BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang diridoi Allah SWT. Ia adalah kebenaran yang mengandung nilai-nilai universal yang terdiri atsa dimensi syari’ah dan aqidah. Ia dijadikan sebagai aturan hukum dan pedoman hidup (Way of life) demi menggapai kebahagian dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Untuk mewujudkan hal tersebut setiap muslim diwajibkan untuk menempuh pola kehidupan yang intergral islamis, sinkron dengan ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagai manifestasi dari rasa taqwa kepada Allah SWT. Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara perilaku yang dibenarkan (halal) dengan perbuatan yang disalahkan (haram).
Perkawinan merupakan salah satu aturan (Syari’ah) yang ada dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebagaimana firman Allah SWT. Yang tercantum dalam surat Az Zariyat ayat 49:
ومن كل شيئ خلقنا زوجين لعلكم تذكرون
Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kekuasaan Allah SWT. ”
Juga dalam surat Ar rum ayat 21:
ومن ايته أن خلق لكم من أنفسكم ازواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة ...
Artinya: “dan diantara tanda-tanda kekuasaanya ialah ia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, upaya kamu cenderung dan merasa tentram kepdanya dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang… ”
Nabi Muhammad saw. Juga telah mengingatkan:
يا معشر الشباب من استطاع الباء ة فليتزوج فإنه أغض للبصر و أحصن للفرج (رواه البخاري)
Artinya: “ wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu diantaramu untuk nikah, maka hendaklah menikah, karena akan menundukkan pandanganmu dan memelihara kehormatanmu ”.(H.R. Bukhari).
Kedudukan hukum perkawinan ini oleh Islam dipandang sangat penting. Oleh karena itu masalah-masalah mengenai perkawinan diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci dalam syari’at Islam. Syariat Islam tidak hanya mengatur tentang tata cara pelaksanaanya saja, melainkan juga mengatur segala permasalahan yang erat hubunganya dengan perkawinan termasuk masalah mahar. Allah SWT. Selalu menerangkan masalah mahar dalam Al-Qur'an yang berbunyi :
واتوا النساء صدقاتهن نحلة فإن طبن لكم عن شيئ منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا (النساء : 4)
Artinya : "Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamunikahi) sebagai pemberian wajib. Kemudian jika mereka meyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya".
Maksudnya berikanlah mahar kepada para istri sebagai pemberian wajib, bukan pembelian atau ganti rugi. Jika istri setelah menerima mahar tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya kepadamu, maka terimalah dengan baik. Hal tersebut tidak disalahkan atau dianggap dosa. Bila istri dalam memberikan sebagian maharnya karena malu, takut atau terkicuh, maka tidak halal menerimanya. Mahar adalah salah satu hak istri yang bersifat material dalam suatu perkawinan. Mahar adalah Sadaq yaitu Perberian yang berupa materi, baik berupa harta atau jasa dari seorang mempelai laki-laki kepada seorang mempelai wanita untuk dimanfaatkan menurut syara’ yang dibayarkan baik dengan segera atau ditangguhkan.
Menurut syariah, keharusan membayar mahar itu dibebankan kepada pihak pria bukan kepada pihak wanita. Penyebabnya adalah menurut Abu Zahrah, merupakan suatu undang-undang dalam yang berlaku bahwa laki-laki biasanya adalah orang-orang yang berusaha mencari nafkah, sedangkan wanita bekerja mengurusi rumah tangga. Menurut Murtadha Muthahhari pembayaran mahar dibebankan kepada kaum pria karena kaum pria telah biasa memberikan sesuatu yang Berharga kepada si wanita. disamping itu pria bertanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga untuk memberi nafkah kepada istrinya dan anak-anaknya.
Mahar atau maskawin adalah hak wanita sebagai suatu tanda bahwa sejak itu dia mempunyai hak milik yang sebelumnya tidak dipunyai. Ini berarti mengakat derajat kaum wanita atas kedudukan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu tidak tepat kalau maskawin diterima orang tua atau walinya dan menjadi miliknya pula. Seperti banya terjadi zaman dahulu, mas kawin diterima si wali dan dipergunakan untuk kepentingannya. Perbuatan tersebut seolah-olah melambangkan maskawin sebagai harga jual seorang wanita seperti layaknya jual beli. Padahal mas kawin adalah suatu tanda kerelaan hati seorang wanita yang dikawin dan lambang penyerahan diri secara mutlak untuk digauli oleh pemberi maskawin.
Sungguh Islam telah mewajibkan kepada suami untuk membayar mahar kepada istrinya sebagaimana termaktub dalam surat An-Nisa’ ayat 4 tersebut di atas. Maksudnya kewajiban membayar mahar tersebut merupakan pemberian wajib bukan fungsi sebagai pengganti.
Akan tetapi dalam jumlah mahar yang harus diberikan kepada mempelai wanita, para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan tentang jumlah maksimalnya. Sedangkan jumlah minimalnya terdapat ikhtilaf diantara para ulama.
Menurut Imam Syafi’i batasan tentang minimal mahar adalah sedikitnya yang dipandang harta oleh manusia dan kalau dirusakkan oleh seseorang maka ada baginya nilai harga. Sedangkan menurut Imam Malik adalah seperempat dinar. Bahkan Imam Malik berkata; saya tidak pernah melihat wanita dinikahkan dengan mahar kurang dari seperempat dinar. Dan itu adalah batasan minimal yang mewajibkan adanya potong tangan dalam masalah sariqah.
Padahal kalau pendapat Imam Malik diterapkan di masyarakat, maka bagi orang-orang yang lemah ekonominya akan sangat kesulitan memberi mahar. Sehingga akam mudah terjerumus dalam jurang perzinaan. Padahal secara umum tujuan diterapkannya hukum Islam adalah “menolak kerusakan dan menarik kemaslahatan”.
Perbedaan itu adalah suatu hal yang menarik untuk diperbincangkan, karena dengan adanya perbedaan pendapat itu akan muncul ide yang baru, yang dapat diterima oleh keadaan. Namun demikian nampaknya pada jati diri para ulama’ mazhab ada sikap sportif dan toleran apabila dihadapkan pada fenomena tersebut, serta konsisten pada firman Allah SWT, yaitu:
Artinya: “ kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu aka kembalikanlah ia kepada Allah SWT. dan Rasulanya, jika hari kemuadian yang demikian itu lebih utama nbagimu dan lebih baik akibatnya”.
Lebih-lebih pada era sekarang ini, sudah tidak zamanya lagi menekankan secara sepihak tanpa pertimbangan yang moderat, sehingga Islam terkesan tidak fleksible terhadap kemajuan zaman, yang ada hanyalah istilah Islam tradisional. Sebagai akibatnya kemudian hari adalah taqlid, yaitu mengikuti perndapat orang tanpa mengetahui argumentasinya (hujjahnya). Dan masih sebagian umat yang berbuat demikian.
