Setiap organisasi yang berada pada suatu tempat selalu mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi sebagai respon dari perkembangan yang terjadi di masyarakat. Perubahan dalam masyarakat saat ini sudah menjadi keniscayaan yang patut dimaklumi. Konsekuensi logis dari kenyataan ini ialah bahwa satu segi kehidupan organisasional yang amat penting untuk selalu mendapat perhatian pimpinan puncak suatu organisasi adalah menyesuaikan kemampuan organisasi yang dipimpinnya dalam menghadapi perubahan-perubahan yang pasti selalu terjadi. Untuk organisasi perlu memakai pembinaan dan menentukan strategi dalam menjalankan aktivitas agar organisasi tersebut mampu menyesuaikan diri.
Strategi berasal dari kata Yunani strategos yang berarti jenderal. Oleh karena itu, kata strategi secara harfiah berarti “Seni para Jenderal”. Secara khusus strategi lebih menekankan pada penempatan sasaran dan memastikan implementasi secara tepat. Artinya, ketika organisasi memiliki strategi dalam menjalankan aktivitasnya, maka secara tidak langsung organisasi tersebut tengah menempatkan sasaran dan memastikan implementasi kebijakan yang akan dilakukan.
Siagian dalam bukunya “Analisis Serta Perumusan Kebijakan dan Strategi Organisasi” merumuskan delapan langkah yang menjadi keharusan dalam membentuk suatu kebijakan, yaitu :
1. Merumuskan tujuan yang hendak dicapai
2. Menetapkan berbagai sasaran
3. Menetapkan berbagai kegiatan yang harus dilaksanakan untuk mencapai sasaran.
4. Mengembangkan sistem dan mekanisme kerja yang tepat
5. Mengalokasikan sumber dana, daya, peralatan serta tenaga manusia
6. Memonitor hasil yang dicapai
7. Melakukan berbagai perubahan organisasional apabila diperlukan,
8. Menata hubungan antar manusia dalam organisasi sedemikian rupa agar mereka dapat bergerak sebagai suatu kesatuan yang bulat.
Beberapa kegiatan itu harus menjadi perhatian dalam menyelenggarakan kegiatan lain serta dalam merumuskan kebijakan dan strategi organisasi. Uraian yang dikemukakan Siagian adalah keharusan yang dilakukan setiap organisasi untuk saat ini.
Era reformasi merupakan era perubahan yang ditandai dengan munculnya kebebasan berbagai aspek seperti, kebebasan mengeluarkan pendapat, berargumen, bahkan sampai pada kebebasan berkelompok. Hal ini tampak sejak lengsernya Orde Baru dari panggung kekuasaan, masa transisi di Indonesia dimulai dengan perubahan sosio-politik yang amat menentukan bagi masa depan bangsa. Perubahan ini membawa dampak pada kebijakan seluruh elemen, baik yang bersifat institusional maupun individual. Di antara kebijakan yang banyak menaruh perhatian adalah persoalan demokratisasi dan hak asasi manusia.
|
Nahdlatul Ulama |
Dalam beberapa tahun terakhir ini, selain demokratisasi dan hak-hak azasi manusia (HAM), diskursus yang muncul ke permukaan politik domestik maupun internasional, khususnya yang berkaitan dengan persoalan religio-politik, adalah mengenai "kebangkitan" Islam politik, yang terkadang ditandai dengan merebaknya fenomena "radikalisme" Islam. Dalam sejumlah literatur, istilah Islam politik, radikalisme atau neo-fundamentalis memiliki tafsiran yang sulit untuk dibedakan satu sama lain. Istilah radikalisme umumnya dipakai untuk merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang berkonotasi negatif seperti "ekstrem, militan, dan in-toleran" serta "anti-Barat/Amerika". Bahkan sejak 11 September 2001, istilah radikalisme dan fundamentalisme dicampur-adukkan dengan terorisme. Radikalisme tidak datang tanpa sebab dan tidak muncul secara kebetulan, melainkan memiliki sebab-sebab dan faktor yang mendorongnya muncul.
Dalam panggung politik domestik, bangkitnya gerakan-gerakan radikalisme keagamaan ditandai dengan maraknya aksi-aksi yang melibatkan massa yang dimotori berbagai kelompok Islam "garis keras", yang umumnya memiliki persamaan dalam satu hal, yaitu menghendaki penerapan syariat (hukum) Islam di bumi Nusantara. Gerakan-gerakan ini muncul terkait erat dengan berbagai persoalan, seperti tidak adanya proses penegakan hukum secara adil dan sungguh-sungguh, serta ketidakadilan di sektor sosial, ekonomi, maupun politik.
Kondisi yang demikian telah menjadi pemicu dan berujung pada sikap anarkis. Sikap apatis terhadap komunitas non-seiman menjadikan sikap toleransi di Indonesia tidak bisa berjalan lurus. Hal ini yang kemudian menjadikan Islam di Indonesia mendapat image negatif oleh masyarakat luar. Image negatif yang dilekatkan pada komunitas Islam ini berbuntut pada munculnya kekhawatiran terhadap kelembagaan Islam.
Ahmad Khoirul Umam menyebutkan bahwa MENKOPOLKAM pada waktu itu (Susilo Bambang Yudoyono) telah mengatakan ada sekitar enambelas pesantren di Jawa Tengah yang dijadikan sasaran pengkaderan Jamaah Islamiah, organisasi yang selama ini dituduh sebagai dalang sejumlah aksi kekerasan dan terorisme di Indonesia (sekedar informasi Susilo Bambang Yudoyono merupakan MENKOPOLKAM pada masa pemerintahan Megawati). Hal ini merupakan kecurigaan yang mendalam terhadap kelembagaan Islam, karena pesantren selalu diidentikkan dengan sarang teroris. Realitas tersebut memberikan inspirasi bagi ormas Islam untuk membentengi diri agar tidak terpengaruh dengan aliran yang bergaris keras, radikal dan anarkis tersebut.
Nahdlatul Ulama, organisasi yang didirikan K.H. Hasyim Asy’ari ini memiliki masa yang begitu banyak. Ormas ini mencakup kalangan masyarakat awam, sehingga lebih merakyat dan dengan mudah diterima oleh masyarakat. Wajar jika jumlah mereka lebih banyak dibanding ormas-ormas yang lain. Yang menjadi permasalahan adalah ketika pemahaman radikal, garis keras dan anarki masuk dan meresap dalam pola pikir mereka. Akankah kesan teroris dialamatkan pada komunitas Nahdlatul Ulama di Indonesia?.
Untuk mengantisipasi aliran radikalisme, Nahdlatul Ulama tentunya memasang strategi guna mengantisipasi masuknya pemahaman radikal yang nanti akan merusak ideologi anggotanya. Metode dakwah untuk membentengi diri agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan makna jihad, Islam kaffah dan lain sebagainya dituangkan dalam agenda tertentu. Hal ini menarik untuk diteliti, selain untuk mendeskripsikan juga sebagai acuan atau patokan bagi ormas atau lembaga lain yang tengah menata diri untuk mengantisipasi masuknya aliran tersebut. Maka dari itu penulis ingin menelaah bagaimana strategi dakwah yang diterapkan Nahdlatul Ulama dalam membentengi diri dari aliran Islam radikal.