ditampung seluruhnya melalui pemilihan umum.
Linden Field berpendapat bahwa status ekonomi yang rendah menyebabkan seseorang merasa teraliensi dari kehidupan politik dan orang yang bersangkutanpun akan menjadi apatis. Hal ini tidak terjadi pada orang yang memiliki kemampuan ekonomi. Yang akhirnya terjadi kemiskinan politik, karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik dan tidak memiliki kekuatan politik yang akhirnya mereka menduduki struktur sosial yang paling bawah.
Dimensi-dimensi kemiskinan ini pada hakikatnya merupakan gambaran bahwa kemiskinan bukan hanya dalam pengertian ekonomi saja. Untuk itu program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan ekonomi tetapi memperhatikan dimensi yang lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat prioritas, namun bersamaan dengan itu seyogyanya juga mengejar target mengatasi kemiskinan non-ekonomi. Ini sejalan dengan pergeseran strategi pembangunan nasional, bahwa yang dikejar bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi tetapi juga pembangunan kualitas manusia seutuhnya (sosial, budaya, politik dan ekonomi).