Bagaimanapun juga ulama-ulama sepakat bahwa hukum Islam baik secara mujmal atau mafassal adalah untuk mencegah kerusakan dunia dari perbuatan manusia, dan untuk mendapatkan kemaslahatan umat, menegakkan kebenaran dan keadilan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang batasan minimal mahar dalam perkawinan ?
2. Mengapa Imam Syafi’i tidak membatasi jumlah mahar dalam perkawinan sedangkan Imam Malik membatasinya dan bagaimana akibat hukumnya terhadap status perkawinan ?
3. Apa perbedaan dan persamaan antara perbedaan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang batasan minimal mahar dalam perkawinan ?
C. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahu pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang batasan minimal mahar dalam perkawinan.
2. Untuk mengetahui sebab-sebab Imam Syafi’i tidak membatasi jumlah minimal mahar sedangkan Imam Malik membatasinya serta akibat hukumnya.
3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang batasan minimal mahar.
D. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan dari penyusunan penilitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai sarana untuk mengembangkan wacana berfikir umat tentang hukum Islam, khususnya dalam mengikuti pendapat Imam Mazhab.
2. Sebagai penambah informasi dan wawasan pengetahuan tentang batasan minimal mahar dalam perkawinan.
3. Sebagai sumbangan pemikiran mengenai cara pemecahanya menurut syari’ah Islam. Kalau ada perkawinan terhambat disebabkan karena tidak punya mahar.
4. Untuk menambah hasanah keilmuan tentang mahar khususnya dan hukum Islam pada umumya.
E. DefinImam Syafi’ii oprasional
Terdapat konsep-konsep yang termasuk dalam judul penelitian ini yang perlu dijelaskan definisi oprasionalnya dengan tujuan agar diperoleh pengertian yang jelas dan batasan-batasan yang tegas terhadap permasalahanya, yaitu:
1. Batasan Minimal
i. Batasan mempunyai arti 1. Batas, sempadan, perhinggan. 2. Penjelasan (ketentuan) arti, definisi.16 Sedangkan batas mempunyai arti ketentuan yang tidak boleh dilampaui.17
ii. Minimal mempunyai arti serendah-rendahnya; sekurang-kurangnya; paling sedikit.18
Maksud batasan minimal dalam penelitian ini adalah batas atau ketentuan serendah-rendahnya yang tidak boleh dilampaui pelaksanaannya atau pembayarannya dan kalau batasan tersebut dilampauinya, akad yang dilakukan bisa tidak sah atau menuntut konsekuesi lain seperti mahar misil.
2. Mahar
Mahar mempunyai arti pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib yang tidak dapat diganti dengan lainnya.19
3. Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.20
Maksud dari judul penelitian “Batasan Minimal Mahar Dalam Perkawinan” adalah batas atau ketentuan serendah-rendahnya mahar (berupa materi) yang diberikan suami kepada istrinya baik sebelum, sesudah atau pada waktu akad perkawinan, dan batasan tersebut tidak boleh dilampaui dalam pembayarannya.
F. Metode penelitian
Metode penelitian ini terbagi dalam tiga hal yaitu :
1. Metode penggalian data
Dalam penelitian ini, teknik penggalian data yang penulis gunakan adalah literair yaitu mengamati, membaca, mempelajari dan menelaah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang batasan minimal mahar dalam perkawinan yang terdapat dalam kitab-kitab karangannya (sebagai sumber data primer) dan kitab-kitab lainnya (sebagai sumber data sekunder) yang relevan dengan masalah yang dibahas kemudian dianalisis dan disimpulkan.
Adapun sumber data primer dan sekunder yang dijadikan acuan dan landasan teori antara lain :
i. Kitab – kitab primer
1). Al-Umm karya Imam Syafi’i
2). Al- Muwatta’ karya Imam Malik
3). Al- Mudawwanah Al-Kubro karya Imam Malik
ii. Kitab – kitab sekunder
1). Nihayatul Muhtaj karya Syamsuddin Muhammad
2). Al - Muhazzab karya Abu Imam Syafi’ihaq Ibrahim
3). Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd
4). Al - Kafi fi Fiqhi Ahli Al-Madinah karya Imam Qurtuby
5). Al – Mustawa Syarhu Al – Muwatta’ karya Imam Dahlan
6). Al – Fiqhu Al – Islami karya Wahhab Az – Zuhaili
7). Fathur Rohim karya Muhammad bin Ahmad
8). Ahkam Al – Zuwaj karya Imam Dairobi
9). Kifayah Al- Akhyar karya Imam Taqiyuddin
10). Al – Fiqhu ‘Ala Al – Mazahib Al – arabi’ah karya Abdul Rahman Al – jaziri
11). Tanwir Al – Qulub karya Imam Muhammad Amin Al – Kurdi
12). Al – Iqba’ karya Imam Syarbani
13). Al – Bukhari karya Imam Bukhari
14). As – Syarqawi karya Syarqawi
15). Al – Bajuri karya Imam Abu Bakar
16). I’anah Al – Talibin karya Imam Abu Bakar
17). Fath Al – Wahhab Imam Zakariya Al – Anshari
18). Tafsir Al – Maragi karya Ahmad Musthofa Al – Maragi
19). Tafsir An – Nawawi karya Imam Nawawi Al – Jawi
Adapun data data (dalam hal ini pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i) yang berhasil dikumpulkan adalah:
- Menurut Imam Syafi’i mahar tidak ada batasan minimal secara spesifik.
- Menurut Imam Malik, batasan minimal mahar tiga dirham/seperempat dinar.
2. Teknik pengolahan data
Teknik pengolalahan data dengan menggunakan tahapan:
i. Editing yakni pemeriksaan kembali data-data tentang batasan minimal mahar dalam perkawinan menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kejelasan makna, keserasian, relevansi dan keseragaman data antara satu dengan yang lainnya.
ii. Pengorganisasian data yaitu mensistematikan susunan data-data yang diperoleh kedalam kerangka yang sudah direncanakan.
3. Teknik Analisis Data
Mengingat sifat library researchnya penelitian ini, maka teknik analisis data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut :
i. Metode deduktif yaitu suatu pembahasan yang diawali dengan mengemukakan teori – teori, dasar – dasar hukum (dalil) secara general tentang mahar terlebih dahulu, kemudian dikemukakan kenyataan yang bersifat khusus dalam hal ini adalah konsep yang diformulasikan oleh Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang batasan minimal mahar dalam perkawinan dan selanjutnya menganalisisnya.
ii. Metode komparatif yaitu membandingkan antara dua hal. Dalam hal ini adalah persamaan dan perbedaan pendapat anta Imam Syafi’i dan Imam Maliki tentang batasan minimal mahar dalam perkawinan.
G. Sistematika pembahasan
Berdasarkan dari tujuan pembahasan dari judul di atas, maka sistematika pembahasan disusun bab demi bab. Pada bab I dari penelitian ini adalah bab pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Sedangkan pada bab II dipaparkan masalah mahar dalam perkawinan. Dalam pembahasan ini meliputi kedudukan mahar yang membahas masalah : pengertian mahar, dasar hukum mahar, fungsi mahar, dan syarat – syarat mahar. Dan meliputi jenis mahar dalam perkawinan yang membahas masalah: macam – macam mahar, rusak dan gugurnya mahar, pelaksanaan pembayaran mahar.
