Pada pelaksanaan perkawinan, calon mempelai harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan, Berdasarkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, orang yang beragama Islam harus memenuhi rukun perkawinan yaitu:
1. calon istri;
2. calon suami;
3. wali nikah;
4. dua orang saksi;
5. ijab, Kabul dan mahar/mas kawin.
Berdasarkan ketentuan hukum Islam, ditambah dengan adanya kerelaan dari pihak calon istri. Pada dasarnya tidak semua pasangan laki-laki dan wanita dapat melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan perkawinan adalah mereka-mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan. Rukun dan syarat perkawinan wajib dipenuhi, bila tidak maka tidak sah. Dalam kitab al-Figh‘ala al-Mazhib al-Araba’ah disebutkan bahwa nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya dan hukum fasid dan batil adalah sama yaitu tidak sah (Abdurrahman al-Jaziry, al 118).
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat perkawinan. Kalau salah satu syarat-syarat perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah.
Ada dua macam syarat perkawinan, yaitu syarat materiil dan syarat formal. Syarat materiil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga “syarat-syarat subyektif”. Adapun syarat-syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang, disebut juga “syarat-syarat obyektif” (Muhammad, 1993:76). Persyaratan perkawinan diatur secara limitatif di dalam Pasal 6 sampai dengan 12 UUP, yang meliputi persyaratan materiil maupun persyaratan formal. Perlu diingat selain harus memenuhi persyaratan perkawinan menurut UUP, bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi persyaratan perkawinan yang diatur atau ditentukan di dalam hukum agamanya masing-masing, termasuk ketentuan dalam perundang-undangan lain yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu.
Persyaratan materiil berkenaan dengan calon mempelai yang hendak melangsungkan perkawinan dimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 UUP yang meliputi sebagai berikut:
1. Persetujuan kedua belah pihak
2. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. (Pasal 6 ayat (2) undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Mengenai penentuan syarat ini, M. Yahya Harapap mengatakan:
Bahwa bagi mereka yang belum berumur 21 tahun harus ada ijin dari orang tua atau wali, sebagai salah satu syarat perkawinan. Memang hal ini patut ditinjau dari segi secara susah payah oleh orang tua untuk si anak. Sehingga kebebasan pada si anak untuk menentukan pilihan calon suami/isteri jangan sampai menghilangkan gengsi tanggung jawab orang tua. Adalah sangat selaras apabila kebebasan si anak itu berpadu dengan ijin orang tua atau wali.
3. Pria berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati (Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974)Menurut M. Yahya Harahap penentuan batas umur bertujuan untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan yaitu:
Bahwa penentuan batas umur adalah suatu langkah penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang dijumpai dalam beberapa kehidupan masyarakat kita. Misalnya kehidupan masyarakat di daerah jawa sering dilakukan perkawinan anak perempuan masih muda usianya. Dengan penentuan yang tegas tentang batas umur untuk melakukan perkawinan memberi kepastian penafsiran yang masih kabur, baik dalam lingkungan kehidupan adat maupun dalam pengertian hukum Islam.
4. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin
5. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.
6. Izin pengadilan bagi mereka yang hendak beristri lebih dari seorang (poligami). (Salim 2002:62)
Adapun syarat-syarat formal yang berkenaan dengan formalitas-formalitas yang mendahului perkawinan seseorang. Syarat formal diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 Tahun 1975, yang terdiri dari 3 tahap yaitu:
1. Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan
Pemberitahuan kehendak menikah kepada PPN, talak dan rujuk (P2NTR) / pegawai pembantu pencatat nikah, talak. Pemberitahuan ingin menikah sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungka.
|
Perkawinan |
Pemberitahuan tentang kehendak melangsungkan perkawinan memuat hal-hal sebagai berikut :
1) Nama, termasuk nama kecil dan nama keluarga.
2) Umur.
3) Agama/kepercayaan.
4) Tempat kediaman calon mempelai.
5) Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu
2. Penelitian syarat-syarat perkawinan
Pegawai pencatat perkawinan akan meniliti syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.
3. Pengumuman Kawin yaitu tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan.
Pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan ini dilakukan di :
1) Kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat perkawinan dilangsungkan, dan;
2) Kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman masing-masing calon mempelai.
4. Pencatatan Perkawinan
Setelah melangsungkan perkawinan menurut hukum dan kepercayaannya, perkawinan tersebut dicatat secara resmi dalam akta perkawinan dan ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi dan PPN.
Suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan, Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Melihat ketentuan pasal tersebut, sahnya suatu perkawinan ditentukan menurut agama dan kepercayaannya suami-isteri. Sedangkan ayat (2)-nya menghendaki setiap perkawinan dilakukan pencatatan. Dengan adanya pencatatan juga telah terjadi perlindungan kepentingan bagi para pihak dalam sebuah perkawinan. Disamping itu, pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian (mitsaqan galidzan) aspek hukum yang timbul dari perkawinan.
Tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang dianut dalam daftar pencatatan. Tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk menjadikan peristiwa perkawinan tersebut menjadi jelas, baik bagi pihak suami isteri maupun pihak lain atau masyarakat dan sebagai bukti tertulis dan otentik. Perbuatan pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan namun hanya bersifat administratif, yaitu yang menyatakan bahwa perkawinan itu memang ada dan benar terjadi.
Realisasi dari pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing salinannya dimiliki oleh isteri dan suami. Akta tersebut, dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya (Ali, 2006:26). Pelaksanaan perkawinan diatur dengan PP No. 9 tahun 1975 dan peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 tahun 1975. Bab II Pasal 2 (1) PP No. 9 tahun 1975 Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 tahun 1954, tentang pencatatan Nikah dan Rujuk.
Berbicara mengenai sahnya suatu perkawinan, apabila yang melangsungkan perkawinan itu seagama tentu tidak menjadi masalah. Namun apabila sebaliknya, mereka yang melangsungkan perkawinan menganut agamanya yang berbeda, maka Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan tentu tidak dapat diikuti seperti bunyinya, sebab perkawinan tidak dapat dilangsungkan menurut agama masing-masing mempelai.