Kemiskinan dan Agama - Untuk melihat peran atau fungsi agama dalam menghadapi masalah kemiskinan, tidak bisa dipisahkan dari peran agama dalam seluruh sektor kehidupan manusia. Selain kemiskinan itu sendiri hanya merupakan salah satu bagian dari permasalahan kemanusiaan dalam kehidupan manusia yang berkaitan erat dengan masalah-masalah lainnya, agama itu sendiri tidak bisa dilihat secara terpisah dari perannya yang mengatur seluruh gerak aktivitas kehidupan manusia (pemeluknya).
Pada dasarnya, agama berperan sebagai pedoman hidup bagi manusia yang akan menghantarkannya kejalan “keselamatan” di dunia kini dan di akhirat kelak. Karena itu agama merupakan suatu sistem yang total, meliputi seluruh kehidupan manusia. Karena itu pula maka agama akan senantiasa mempertautkan dirinya dengan semua persoalan kemanusiaan yang dihadapi manusia. Dengan demikian, setiap tantangan masalah kemanusiaan yang selalu dihadapi manusia, adalah juga merupakan tantangan bagi agama untuk tidak terpanggil dan dituntut aktif dalam menghadapi masalah kemanusiaan yang selalu dihadapi manusia.
Selanjutnya jika keselamatan merupakan tujuan dari agama, maka agama mendorong dan membenarkan pada usaha-usaha yang dijalankan untuk mempertahankan, mencapai dan mengembangkan keselamatan. Diantara upaya kearah keselamatan tersebut adalah juga berarti membebaskan manusia dari berbagai masalah kemanusiaan, seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ketertindasan dan lain sebagainya. Adanya tujuan kearah pemecahan masalah kemanusiaan itu merupakan kekuatan serta kontribusi agama seperti tercantum dalam nilai-nilai ajaran yang dikandung dalam kitab suci agama masing-masing, sebagai amanat yang bersifat mutlak dari Sang Pencipta untuk diwujudkan dalam kehidupan.
Selanjutnya, peran agama dalam menghadapi kemiskinan juga dapat dilihat dari perannya dalam proses pembangunan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang juga berarti menanggulangi masalah kemiskinan. Diantara peran agama dalam pembangunan, menurut Mukti Ali adalah sebagai; faktor motivatif, kreatif, sublimatif, dan integratif.
|
Kemiskinan |
Faktor motivatif adalah yang mendorong, mendasari dan melandasi cita-cita serata amal perbuatan manusiadalam seluruh aspek kehidupannya. Ia merupakan syarat mutlak untuk tiap usaha yang ingin dilakukan secara bertanggung jawab. Tanpa motivasi yang jelas orang akan bekerja untung-untungan, asal jadi dan tak bergairah serta akan mudah menjadi oportunis. Dan faktor kreatif adalah yang mendorong manusia, bukan hanya untuk melakukan kerja produktif saja, melainkan juga karya kreatif dan baru.
Sedangkan faktor sublimatif adalah mengkuduskan segala perbuatan manusia, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat keduaniaan. Dengan dasar dan sikap batin itu kehidupan manusia mempunyai makna dan nilai luhur sebagai ibadat kepada Tuhan. Kemudian dengan fungsi sebagai faktor integratif, agama dapat memadukan segenap kegiatan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggauta masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga terhindar dari bencana “kepribadian yang pecah” dan mampu menghadapi tantangan serta resiko kehidupan.
Peranan agama dalam pembangunan juga dapat dilihat dari sudut pandang, bahwa titik sentral pembangunan adalah manusia dan karena itu tujuan pembangunan adalah pengembangan potensi dan hidup manusia sehingga manusia secara individual maupun kolektif menikmati kehidupan yang sesuai dengan harkat dan martabat yang luhur. Agama bisa dan seharusnya berperan sebagai pembari makna pada kehidupan manusia, cita-cita dan kegiatannya. Diantara inspirasi yang dapat dipetik dari agama bagi pembangunan manusia adalah melalui sejarah dan kehidupan para Nabi pambawa agama-agama besar. Dengan penuh kesungguhan, mereka berusaha mewujudkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai agamawi dalam kehidupan para pengikutnya, dengan penuh ketabahan menghadapi kajahilan dan kedzaliman.
Tanpa ragu-ragu mereka berada dipihak yang teraniaya dan menderita. Lebih lanjut, pengaruh agama bagi kehidupan manusia diuraikan Murtadha Mutahhari adalah dalam bentuk menciptakan sikap optimisme, pencerahan hati, ketentraman hati dan kenikmatan ruhaniah serta tumbuhnya harapan akan terjadinya akibat-akibat baik dari amal perbuatan yang baik. Dan tak ada yang melebihi agama dalam hal menghargai kebajikan, menganggap suci keadilan dan menciptakan dorongan untuk melangkah melawan kekejaman dan menyatukan setiap orang bagai anggauta dari satu tubuh.