Pembahasan bab III dari penelitian ini adalah pemikiran Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang batasan minimal mahar. Pada bab ini mencakup biografi Imam Syafi’i dan latar belakang pendidikannya, pendapat Imam Syafi’i tentang batasan minimal mahar, biografi Imam Malik dan latar belakang pendidikannya, pendapat Imam Malik tentang batasan minimal mahar.
Sedangkan pada bab IV adalah analisis pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang batasan minimal mahar. Bab ini meliputi : persamaan dan perbedaan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik, analisis Imam Syafi’i terhadap fungsi mahar, analisis terhadap pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang batasan minimal mahar.
Pada bab V merupakan penutup yang meliputi kesimpulan dan saran – saran.
BAB II
MAHAR DALAM HUKUM ISLAM
Dalam hukum Islam apabila perkawinan itu sudah berlangsung sempurna secara syar’i maka pada gilirannya akad ini meminta konsekuensi dan masing-masing pihak yang melakukan akad diantaranya hak bagi Istri terhadap suaminya yang berupa mahar.
Al-Qur’an menghapus adat kebiasaan zaman Jahiliyah mengenai mahar dan memuliahkannya pada kedudukan asasi dan alami. Bahwa mahar adalah hak milik wanita itu sendiri, bukan milik ayah atau saudara laki-lakinya dan merupakam pemberian wajib dari pria untuk wanita.
A. Kedudukan Mahar
1. Pengertian Mahar
a. Pengertian secara etimologi
Dalam bahasa Arab mahar (مهر) adalah bentuk mufrad sedang bentuk jamaknya adalah مهور yang secarab lugah (etimologi) berarti maskawin.1
Sedangkan menurut Imam Ibn Al-Qasim mahar disebut juga dengan Istilah sadaq yang secara etimologi berarti sebutan suatu benda ang wajib diberikan sebab adanya nikah.2benda diberikan itu disebut sadaq karena memberikan kesan bahwa pemberi sesuatu itu benar-benar menunjukkan rasa cinta dengan ditandai adanya pernikahan.3
Dalam Istilah ahli fiqh disamping dipakai Istilah Faridah dan Ajrun. Dan dalam bahasa Indonesia dipakai Istilah maskawin. Sebagian ulama menyebut maskawin menjadi 8 Istilah yang dihimpun dalam syair yaitu “sadaq”, “mahar”, “nihlah”, “faridah”,”haba”, “ajr”, “aqr”, dan “’ala’iq”.4
Kata sadaq dengan fathah sadnya dan dengan kasrah (sidaq) diambil dari kata “sidqun” (kebenaran) untuk membenarkan cinta suami terhadap calon Istrinya.
Sadaq (mahar) bisa juga diartikan penghormatan kepada Istri. Bentuk jamak dari sadaq adalah asdiqah untuk jamak sedikit dan suduq untuk jamak banyak.5
b. Pengertian Secara Terminologi
Pengertian mahar secara terminology sebagaimana dijelaskan Al-Jaziri sebagai berikut :
ااما معناه اصطلاحا فهو اسم للمال الذي يجب للمرأة في عقد النكاح في مقابلة الإستمتاع وفي الوطء بشبهة او نكاح فاسد او نحو ذالك
Artinya : “Adapun makna sadaq secara istilah adalah nama untuk sebuah harta yang wajib diberikan kepada wanita dalam akad nikah sebagai perimbangan karena memanfaatkan wanita tersebut untuk bersenang-senang, juga dalam wati subhat, nikah fasid atau yang semisal dengan itu”.6
Menurut Sayyid Sabiq mahar adalah pemberian wajib dari suami pada Istri sebagai jalan yang menjadikan istri berhati senang dan rida menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya.7
H. S. A. Al-Hamdani dalam risalah nikah menyatakan : maskawin atau mahar ialah pemberian seorang suami kepada istri sebelumnya, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib yang tidak diganti dengan lainnya.8
Sebagaian ulama’ Hanafiah mendefinisikan mahar sebagai berikut :
المهر هو ما تستحقه المرأة بعقد النكاح او الوطء
“ Mahar adalah sesuatu yang berhak dimiliki oleh seorang wanita sebab adanya akad nikah atau wati”.9
Sedangkan menurut sebagaian ulama’ Malikiyah mahar adalah
المهر هو ما يجعل للزوجة في نظير الإستمتاع بها
“Mahar adalah sesuatu yang dijadikan (dibayarkan ) kepada Istri sebagai imbalan atas jasa pelayanan seksualitas”.10
Malikiyah memandang bahwa mahar yang diwajibkan dalam nikah sebagai alat pembayaran bagi istri atas jasa pelayanan seksualitas pada suami, dan ini merupakan pandangan yang materialis.
Imam Zakariya Al-Anshori mendefinisikan Sidaq/ mahar sebagai berikut :
ما وجب بنكاح او وطء او تفويط بضع قهرا كارضاع
“Sesuatu yang diwajibkan sebab nikah, persetubuhan atau hilangnya manfaat budu’ dengan terpaksa seperti terjadinya susunan.”11
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mahar adalah pemberian calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang atau ja yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dr. Hamuda dalam bukunya The Family Structur in Islam menyatakan bahwa mahar merupakan bentuk pembayaran yag bersifat simbolis. Simbol tanggung jawab dari pihak lelaki untuk menjamin keamanan hak dan kesejahteraan keluarga setelah perkawinan terwujud.12
Apabila diperhatikan pengertian-pengertian tentang mahar diatas maka dapat disimpulkan bahwa mahar adalah harta yang diberikan oleh suami kepada Istri sebagai pemberian wajib dalam ikatan perkawinan yang sah dan merupakan tanda persetujuan serta kerelaaan mereka untuk hidup sebagai suami Istri.
2. Dasar Hukum Mahar
suatu kelebihan syari’at Islam dengan syari’at yang lainya antara lain dalam hal memulyakan wanita. Dalam hukum Islam diwajibkan seorang laki-laki yang hendak nikah dengan seorang wanita untuk memberikan mahar. Meskipun pemberian mahar tersebut hanya sebagai simbol atas kecintaan ( cinta kasih ) seoorangcalon suami benar-benar mencintainya. Demikian juga calon Istri, bahawa penerimaan mahar tersebut sebagai simbol tentang tanggung jawab seorang wanita terhadap harta atau apa saja yang di amanatkan suami kepadanya.
Perintah pembayaran mahar ini didasarkan atas firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi :
واتوا انساء صدقاتهن نحلة فإن طين لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” 13
Dalam ayat 4 surat An-Nisa’d iatas yang dimaksud dengan kata nihlah adalah merupakan pemberian yang berdasarkan pada suka rela. Ini berarti bahwa mahar adalah hak milik si wanita itu sendiri, bukan milik ayah atau saudara laki-lakinya, dan merupakan pemberian dan hadiah dari pria kepadanya.
