Arifin dalam Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, mengemukakan bahwa pada dasarnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang dilaksankan dengan system asrama (pondok) dengan kyai sebagai sentral utama serta mesjid sebagai pusat lembaganya. Pada awalnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan cara non klasikal, yaitu kyai mengajar para santri/ahnya berdasarkan kitab-kitab yang di tulis dalam bahasa arab oleh ulama-ulama besar abad 12 sampai abad 16. Dewasa ini, pesantren telah berkembang dan merupakan gabungan antara system pondok dan pesantren yang memberikan pengajaran dengan system non klasikal. Pondok pesantren ini akhirnya menyelenggarakan system pendidikan klasikal (sekolah), baik yang bersifat pendidikan umum (formal) maupun agama yang lazim di sebut Madrasah.
Elemen-elemen Pesantren:
- Kiayi sebagai tokoh sentral dalam pesantren yang memberi pengajaran.
- Santri, merupakan unsur pokok dari suatu pesantren.
- Masjid, sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan ibadah.
- Pondok atau asrama, sebagai tempat tinggal kiayi bersama para santrinya.
- Kitab-kitab Islam klasik sebagai nara sumber atau bahan pelajaran.
Bentuk-bentuk Pembaharuan Pesantren
- Pembaharuan pendidikan islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat, yakni mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan.
Unsur-unsur sistem pendidikan pesantren menurut Mastuhu dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Aktor atau pelaku, seperti: kiyai, santri, Sarana perangkat keras, seperti Masjid, asrama, atau pondok, rumah kyai dan sebagainya. Sarana perangkat lunak, seperti: tujuan, kurikulum, metodologi pengajaran, evaluasi, dan alat-alat pendidikan lainnya.
Unsur-unsur pesantren berbeda antara satu pesantren dengan pesantren lainnya, hal ini dapat dilihat dari besar kecilnya pesantren bersangkutan. Untuk pesantren kecil unsur-unsurnya cukup dengan kyai, santri, asrama atau pondok, kitab-kitab keagamaan, dan metode pengajaran, akan tetapi untuk pesantren besar perlu ditambah dengan unsur- unsur lain, seperti : Ustadz sebagai pembantu kyai dalam pengajaran, gedung sekolah atau madrasah, pengurus, tata tertib dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan pesantren.
Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan kyainya.
Menurut asal usulnya perkataan kiyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda: Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, umpamanya: “kiyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Kraton Yogyakarta. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren.
Kiyai dalam pembahasan ini mengacu kepada pengertian yang ketiga. Istilah kiyai dipakai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Jawa Barat istilah tersebut dikenal dengan Ajengan, di Aceh Tengku, di Sumatra Utara Buya. Gelar kyai saat ini tidak lagi hanya diperuntukkan bagi yang memiliki pesantren. Gelar tersebut kini digunakan untuk seorang ulama yang mumpuni dalam bidang keagamaan walau ia tidak mempunyai pesantren, seperti: Kyai Haji Ali Yafie, Kyai Haji Muhith Muzadi, dan lainnya. Bahkan gelar kyai digunakan untuk sebutan seorang Dai’ atau Muballigh.
|
Gerbang Pondok Pesantren |
Santri adalah siswa yang belajar di pesantren, Zamakhsyari Dhofier membagi santri membagi dua kelompok: Santri mukim dan santri kalong, santri mukim adalah santri yang berasal dari daerah dan menetap dalam kelompok pesantren. Sebagai santri mukim mereka mempunyai keewajiban-kewajiban tertentu. Santri kalong adalah santri yang berasal dari masyarakat sekitar pesantren atau yang biasanya tidak menetap di pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik dari rumahnya sendiri.
Selain dua istilah santri diatas, dalam dunia pesantren dikenal juga istilah “santri kelana”. Santri kelana adalah santri yang pindah belajar dari satu pesantren ke pesantren lain untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang menjadi keahlian dari seorang kyai. Setelah pesantren mengadopsi sistem madrasah tradisi santri kelana kini mulai ditinggalkan.
Kedudukan mesjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Hal ini telah terjadi sejak zaman Nabi Muhamad kemudian diteruskan oleh para sahabat, kholifah Islamiyah hingga sampai sekarang.
Secara etimologis, masjid berasal dari kata sajada, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Sedangkan secara terminologis, masjid adalah tempat melaksanakan aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah. Upaya menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan berimplikasi pada tiga hal:
Pertama, mendidik anak agar tetap beribadah kepada Allah. Kedua, menanamkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan dan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban. Ketiga, memberikan ketentraman, kemakmuran, potensi-potensi melalui pendidikan kesabaran, keberanian kesadaran optimisme.
Kendatipun saat sekarang kebanyakan pesantren telah melaksanakan proses belajar mengajar di dalam kelas dengan gedung tersendiri, namun mesjid tetap difungsikan sebagai tempat belajar. Hingga saat ini kyai sering mempergunakan masjid sebagai tempat membaca dengan metode bandongan. Disamping itu pula para santri memfungsikan masjid sebagai tempat belajar yang utama, karena kondisi masjid relatif lebih tenang serta mempunyai nilai ibadah.
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama-sama dan belajar dibawah bimbingan seorang kiyai. Ada tiga alasan utama mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi santrinya.
Pertama, kemashuran seorang kiyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam, menarik santri-santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kiyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama , untuk itu ia harus menetap. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa di mana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk menampung santri-santri, dengan demikian perlulah adanya asrama khusus para santri. Ketiga, ada timbal balik anrtara santri dan kiyai, di mana para santri menganggap kiyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedang para kiyai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi.
Disamping alasan-alasan diatas, kedudukan pondok sebagai salah satu unsur pokok pesantren sangat besar sekali manfaatnya diantaranya adalah santri dapat dikondisikan dalam suasana belajar sepanjang hari.Kehidupan berasrama para santri juga sangat mendukung bagi pembentukan kepribadian. Di dalam asrama memungkinkan untuk mempraktekkan apa-apa yang telah dipelajari. Nilai-nilai agama yang secara normatif dipelajari di kelas, dapat dilatihkan untuk disosialisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan begitu dimungkinkan mereka tidak hanya menjadi “having” tetapi “being”.
Pola pembaharuan pendidikan islam yang berorientasi kepada kepada kekuatan-kekuatan dan latar belakang historis atau pengembangan sumber daya nasional atau bangsa masing-masing.ditekankan kepada pelajaran agama saja. Implikasi yang mungkin terjadi dari gerakan pembaharuan pesantren.
Sistem penyelenggaraan sekolah-sekolah modern klasikal mulai masuk kedunia pesantren yang sebelumnya masih belum dikenal. Metode halaqoh berubah menjadi sistem klasikal sebagaimana terdapat disekolah-sekolah, juga pesantren mempergunakan meja dan kursi dan buku pelajaran, dengan tambahan ilmu pengetahuan umum. Sementara itu dibeberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah sebagaimana sistem yang berlaku disekolah-sekolah umum, tetapi pelajarannya ditekankan kepada pelajaranagama saja. Kemudian pada perkembangan berikutnya, madrasah-madrasah yang mengajurkan.