Selama berabad-abad agama telah memberikan kepada manusia bukan saja ritus-ritus yang memberikan kelegaan emosi dan cara-cara untuk memperkokoh kepercayaan sehingga karenanya dia mampu melaksanakan suatu pekerjaan, tetapi juga mengembangkan interpretasi-interpretasi intelektual yang membantu manusia dalam mendapatkan makna dari seluruh pengalaman hidupnya.
Tinjauan lebih lanjut mengenai fungsi agama dalam kehidupan bermasyarakat, menurut teori fungsional peranan agama adalah; mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa. Agama bertindak menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial.
Dari beberapa pandangan mengenai fungsi atau peran agama bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun dalam kehidupan bermasyarakat, tampak jelas urgensinya bagi upaya pembangunan kearah pembebasan manusia dari masalah-masalah kemiskinan. pembudayaan nilai-nilai agama ini akan merupakan proses penciptaan etik sosial dan etos kerja yang membangun. Dan pada gilirannya akan menyediakan sarana yang hidup dan dasar yang kokoh bagi jalannya pembangunan.
Usaha pembangunan pada hakekatnya merupakan perluasan amal untuk meghadapi kemiskinan dan keterbelakangan, bukan hanya pada tingkat individual, melainkan sebagi masalah struktural masyarakat. Maka karena imannya, manusia beragama terdorong untuk turut melaksanakan pembangunan. Dan karena imanlah yang dapat memberikan kepada manusia keberanian hidup, bersedia dan mampu berdiri di atas kaki sendiri. Ia juga dapat memberikan kepada manusia keberanian dan kemantapan moril untuk menolak peluang-peluang yang gampang namun tidak mampu, biar pun kelihatannya aman dan biar pun dipakai orang banyak, serta untuk tetap mengambil jalan yang lurus, betapapun sulinya jalan itu.
Sungguhpun beberapa pemikiran dan bukti sejarah telah memperlihatkan segi positif dari urgensinya peran agama dalam pembangunan dan kehidupan pada umumnya, namun beberapa kritik dan bukti sejarah sering pula memperlihatkan aspek negatif dari posisi dan peran agama dalam pembangunan dan khususnya dalam menangani masalah kemiskinan. Agama dipandang sebagai faktor penghambat pembangunan karena sifatnya yang rigid, normative, statis, konservatif dan cenderung fatalis.
Demikian juga, kritik dan keraguan terhadap agama dalam menanggulangi masalah kemiskinan bertolak dari pandangan bahwa agama adalah sebagai faktor penyebab dan ikut bertanggungjawab karena kadang ”membuat manusia lebih mudah menerima kemiskinan sebagai nasib yang tak terelakkan”. Adanya pandangan yang fatalis atau abivalen terhadap masalah kemiskinan dalam pandangan agama, dapat bersumber dari ajaran agama itu sendiri yang memang berpaham demikian atau karena pengaruh sistem sosial budaya dari para penganut ajaran agama yang menagkap pesan ajaran agama sesuai dengan kondisi sosial budaya atau keadaan pribadinya. Karena pada dasarnya keberagamaan seseorang ataumasyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya dalam menghayati pesan-pesan ajaran agama yang dipeluknya. Hingga dalam hubungannya dengan kemiskinan, maka pandangan fatalis atau ambivalen agama tentang kemiskinan dapat “dipakai untuk legitimasi kemiskinannya atau oleh orang yang mau supaya yang miskin tetap miskin”.
Mengenai keragaman pandangan agama tentang kemiskinan tersebut, dijelaskan oleh Sudjatmoko sebagai berikut: Kemiskinan dan ketidakadilan tidak sama tempatnya di dalam pandangan agama-agama, biarpun di dalam semua agama perbuatan amal dan penegakan keadilan dianjurkan. Ada agama yang memandang kemiskinan dan ketidakadilan sebagai kondisi yang memang sudah melekat padakehidupan manusia di dunia ini. Manusia dapat mengatasi keterikatannya dari kedua kondisi ini dengan memperkembangkan sikap batiniahnya serta usaha-usaha yang meningkatkan kemampuan spiritualnya. Mirip dengan pandangan ini adalah pandangan bahwa kemiskinan dan ketidakadilan bagi seseorang adalah akibat karmanya yang harus diatasi dengan kelakuan yang baik dan disiplin spiritual. Lain halnya dengan pandangan dimana komitmen agamanyamenuntut pembuktian dengan usaha-usaha yang secara langsung menghadapi dan mencoba mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan. Di sini amal pribadi bahkan amal institusional pun tidak mencukupi, karena bukan saja gejala-gejala kedua permasalahan yang perlu dihadapi, melainkan sebab musabab kemiskinan dan ketidakadilan, artinya akar-akar strukturnya.
Dalam uraian mengenai fungsi atau peran agama dalam menghadapi masalah kemiskinan tersebut tampak bahwa masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah kemanusiaan yang menuntut peran aktif agama untuk menghadapinya. Hal itu bertolak dari missi atau agama itu sendiri yang bertujuan untuk menyelamatkan manusia, termasuk membebaskannya dari cengkraman kemiskinan.