Dengan demikian sungguhpun dokumen klasik masih mengandung peninggalan dari konsep orisinil (jahiliyah) yang menganggap bahwa perkawinan adalah sebagai macam jual beli, namun Islam telah berusaha untuk meninggalkan pandangan yang menganggap bahwa mahar sebagai harga beli wanita.
Al-Qur’an telah menunjukkan tiga pokok dasar dalam tersebut diatas. Pertama, mahar disebut sebagai saduqah dan tidak disebut mahar. Saduqah berasal dari kata sadaq, mahar adalah sidaq atau saduqah karena ia merupakan suatu pertanda kebenaran dan kesungguhan cinta kasih pria.
Menurut Raqib Isfahami dikitabnya “Mufradat garib Al-qur’an” alasan “sadaqah” ditulis “saduqah” disini adalah karena ia merupakan pertaanda keikhlasan rohani. Kedua kata ganti hunna (orang ketiga jamak femina) dalam ayat ini berarti mahar itu menjadi hak milik wanita sendiri, bukan hak ayahnya atau ibunya. Mahar bukanlah upah atas pekerjaan membesarkan dan memelihara si anak perempuan. Ketiga, nihlatan (dengan sukarela, secara spontan, tanpa rasa enggan) menjelaskan dengan sempurna bahwa tidak mengandung maksud lain kecuali sebagai pemberian hadiah.14 Ibn Abbas dan Qatadah menafsirkan lafad nihlah sebagai faridah (pemberian wajib) karena nihlah secara etimologi berarti agama, syari’ah danjalan untuk pergi.15
Perintah pembayaran mahar juga tercantum dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 25 yang berbunyi :
فانكحوهن بإذن اهلهن وأتوهن بالمعروف
“….karena itu kawinlah mereka dengan siizin keluarga (orang tua) dan berilah maskawin menurut yang patut…..”16
juga terdapat dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Sahal bin Said, ketika ada seseorang wanita yang datang kepada Rasul dan menawarkan diri untuk dinikahi. Sedangkan Nabi tidak berminat pada wanita tersebut namun ada seorang sahabat yang menginginkan wanita tersebut untuk dijadikan Istrinya, dan Nabi memerintahkan kepada sahabat tersebut untuk memberi mahar kepada wanita yang akan dinikahi itu. Adapun bunyi hadistnya sebagai berukut:
عن سهل بن سعيد قال جاءت إمرأة إلى ؤسول الله فقالت إني وهبت من نفسي فقامت طويلا فقال رجل زوجنيها إن لم تكم لك بها حاجة قال هل عندك من شيئ تصدقها فال ما عندي إلا إزاري فقال إن أعطيتها اياه جلست لا إزارلك فلتمس شيئا فقال إلتمس ولو خاتما من حديد فلم يجد فقال امعك من القرأن شيء قال نعم سورة كذا لسور سماها فقال زوجنا بما معك من القرأن (رواه اليخاري ) 17
Artinya : “ Dari Sahl bin As’ad, Sahl berkata : seorang perempuan pernah datang kepada Rasulullah lalu berkata : “sesungguhnya aku berikan diriku untukmu”, maka wanita iu tetap saja berdiri dalam waktu yang lama, maka seoarang lelaki berkata “kawinkah dia denganku jika engkau tidak berminat kepada dia”, maka Rasulullah berkata “adakah engkau memiliki sesuatu yang dapat disedekahkan kepadanya ?”, lelaki itu menjawab “saya tidak punya sesuatu pun kecuali kainku ini”, maka rasulullah SAW berkata “jika kain itu kau berikan kepadanya, maka kamu akan duduk tanpa memakai kain. Maka carilah sesuatu yang lain” lelaki itu berkata “ saya tidak mendapatkan sesuatu pun”, maka rasulullah berkata “carilah walaupun sebuah cincin dari besi”, tapi lelaki itu juga tidak mendapatkan sesuatu pun. Lalu Rasulullah bertanya “ apakah engkau hafal surat dari al-Qur’an”, laki-laki itu menjawab “Ya, saya hafal surat ini, surat ini”, beberapa ayat disebutkannya. Maka Rasulullah SAW berkata “telah kunikahkan kamu dengan mahar surat Al-Qur’an yang engkau hafal.”
Mengenai status hukum mahar, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Malik mahar merupakan rukun nikah.18 Dan sebagai konssekuensinya jika memakai sigat hibah, maka mahar harus disebut ketiak akad nikah, jika tidak, maka nikahnya tidak sah.19 Sedangkan selain Imam Malik dari ketiga imam madzhab berpendapat bahwa mahar termasuk syarat syahnya nikah, oleh karena itu tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya.20
Wahbah zuhaili berpendapat bahwa mahar bukanlah rukun dan syraat sahnya nikah, tetapi hanya merupakan konsekuensinya logis yang harus dibayarkan dengan adanya akad nikah.21
3. Fungsi-Fungsi Mahar
Salah satu usaha Islam daalama memperhatikan dan menghargai wanita yaitu memberi hak untuk memegang usahanya. di zaman jahiliyah hak wanita dihilangkan dan dImam Syafi’iia-siakan, lalu Islam datang mengembalikan hak-hak itu. Kepadanya diberi hak mahar, dan kepada suami diwajibkan memberi mahar kepadanya bukan kepada ayahnya dan kepada orang yang paling sekat kepadanya.
Mahar atau maskawin adalah bagian esensial pernikahan dalam Islam. Tanpa maskawin sebuah pernikahan tidak dapat dinyatakan telah dilaksanakan dengan benar. Maskawin harus ditetapakan sebelum pelaksanaan akad nikah. Dan merupakan hak mutlak seorang wanita untuk menentukan besarnya maskawin (mahar ). Apabila mahar sudah ditentukan bentuk dan besar kecilnya, maka barang itulah yang wajib dibayarkan. Tetapi bila tidak ada ketentuan sebelumnya, dan tidak disebutkan bentuknya diwaktu akad nikah., maka bagi suami harus membayar yang sesuai dengan tingkatan (status ) Istrinya ( mahar misil ).22
Dalam pandangan Islam, mahar merupakan hak absolut wanita dan semata-mata hanya peemberian atau hadiah dari seorang pria. Pandanagan ini tersurat dengan tegas dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 14.
Mustafa al-marogi menambahkan bahwa mahar juga berfungsi sebagai alat bukti atas kesungguhan atau kuatnya hubungan dan ikatan yang akan dijalani oleh kedua belah pihak.23
Mahar sama sekali tidak dimaksudakan sebagai upah atas pekerjaan memelihara dan membesarkan anak-anak yang lahir akibat perkawinan tersebut, atau lebih-lebih sebagai imbalan atas jasa pelayanan seksual yang diberikan Istri kepada suami.
