Teori kewenangan dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis tentang kewenangan pemerintah dalam melakukan pengelolaan Barang Milik Negara. Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa).
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.
Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan. Lebih lanjut Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung jawab untuk melakukan tugas tertentu. Proses delegation of authority dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menentukan tugas bawahan tersebut
b. Penyerahan wewenang itu sendiri
c. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan.
I Dewa Gede Atmadja, dalam penafsiran konstitusi, menguraikan sebagai berikut:
“Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara wewenang otoritatif dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan secara konstitusional, sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan merupakan wewenang konstitusional secara eksplisit”.
Wewenang otoritatif untuk menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR, karena MPR merupakan badan pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif penafsiran konstitusi dari segi sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis dilakukan oleh:
a. Pembentukan undang-undang; disebut penafsiran otentik
b. Hakim atau kekuasaan yudisial; disebut penafsiran Yurisprudensi
c. Ahli hukum; disebut penafsiran doktrinal
Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan. Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat.
Selanjutnya, Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut : “Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”.
Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut:
Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru”. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.
Pemikiran Indroharto tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu. Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis bahwa pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.
Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan, mengemukakan pandangan sebagai berikut:
“Bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusidan delegasi.Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal”.
Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa: “Setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari “pelimpahan”.
Kewenangan pemerintah yang dilakukan dalam pengelolaan Barang Milik Negara merupakan kewenangan yang diperoleh secara atribusi yang secara normatif diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum.
Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu).
Dalam kaitannya dengan wewenang sesuai dengan konteks penelitian ini, standard wewenang yang dimaksud adalah kewenangan pemerintah di dalam melakukan pengelolaan Barang Milik Negara.