Pengertian Tindak PidanaPerdagangan Orang dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu:
“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia”.
Cara melakukan tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan unsur dari tindak pidana perdagangan orang yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan hutang.
Pengaturan kejahatan perdagangan orang dalam Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP Tahun 2006) terdapat dalam Bab XXI Mengenai Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan Orang, bagian Kesatu Perdagangan Orang, terdiri dari 12 Paragraf dan 16 Pasal. Pasal 546 Rancangan KUHP merumuskan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai berikut:
“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan, orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemenfaatan posisi kerentangan, atau penjeratan utang, untuk tujuan mengeksploitasi atau perbuatan yang tereksploitasi orang tersebut, dipidana karena melakukan tindak pidana perdagangan orang, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit katagori IV dan paling banyak katagori VI”
Berdasarkan rumusan di atas terdapat tiga elemen yakni:
a. Setiap orang yang melakukan: perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan orang.
b. Dengan menggunakan: kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan hutang.
c. Untuk tujuan: mengeksploitasi, atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut.
|
Human Trafficking |
Dengan perumusan seperti di atas, maka sebuah perbuatan tindak pidana perdagangan orang dapat terpenuhi bila salah satu dari tiga elemen tersebut dilakukan, misalnya seorang melakukan perekrutan dengan menggunakan pemanfaatan posisi kerentanan untuk tujuan mengeksploitasi, maka orang tersebut telah memenuhi pasal ini.Dalam RUU KUHP tidak ditemukan pengertian perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan, pengertian tersebut ada dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tetapi juga pengertian penyalahgunaan kekuasaan dan pemanfaatan posisi kerentanan dan penjeratan utang tidak dijelaskan dalam RUU KUHP.
Unsur tujuan atau maksud dari perdagangan orang dalam RUU KUHP terdapat adalah bertujuan untuk eksploitasi yang merupakan tujuan perdagangan tidak didefinisikan. Unsur tujuan ini tidak relevan lagi atau tidak berarti apabila cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam definisi di atas digunakan. Hal ini tidak dijelaskan dalam RUU KUHP, tetapi dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 9, dengan menyebutkan bahwa “eksploitasi adalah tindakan memanfaatkan orang baik dengan tanpa persetujuan orang tersebut...”. Dengan adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka Pasal 297 dan Pasal 342 KUHP tidak berlaku. Dalam Pasal 297 KUHP cara melakukan perdagangan orang tidak termasuk unsur tindak pidana, tetapi cara melakukan tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan utang.