Mahar juga bukan untuk menghargai atau menilai perempuan, melainkan sebagai bukti bahwa calon suami sebenarnya cinta kepada calon Istrinya, sehingga dengan sukarela hati ia mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada Istrinya, sebagai tanda cinta dan sebagai pendahuluan bahwa si suami akan terus menerus memberi nafkah kepada Istrinya, sebagai suatu kewajiban suami terhadap Istrinya.24 Oleh karena itu, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berupa uang, barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Para Imam mazhab (selain Imam Malik) sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad, tetapi merupakan salah satu konsekuensi adanya akad. Karena itu, akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut) mahar, dan bila terjadi percampuran, ditentukan mahar misil, dan jika kemudian si Istri ditalak sebelum dicampuri maka dia tidak berhak atas mahar, tetapi harus diberi mut’ah yaitu pemberian sukarela dari suami bisa dalam bentuk pakaian, cincin, dan sebagainya.25
Abdur Rahman Al-Jaziri mengatakan mahar berfungsi sebagai pengganti (Muqabalah) Istimta’ dengan Istrinya.26 Sedangkan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa mahar berfungsi sebagai imbalan jasa pelayanan seksual dan Abu hasan Ali memposisikan mahar sebagai alat ganti (iwad) yang wajib dimiliki wanita karena adanya akad nikah.27
Muhammad Amin Al-Kurdi menolak mentah-mentah pendapat Abdurrahman Al-Jaziri tentang fungsi mahar. Menurut beliau kewajiban membayar mahar bagi suami kepada Istrinya hakikatnya bukan sebagai pengganti (muqabalah) bersenang-senang dengan Istrinya melainkan sebagai suau penghormatan dan pemberian dari Allah agar tercipta cinta dan kasih sayang. Kewajiban membayar mahar dibebankan kepada suami karena suami lebih kuat dan lebih banyak yang bekerja daripada Istrinya.28
Dengan demikian mahar yang menjadi hak Istri itu dapat diartikan sebagai tanda bahwa suami sanggup untuk memikul kewajiban-kewajiban suami dalam hidup berumah tangga. Jadi jangan diartikan bahwa pemberian mahar itu sebagai pembelian atau upah bagi Istri yang telah menyerahkan dirinya kepada suami.
4. Syarat-Syarat Mahar
Mahar yang diberikan suami kepada Istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Berupa harta / benda yang berharga
Tidak sah mahar denga sesuatu yang tidak memiliki nilai harga, seperti bijinya kurma. Wahbah Az-Zuhaili menggunakan bahasa lain yaitu “mahar itu harus berupa sesuatu yang boleh dimiliki dan dapat dijual.29
2. barang suci dan bisa diambil manfaatnya
tidak sah mahar dengan khamar, babi, darah, dan bangkai, karena semua itu haram, najis dan tidak berharga. Menurut pandangan syari’at Islam. Walaupun menurut sebagian hal tersebut bernilai berharga. Disamping itu khamar. Babi, dan darah tidak boleh dimiliki oleh orang-orang Islam sehingga tidak mungkin hal tersebut ketika ijab dijadikan mahar. Tetapi kalau waktu akad nikah, khamar, babi (sesuatu yang tidak sah dimiliki orang Islam) dijadikan mahar dan disebut ketika akad, maka tasmiyah (penyebutan mahar) tersebut batal dan akadna sah. Tetapi bagi wanita tersebut wajib menerima mahar misil. Sedangkan menurit golongan Malikiyah akad tersebut batal dan difasakh sebelum dukhul, adapun setelah dukhul, akadnya sah dan wajib mahar misil.30
3. Barang Bukan Barang gasab
Gasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya.
Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab adalah tidak sah, tetapi akadnya tetap sah dan bagi calon Istrinya wajib ada mahar misil.
Tetapi seluruh golongan malikiyah apabila ketika akad disebutkan mahar yang berupa barang gasab, jika kedua mempelai megetahui kalau mahar tersebut barang gasab dan keduanya rasyid (pandai) maka akadnya rusak, dan fasakh sebelum dukhul, tetapi akadnya tetap jika telah dukhul serta wajib membayar mahar misil apabila keduanya masih kecil (tidak rasyid). Sedangkan kalau yang mengetahui hanya suaminya saja, maka nikahnya sah. Tetapi kalau pemilik benda (yang dibuat mahar) mengambil benda yang dijadikan mahar tadi.
Sedangkan menurut golongan hanafiyah, akad dan tasmiyah (penyebutan mahar) nya sah baik keduanya mengetahui atau tidak, bahwa benda yang dibuat mahar adalah gasab.Jika malik (pemilik barang) membolehkan benda tersebut dijadikan mahar, maka benda tesebut jadi mahar, tapi jika tidak membolehkan maka sang suami wajib mengganti sesuai dengan harga benda tersebut dan tidak membayar mahar misil.31
4. Bukan Barang Yang Tidak Jelas keadaannya
Tidak sah memberikan barang yang tidak jelas keadaannya atau tidak disebutkan jenisnya. Imam Syafi’i mengatakan bahwa “mahar itu tidak boleh kecuali dengan sesuatu yang ma’lum (diketahui kkeadaan dan jenisnya).32
Mahar itu tidak disyaratkan harus berapa emas atau perak, tetapi boleh dengan menggunakan harta dagangan atas yang lainnya seperti hewan, bumi, rumah dan sesuatu yang mempunyai nilai harta. Seperti halnya dengan benda – benda (materi) boleh mahar dengan menggunakan manfaat (non materi) seperti menggunakan manfaat rumah, hewan, ataupun mengajar Al-Qur’an.
B. Jenis Mahar Dalam Pernikahan
1. Macam – macam mahar
Masalah jenis mahar yang dapat digunakan untuk mahar bisa berupa sesuatu yang dapat dimiliki atau diambil manfaatnya, juga dapat dijadikan pengganti atau ditukarkan
Adapun mengenai macam – macamnya, ulama’ fiqih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua; yaitu sebagai berikut :
a. Mahar musamma
Mahar musamma adalah mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Jika akad nikah tidak disebutkan berapa besar jumlah yang diberikan kepada Istri maka perkawinannya tetap sah, kemudian yang wajib atas suami adalah batasan mahar misil
Berdasarkan bentuk atau cara pembayarannya, mahar musamma dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Mahar nu’ajjal ialah mahar yang segera diberikan kepada Istrinya.
2. Mahar mu’ajjal ialah mahar yang pemberiannya ditangguhkan, jadi tidak seketika dibayarkansesuai dengan persetujuan kedua belah pihak.33
b. Mahar musil (sepadan)
Mahar misil adalah mahar yang tidak disebut besar kadarnya, pada saat ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita, bibinya dan sebagainya. 34 Apabila tidak ada maka misil itu beralih dengan acuan wanita yang sederajat dengan dia.
Dalam menetapkan jumlah mahar yang sepadan (mahar misil) hendaknya juga mempertimbangkan kedudukan seseorang dalam kehidupannya, status sosial, pihak-pihak yang menikah itu dan dapat berbeda dari satu tempat ketempat lain, dari satu negeri ke negeri yang lain.
