Setiap pasangan suami isteri selalu menginginkan perkawinannya hanya berlangsung sekali seumur hidup. Hal ini tergambar dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri, dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Dalam Pasal 3 ayat (1) dapat terlihat bahwa suatu perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami. Akan tetapi, hukum perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam memberikan pengecualian terhadap seorang suami yang ingin memiliki isteri lebih dari satu yaitu harus mendapat ijin dari Pengadilan dan harus memenuhi syarat-syarat untuk dapat beristeri lebih dari satu.
Apabila seorang pria dan seorang wanita telah sepakat untuk melangsungkan perkawinan, itu berarti mereka telah berjanji akan taat dan tunduk pada peraturan hukum yang berlaku dalam perkawinan dan peraturan itu berlaku selama perkawinan itu berlangsung maupun perkawinan itu putus (Soemiyati, 1996:10). Dalam suatu perkawinan, kondisi ideal dari suami atau isteri merupakan hal yang tidak dapat diperoleh sepenuhnya. Hal tersebut tidak akan menjadi kendala apabila suami-isteri tersebut sepakat untuk mengarungi bahtera rumah tangga dengan kesiapan mental dan saling memahami diantara keduanya.
Namun kenyataan di masyarakat seringkali kita menjumpai penyelesaian poligami sulit dilakukan, sehingga kecendurungan penyelesaian masalah poligami tersebut dengan cara diam-diam dan tidak jujur. Sikap tidak jujur disini dilakukan antara lain menggunakan identitas palsu kepada petugas pencatat perkawinan, dimana nereka mengaku berstatus masih perjaka padahal secara hukum masih berstatus suami perempuan lain.
Biasanya pemalsuan itu terdapat di dalam surat dan akta otentik yang berupa identitas pelaku tersebut, akan tetapi jarang sekali terjerat oleh hukum dan sulit dibuktikan, hal ini terjadi karena adanya beberapa faktor yaitu minimnya bukti, perbuatan terencana dengan matang, saksi kurang mengetahui sendiri perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku dan keinginan untuk melakukan poligami dimana pelaku tidak ingin memberitahukan kepada istri pertama.
|
Pembatalan Perkawinan |
Sehubungan dengan masalah diatas, Undang-undang No 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan secara rinci tentang pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas, melainkan Undang-undang Perkawinan hanya menjelaskan pembatalan perkawinan karena adanya salah sangka terhadap diri suami atau isteri (merasa ditipu atau adanya unsur penipuan) yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama. Pembatalan perkawinan, selain dikarenakan perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, dapat disebabkan pula karena perkawinan dilangsungkan karena adanya unsur penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yangmenyatakan bahwa Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
Pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan. Dengan adanya putusan pengadilan yang membatalkan perkawinan, maka perkawinan yang telah terjadi dianggap tidak pernah ada. Meskipun perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada, tidak serta merta menghilangkan akibat hukum dalam perkawinan yang pernah dilaksanakan.
Putusan pengadilan merupakan putusan tahap akhir, apakah perkawinan tersebut dibatalkan atau tetap disahkan, tentunya melalui pertimbangan kemaslahatan yang dilakukan oleh hakim. Untuk itu putusan hakim yang baik tentunya akan memenuhi 3 (tiga) unsur/aspek sekaligus secara berimbang yaitu memberikan kepastian hukum, rasa keadilan dan manfaat bagi para pihak dan masyarakat (Arto, 1996 : 35).
Putusan pengadilan tentang pembatalan perkawinan yang tidak sah dapat membawa akibat hukum baik bagi suami atau isteri dan keluarganya masing-masing sebagaimana yang terdapat dalam hukum nasional yaitu Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana suami isteri tersebut kembali seperti keadaan semula atau diantaranya seolah-olah tidak pernah melangsungkan perkawinan.
Selain dari pada yang telah dikemukakan di atas, pembatalan perkawinan juga mempunyai arti yang sangat penting, hal tersebut dikarenakan dari perkawinan yang dibatalkan akan berdampak bukan hanya bagi pasangan perkawinan saja namun juga berdampak bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan perkawinan tersebut, seperti harta benda dalam perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 Undang-undang No. 1 tahun 1974. Dan akibat dari pemalsuan nikahnya tersebut tidak berlaku surut terhadap pihak-pihak yang tertuang dalam Pasal 28 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam.
