Dewasa ini banyak masyarakat yang melaksanakan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu demi kelangsungan kebutuhan lahir dan batinnya. Dengan adanya fenomena tersebut, manusia tidak terfikir untuk melihat dampak dan efek dari perkawinan yang dilaksanakannya. Khususnya pada perkawinan dibawah umur. Masyarakat menyadari akan kebutuhan hidup dan desakan keadaan dapat memaksakan manusia melakukan perkawinan dibawah umur. Sebagai contoh, seorang anak wanita yang masih berumur 12 tahun dinikahi oleh seorang pria berumur 20 tahun. Fenomena seperti itu banyak terjadi di pelosok-pelosok desa atau bahkan di kota besar sekalipun. Anak wanita tersebut belum memenuhi syarat perkawinan menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974. Fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai perkawinan dibawah umur. Seiring berjalannya waktu, pernikahan pasangan tersebut sangat rentan terhadap timbulnya berbagai masalah yang berakhir pada perceraian. Hal tersebut terjadi karena mental anak wanita yang masih berumur 12 tahun belum siap/matang untuk menjalani suatu kehidupan rumah tangga. Banyak faktor-faktoryang mempengaruhi terjadinya perkawinan dibawah umur.
Diantaranya, faktor diri sendiri yang sudah saling mencintai dan takut akan hal-hal yang melanggar norma dan agama, faktor pendidikan orang tua minim sehingga berfikiran sempit, faktor ekonomi yaitu supaya orang tua terbantu atas kehidupan anak perempuan yang diserahkan suaminya atau calon suami yang merasa sudah mampu untuk membina rumah tangga, faktor yang mendesak supaya cepat dilaksanakan perkawinan demi menghindari kemungkinan terburuk jika tidak cepat dilaksanakan perkawinan. Di desa-desa terpencil, pemahaman masyarakat akan pengaturan tersebut begitu kurang. Sehingga sering terjadi perkawinan dibawah umur. Tidak hanya di desa saja,bahkan di kota besar juga tidak sedikit masyarakat yang melakukan perkawinan dibawah umur tersebut.
Banyaknya fenomena tersebut, maka perkawinan dibawah umur yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yaitu UU nomor 1 tahun 1974. Adapun di Indonesia telah ada hukum perkawinan yang secara otentik di atur dalam UU nomor 1 tahun 1974. Penjelasan atas Undang-undang tersebut dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 yang dalam bagian penjelasan umum diuraikan beberapa masalah mendasar. Adanya ketentuan tersebut,masyarakat justru terhambat dengan peraturan perundangan jika akan melaksanakan perkawinannya. Walaupun dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 telah ditentukan peraturan dan asas atau prinsip mengenai perkawinan dan segala sesuatu dengan perkawinan, kenyataannya dalam masyarakat masih terjadi penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu dengan melakukan perkawinan dibawah umur ini. Untuk dapat melangsungkan perkawinannya, maka calon pasangan yang belum cukup umur dapat mengajukan permohonan dispensasi kawin.
Kalau kita meninjau isi ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, maka nyata benar bahwa UUP (Undang-undang Perkawinan) menjamin kekekalan hidup keluarga yang kuat serta keabadian dalam perkawinan. Karena ketentuan pasal 1 UUP itu menyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara suami istri, perkawinan bertujuan untuk untuk membentuk keluarga keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Penentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan sangatlah penting sekali. Karena suatu perkawinan disamping menghendaki kematangan biologis juga psikologis. Maka dalam penjelasan Umum Undang-undang Perkawinan dinyatakan, bahwa calon suami-istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur. Selain itu pembatasan umur ini penting pula artinya untuk mencegah praktik kawin yang “terlampau muda”, seperti banyak terjadi di desa-desa, yang mempunyai berbagai akibat yang negatif. Dampak yang sering timbul dari adanya perkawinan dibawah umur ini bermacam-macam diantaranya keluarga mudah cerai karena kurang matangnya mental batin dari masing-masing pasangan, anak-anak yang lahir dari hasil pernikahan kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tua, keluarga kurang harmonis karena keegoisan masih tinggi.
|
"Perkawinan dibawah umur" |
Pasal 7 ayat (1) Undang-ndang Perkawinan menetapkan pria harus sudah mencapai umur 19 sembilan belas) tahun dan wanita harus sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun, baru diizinkan untuk melangsungkan perkawinan. Jika salah satu atau kedua calon pasangan belum memenuhi umur tersebut, maka calon pasangan dapat mengajukan dispensasi kawin.
Yang dimaksud dengan perkawinan dibawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh anak dibawah usia 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan 16 (enam belas) tahun untuk wanita. Karenanya perkawinan tersebut telah melanggar ketentuan Undang-Undang, dan oleh karena itu perkawinan tersebut hanya dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat serta perkawinannya tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama Non-Islam.
Apabila belum mencapai umur tersebut, untuk melangsungkan perkawinan diperlukan suatu dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Baik pasal tersebut maupun penjelasannya, tidak menyebut hal apa yang dapat dijadikan dasar bagi suatu alasan yang penting, misalnya keperluan yang mendesak bagi kepentingan keluarga, barulah dapat diberikan dispensasi. Karena dengan tidak disebutkannya alasan yang penting itu, maka dengan mudah saja setiap orang mendapatkan dispensasi tersebut.
Selain pembatasan umur di atas, pasal 6 ayat 2 mencantumkan ketentuan yang menghapuskan setiap orang (pria dan wanita) yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, mendapat izin kedua orang tua, maka Pengadilan dapat memberikan izin tersebut berdasarkan pemintaan orang yang akan melangsungkan pekawinan.
Perkawinan pada anak di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktik ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak di pedalaman. Sebabnya pun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, juga karena hamil terlebih dahulu. Namun dengan adanya dispensasi kawin bagi anak di bawah umur tentu bertolak belakang dengan adanya Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Setiap anak mempunyai hak untuk hidup pada masanya. Perkawinan di bawah umur tersebut tidaklah sedikit yang sudah terjadi di semua wilayah. Hal tersebut tentu bukan semata-mata sengaja terjadi. Akan tetapi ada suatu faktor tertentu yang mendesak untuk dilaksanakannya perkawinan di bawah umur tersebut. Dengan adanya alasan tersebut maka permohonan dispensasi dapat dikabulkan oleh Pengadilan.
Sehubungan hal tersebut penulis bermaksud mengangkat permasalahan ini kedalam penulisan hukum tentang dispensasi perkawinan, khususnya pada daerah kewenangan Pengadilan Agama Kabupaten Kudus. Dan karenanya penulis memilih judul
PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974.