Dalam hal ini janganlah dianalogikan bahwa mahar adalah harga yang harus dibayarkan untuk mendapatkan suatu ikatan perkawinan dan jangan pula dianggap perkawinan itu sebagai bentuk jual beli. Dala, perkawinan, Islam betul-betul memelihara hak Istri atas suatu kedudukan ekonomi yang sesuai dengan kedudukan sosialnya sendiri.
Mahar misil juga terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut :
1. Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan Istri atau menunggal sebelum bercampur.
2. kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur dengan idtri dan ternyata nikahnya tidak sah.35
dalam hal ini nikah tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya, maka nikahnya disebut nikah tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama’ diperbolehkan.36 karena berdasarkan firman Allah :
لا جناح عليكم إن طلقتم النساء ما لم تمسهوهن او تفرضوا لهن فريضة
Artinya : “Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan Istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum menentukan maharnya…..”37
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan Istrinya sebelum digauli dan belum pula ditetapkan jumlah mahar terentu kepada Istrinya itu. Dalam hal ini maka Istri berhak menerima mahar misil. Selain itu ayat di atas tidak dimaksudkan dalam suatu perkawinan, suami dibolehkan tidak menyebut kesediaan suami memberi mahar pada Istri pada saat ijab qabul.
Bila seorang kawin tanpa menetapkan jumlah mahar terlebih dahulu, bahkan mensyaratkan tanpa adanya mahar tanpa sekali, maka ada orang yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut tidak sah. Demikian pendapat Imam Malik dan Ibnu Hazm. Jika ada syarat tanpa mahar sama sekali, maka perkawinannya batal.38 Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
كل شرط ليس في كتاب الله عز وجل فهو باطل
Artinya : “ Semua syarat yang bukan berasal dari kitab Allah, maka (syarat) itu batal,”39
Sedangkan syarat di atas sudah menyalahi hukum Allah yaitu tanpa mahar, maka syarat itu batal dan perkawinannya dipandang tidak sah selama tidak membetulkan yang batal itu. Karena itu perkawinan dengan syarat tanpa mahar adalah tidak sah. Tetapi golongan Hanafi berpendapat “boleh”, sebab mahar tidak termasuk dalam rukun dan sahnya perkawinan.40
Kemudian dalam pemasalahan mahar misil ini ulama’ berbeda pendapat tentang hal itu :
Pertama : Jika Istri menuntut penentuan mahar, sedangkan kedua suami Istri mempersengketakannya ?
Kedua : Jika suami menunggal sebelum ia menentukan mahar, apakah Istri berhak menerima mahar atau tidak ?
a. Jika Istri menuntut penentuan mahar
Apabila Istri menuntut penetuan mahar bagi dirinya, maka segolongan fuqaha’ berpendapat bahwa ia berhak memperoleh mahar misil dan tidak ada pilihan lain bagi suaminya.
Jika suami menceraikan Istrinya sesudah memberikan ketentuan mahar, maka segolongan fuqaha’ mengatakan bahwa Istri memperoleh separuh mahar. Segolongan yang lainnya mengatakan bahwa Istri tidak memperoleh sesuatu pun. Karena dasar penentuan mahar tidak terdapat pada waktu akad nikah dilaksanakan pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan pengikutnya.41
Imam Malik dan pengikutnya mengatakan bahwa suami boleh memilih salah satu dari tiga hal, yaitu : ia boleh menceraikan Istrinya tanpa menentukan mahar, atau menentukan jumlah mahar sebagaimana yang dianut oleh Istri, atau menetukan mahar misil dan Istri harus mau menerimanya.42
Perbedaan pendapat antara fuqaha’ yang mewajibkan mahar misil atas suami tanpa memberikan pilihan jika iamenceraikan Istrinya sesudah menentukan mahar dengan pendapat fuqaha’ yang tidak mewajibkan demikian adalah perbedaan mereka dalam memahami mafhum dari surat Al-Baqarah : 236 di atas.
Perbedaan tersebut apakah ayat itu diartikan dengan keumuman terhapunya mahar, baik talak tersebut karena persengketaan anatar suami Istri tentang penentuan mahar, ataupun talak tersebut disebabkan bukan oleh persengkataan. Demikian pula apakah dari peniadaan halangan (dosa) itu dapat dipahamkan hapusnya sama sekali, atau tidak dapat dipahamkan demikian.
b. Jika suami meninggal sebeluim menetukan mahar
Apabila suami meninggal dunia sebelum menentukan mahar dan sebelum menggauli Istrinya, maka Imam Malik daan para pengikutnya serta al-auzi berpendapat bahwa Istri tidak memperoleh mahar tetapi memeperoleh mut’ah daan warisan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Kedua pendapat ini juga diriwiyatkan oleh Imam Syafi’i, tetapi yang dijadikan pegangan dikalangan pengikutnya adalah pendapat Imam Malik.43
Perbedaan ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara qiyas dan hadits yang diriwayatkann dari Ibnu Mas’ud r.a. yang ketika ditanya tentang persoalan tersebut maka ia mengatakan :
فإني أقول فيها إن لها كصداق نساءها ولاوكس ولا شطط قال وإن لها الميراث وعليها العدة فإن يك صوابا فمن الله وإن يك خطأ فمني ومن الشيطان والله ورسوله بريئان فقال الناس من اشجع فيهم الجراح وابو سفيان فقالوا يا ابن مسعود نحن نشهد أن رسول الله صلى الله عليه وسلم فضاها فينا في بروع بنت واشق وإن زوجها هلال بن مرة الأجعي كما قضيت (رواه ابو داود) 44
Artinya : “ mengenai masalah ini saya mengatakan bahwa Istri memperoleh mahar seperti mahar wanita dari golongan ( mahar misil ) tanpa pengurangan atau berlebihan dan boleh memperoleh warisan dan wajib beriddah. Kalau hal itu benar maka itu dari allah dan jika salah, maka itu dari saya sendirii dan syaitan. Lalu kelompok kaum asyja’ diantaranya terdapat jarrah dan abu sinan berdir dan berkata “ waahaai ibnu mas’ud, kita menyaksikan bahwa rasullullah saw menghukumi masalah ini pada kita. Pada masalah baru binti wasyiq dan sumianya hilad ibnu murroh, seperti yang engkau putuskan.” ( H.R. Abu Dawud ).
Segi pertentangan qiyas dengan hadits tersebut adalah mahar merupakan pengganti. Dan karena mahar tersebut belum diterima, maka pengganti tersebut tidak diwajibkan karena disampaikan dengan jual beli.