Namun, jika pembatalan nikahnya karena sebab pemalsuan identitas, dimana pemalsuan identitas adalah bentuk pelanggaran materil bukan formil, maka akibatnya juga materiil. Dan akibat secara materil adalah hanya surat pernyataan berupa putusan Pengadilan Agama bahwa pernikahan tersebut dibatalkan. Namun jika pelanggaran yang terjadikarena larangan formil maka perkawinan yang ada dapat batal dengan sendirinya atau dianggap tidak pernah ada sehingga terdapat akibat yang timbul yaitu tidak mendapat perlindungan hukum.
Maka sebagai bagian dari tujuan kejelasan identitas adalah adanya kejelasan hukum terhadap orang atau individu demi menjaga hak dan kewajibannya dalam hukum. Untuk memperkuat kejelasan identitas maka dibutuhkannya administrasi kependudukan, dalam UU No.23 tahun 2006 pasal 1 ayat (1) menjelaskan:
“Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain”.
Usaha pemberian perlindungan terhadap individu maka dibutuhkan identitas yang jelas yang mana identitas tersebut dicatatkan dalam Dokumen kependudukan yang telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2006 pasal 1 ayat (8) menjelaskan:
”Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”.
Selain itu juga, bagi pelaku yang memalsukan surat-surat otentik tercantum dapat dikenai sanksi ancaman pidana penjara yang terdapat dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP tentang pemalsu surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan Pasal 266 ayat (1) dan (2) KUHP tentang membuat dan menyuruh melakukan pemalsuan surat dan akta-akta otentik dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sedangkan ketentuan hukum yang bisa dipakai untuk menjerat suami yang menikah lagi tanpa izin istri pertama (kedua atau ketiga). Salah satunya yaitu Pasal 279 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
a. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
b. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
2. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan Pasal 1 butir a menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Kasus yang penyusun teliti bermula adanya perkawinan antara Tergugat I dengan Tergugat II yang dilangsungkan pada tanggal 5 Juni 2011 dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Gajahmungkur, sebagaimana yang tercantum dalam Kutipan Akta Nikah No. 178/05/VI/2011. Pada saat akad nikah dilangsungkan Tergugat II mengaku berstatus jejaka dengan bukti KTP yang menerangkan bahwa Tergugat II belum kawin, padahal Tergugat II sudah beristri dan mempunyai 2 (dua) orang anak. Setelah berjalan 4 hari dari akad nikah, ada telpon dan sms dari keluarga dan isteri dari Tergugat II. Untuk membuktikan kebenarannya, Penggugat meminta penjelasan dari Tergugat II dan Tergugat II membenarkan berita tersebut.
Selama hidup dalam satu rumah Tergugat I dengan Tergugat II telah berhubungan suami isteri. Maka berdasarkan hal tersebut Penggugat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan pada tanggal 7 Juli 2011 dan telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Kota Semarang dalam register perkara Nomor 1447/Pdt.G/2011/PA.Sm.
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang-ndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa tugas Pengadilan Agama adalah menerima, memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Dalam pemeriksaan suatu perkara dibutuhkan alat-alat bukti yang diajukan bahan pertimbangan oleh hakim untuk memutus suatu perkara serta dasar hukum yang dipakai oleh Hakim di Pengadilan Agama dalam memutus perkara juga harus sesuai dengan perundang-undang dan hukum islam. Oleh karena itu, untuk melaksanakan suatu perkawinan sebelum akad nikah terjadi, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan terhadap syarat dan rukun perkawinan, baik yang ditentukan oleh agama maupun Undang-Undang perkawinan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji khusus mengenai alasan perkara pembatalan perkawinan ini diajukan, pembuktian dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut, serta akibat hukum yang ditimbulkan dari pembatalan perkawinan tersebut. Maka penulis mengambil Pengadilan Agama Semarang sebagai lokasi penelitian dalam menyusun skripsi dengan judul: “Pembatalan Perkawinan karena Adanya Pemalsuan Identitas Suami dalam Perkawinan Poligami (Studi Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor 1447/Pdt.G/2011/PA.Sm).