Mengenai persoalan ini, al-muzanni mengatakan dari Imam Syafi’i bahwa apabila hadits Buru’ tersebut sahih, maka tidak ada perkataan atau alasan yang bisa dipegangi dihadapan hadits. Perkataan ( pendapatnya ) ini benar.45
2. Rusak Dan Gugurnya Mahar
Rusaknya mahar bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan. Mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar, babi dan barang-barang yang tidak boleh dimmmiliki, sedangkan mahar yang rusak karena sulit dimiliki atau dikeyahui pada dasarnya disamakan dengan jual beli.
a. Barang Yang Tidak Boleh Dimiliki
Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti khamar, babi dan buah yang belum rusak, maka Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya teatp sah apabila telah memenuhi mahar misil, akan tetapi Imam Malik berpendapat bahwa akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan ( fasakh ) sebelum dukhul. Tetapi apabila tidak dukhul, maka akad nikahnya menjadi tetap dan Istri memperoleh mahar misil.46
b. Penggabungan Mahar Dengan Jual Beli
Mengenai penggabungan mahar dengan jual beli, ulama’ fiqh berbeda pendapat seperti : jika pengantin perempuan memberikan baju kepada pengantin laki-laki, kemudian pengantin laki-laki memberikan uang membayar baju tersebut dan sebagai mahar, tanpa menyebutkan mana yang harga dan mana yang sebagai mahar, Imam Malik dan ibnul qasim melarangnya. Akan tetapi ashab daan imam abu hanifah membolehkannya.47 Sedang Imam Syafi’i tidak tegas pendapatnya dalam masalah ini. Kadang ia membolehkannya jika Istrinya rela. Sedang jika tidak rela., maka bagi perempuan tersebut barhak atas misil.48
c. Penggabungan Mahar Dengan Pemberian
Tentang penggabungan mahar dengan pemberian, ulama’ juga berbeda pendapat, misalnya dalam hal seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang diterima terdapat pemberian untuk ayahnya.
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan mahar pun sah. Sedang Imam Syafi’i berbeda pendapat bahwa mahar tersbut rusak dan Istri memperoleh mahar misil.
Adapun Imam Malik berbeda pendapat bahwa apabila syarat tersebut dikemukakan pada waktu akad nikah, maka pemberian tersebut menjadi milik pihak perempuan. Sedangkan apabila syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi milik ayah.
d. Cacat Pada Mahar
Mengenai cacat yang terdapat pada mahar, para fuqaaha juga berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa akad nikah tetap terjadi ( sah ). Kemudian mereka berselImam Syafi’iih pendapat dalam hal apakah harus diganti dengan harganya atau dengan barang yang sebanding atau juga denan mahar misil.
Imam Syafi’i terkadang menetapkan harganya dan kadang menetapkan mahar misil. Imam Malik dalam satu pendapat menetapkan harus dimuka harganya dan menurut pendapat lain diminta barang yang sebanding. Sedang menurut suhnun nikahnya batal. 49
e. Persyaratan Dalam Mahar
Fuqaha’ berselisih pendapat tentang seorang lelaki yang menagwini seoarang perempuan daengan memberiakn persyaratan bahwa apabila ia tidak mempunyai Istri lain maka maharnya adalah seratus ribu rupiah, tetapi jika ia memiliki Istri lain, maka maharyan dua ratus ribu rupiah.
Jumhur fuqaha membolehkanna,. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang kadar mahar yang wajib dalam masalah ini. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa syarat tersebut dibolehkan dan Istri memperoleh mahar sesuai dengan yang disyaratkan. Imam Syafi’i berbeda pendapat bahwa Istri memperoleh mahar misil sedang Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila suami mempunyai Istri lain, maka Istri memperoleh dua ratus ribu rupiah, tetapi jika tidak mempunyai Istri lain, maka memperoleh mahar misil. Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk membayar mahar seluruhnya apabila terdapat sebab-sebab sebagai berikut :
1. Terjadi perceraian sebelum persetubuhan dan sebabnya datang dari pihak Istri. MBisalnya Istri murtad
2. Si perempuan mengajukan fasakh karena suami miskin atau cacat.
3. Suami mengajukan fasakh karena si perempuan itu cacat.50
Dengan sebab-sebab di atas kewajiban memberi mut’ah juga gugur. Karena yang akan diganti sudah lengkap sebelum diterimakan, maka tidak ada kewajiban ganti rugi, seperti penjual yang kehilangan barangnya sebelum barang tersebut diterimakan.
Demikian juga mahar dapat gugur apabila Istri yang belum digauli melepaskan maharnya atau menghibahkan kepadanya. Dalam seperti ini, gugurnya mahar karena perempuan sendiri yang menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.
3. Pelaksanaan Pembayaran Mahar
Pelaksanaan membayar mahar boleh dilakukan tunai, hutang, atau sebagian dibayar tunai dan sebagian dihutang dengan berjanji menurut adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih :
كل ما ورد به الشرع مطلقا ولاضابط له فيه ولا في اللغة يرجع فيه إلى العرف
Artinya : “ Tiap – tiap sesuatu yang datang dari syara’ dengan mutlak dan tidak ada ketentuan dalam syara’ dan tidak pula dalam bahasa, maka dikembalikan menurut adat.”51
Akan tetapi jika sudah mempunyai semuanya, maka dImam Syafi’iunahkan membayar dengan tunai, ttapi jika tidak maka disunnahkan membayar kontan sebagian. Karena hadist Nabi SAW menyebutkan :
أَنَّ عَلِيًّا لَمَّا تَزَوَّجَ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَمَنَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى يُعْطِيَهَا شَيْئًا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيْسَ لِي شَيْءٌ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطِهَا دِرْعَكَ فَأَعْطَاهَا دِرْعَهُ ثُمَّ دَخَلَ بِهَا ُ (رواه ابو داود)52
Artinya : “….Sesungguhnya Ali ra. Ketika kawin dengan Fatimah putri Rasulullah SAW, ingin menggauli tapi Rasulullah mencegahnya sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya, ya Rasulullah “saya tidak memiliki apa-apa”, maka sabdanya “berilah baju besimu kepadanya”, maka ia memberikan baju besinya kepada Fatimah,lalu menggaulinya.” (H.R. Abu Dawud)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik dan secara hukum sunnah memberikan mahar terlebih dahulu. Nabi juga bersabda dalam hadistnya :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أُدْخِلَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا قَبْلَ أَنْ يُعْطِيَهَا َ (رواه ابو داود) 53
Artinya : “ Dari Aisyah, ia berkata “ Rasulullah menyuruh saya memasukkan perempuan ke dalam tanggungan suaminya sebelum membayar sesuatupun (maharnya).” (H.R.Abu Dawud)
Hadist itu menunjukkan suami telah boleh mencampuri Istrinya sebelum ia memberi mahar sedikitpun. Akan tetapi Al-Auzi berkata “ para ulama menganggap sunnah bagi suami untuk tidak mencampuri Istrinya sebelum sebagian maharnya.
Menurut Imam Abu Hanifah suami berhak mencampuri Istrinya baik dalam keadaan suka maupun duka walaupun maharnya diberikan secara beransur karena sebelumnya dia telah menyetujuina. Dengan demikian hak suami tidak gugur. Akan tetapi kalau maharnya kontan semuanya atau sebagian, maka suami tidak boleh mencampurinya sehingga suami melunasi dahulu pembayaran maharnya yang telah disepakati
Dari beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pembayaran mahar bias diberikan langsung terjadi akad nikah dan diberikan dengan cara berhutang, akan tetapi yang lebih baik, bahkan disunnahkan apabila akan diangsur sebaiknya diberikan langsung sebagian lebih dahulu, sedangkan kekurangannya dilakukan secara beransur-ansur.
Dalam hal penindaan mahar, terdapat dua perbedaan dikalangan fuqaha : seqolongan fuqaha berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara dihutang keseluruhan, sedangkan fuqaha yang lain membolehkannya, tetapi dengan mengajukan pembayaran sebagian mahar dimuka manakalah hendak dukhul. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Maliki.54
Ulama’ fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaan pembayaran mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila :
1. Telah bercampur (bersenggama)
Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT :
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا
Artinya : “ Dan jika kamu ingin mengganti Istrimu dengan Istri yang lain, sedangkan kamu tidak memberikan kepda seseorang diantara kamu harta yang benyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun.55
Yang dimaksud “mengganti Istri dengan Istri yang lain” pada ayat tersebut adalah menceraikan Istri yang tidak disenangi dan menikah dengan Istri yang baru.56
Sedangkan yang dimaksud pada ayat di atas adalah para suami yang bermaksud mentalak Istrinya dan menikah dengan wanita lain, sedangkan Istrinya tidak melakukan perbuatan fahisyah secara jelas, dan suami telah memberikan padanya harta yang dibayar kontan atau suami telah berjanji akan memberikan padanya harta yang dibayar kontan atau suami telah berjanji akan membayarkan kepadanya, sehingga hal itu merupakan hutang bagi suami yang harus dilunasi, maka suami tidak boleh mengambil sesuatu pun kepadanya. Bahkan suami harus membayarkan secara utuh sesuai dengan perjanjian.
Meskipun mencaraikan Istri yang lama bukan bertujuan untuk menikah, meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak diperbolehkan.57
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
وكيف تأخذونه وقد أقضى بعضكم الى بعض واخذن منكم ميثاقا غليظا (النساء : 21)
Artinya : “Bagaimana kamu kan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan ayang lain sebagai suami Istri. Dan mereka (Istri-Istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”58
2. Apabila Salah Satu Dari Suami Istri Meninggal. Demikian menurut ijma’
Mahar musamma juga wajib dibayarkan seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan Istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti : ternyata Istrinya mahram sendiri.
Akan tetapi kalau Istri diceari sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengah. Sebagaimana firman Allah SWT
وان طلقتموهن من قبل أن تمسوهن وقد فرضتم لهن فريضة فنصف ما فرضتم ...
Artinya : “ Jika kamu menceraikan Istri-Istrimu sebelum bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan …”59
Kemudian dalam hal khowat atau bersenang – senang ditempat yang sepi tapi belum terjadi persetubuhan, maka wajib tidak membayar mahar seluruhnya. Dan dalam hal ini ada perbedaan pendapat dikalangan fuqaha’ :
- Menurut Imam Malik, Syafi’i dan Abu Dawud dengan penutupan tabir hanya mewajibkan separuh mahar, selama tidak terjadi persetubuhan.
- Menurut Imam Abu Hanifah, mahar musamma wajib dibayar keseluruhan, apabila suami Istri sudah tinggal menyendiri yang sebenarnya. Artinya jika suami Istri berada disuatu tempat yang aman dari penglihatan siapapun dan tidak ada halangan hukum untuk bercampur seperti sedang berpuasa ramadlan atau Istri sedang haid.60
BAB III
PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I DAN IMAM MALIK
TENTANG BATASAN MINIMAL MAHAR
A. Imam Syafi’i
1. Biografi Imam Syafi’i dan Latar Belakang Pendidikannya.
Imam Syafi’i dilahirkan di Guzzah pada bulan Rajab tahun 150 Hijriyah / 767 Masehi. Menurut suatu riwayat pada hari itu bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah1. Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saib bin Yazid bin Hasyim bin Abdul Muttalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay al-Quraisyiy. Dengan ini jelas bahwa beliau itu adalah keturunan bangsa Arab Quraisy, dan keturunan beliau bersatu dengan keturunan Nabi SAW. Pada ‘Abdu Manaf (datuk Nabi yang ke III). Lantaran itu Imam Syafi’i dikatakan “Anak bapak saudara Rasul”2. Dan Hasyim yang tersebut dalam silsilah beliau bukan Hasyim datuk Nabi. Sedang Hasyim datuk Nabi ialah hasyim bin ‘Abdu Manaf dan Hasyim ini anaknya Ukhai.
Adapun nasab Imam Syafi’i dari ibunya adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Fatimah binti ‘Abdullah bin Al-Hasan bin Husain bin ‘Ali bin Abi Talib (paman Nabi SAW). Dengan demikian ibu Imam Syafi’i adalah cucu dari ‘Ali bin Abi Talib, menantu Nabi Imam Syafi’i dilahirkan ibunya dalam keadaan yatim, karena ketika ia masih dalam kandungan ibunya, ayahnya meninggal dunia. Kemudian setelah berusia kurang lebih dua tahun, barulah beliau dibawa pulang oleh ibunya ke kota Makkah. Dan diasuh oleh ibunya dengan penghidupan dan kehidupan yang sangat sederhana, dan kadang-kadang menderita kesulitan.
Dalam asuhan ibunya ia dibekali pendidikan, sehingga pada umur 9 tahun (ada yang berpendapat 7 tahun) sudah dapat hafal Al-Qur’an 30 J di luar kepala dengan lancar.
Imam Syafi’i kemudian pergi dari kota Makkah menuju suatu dusun Bani Huzail untuk mempelajari bahasa Arab karena di sana terdapat pengajar-pengajar bahasa Arab yang fasih. Imam Syafi’i tinggal di Huzail kurang lebih selama 10 tahun. Di sana ia belajar sastra Arab sampai mahir dan banyak menghafal syair-syair dari Imru’u Al-QaImam Syafi’i, Zuhaer dan Jarir. Dengan mempelajari sastra Arab, ia terdorong untuk memahami kandungan Al-qur’an yang berbahasa Arab.
Sebelum Imam Syafi’i pergi ke Bagdad, ia telah belajar hadits dari dua orang ahli hhadits kenamaan yaitu Sufyan bin ‘Uyainah di Makkah dan Imam Malik di Madinah.
Imam Syafi’i belajar fiqih dari Imam Malik bin Khalid Al-Zanjy seorang mufti Makkah dan pada umur 15 tahun Imam Syafi’i mendapat izin dari gurunya (Muslim bin Khalid) untuk mengajar dan memberi fatwa pada khalayak ramai. Maka beliaupun tidak keberatan menduduki guru besar dan mufti di dalam masjid Al-Haram di Makkah. Dan sejak saat itulah beliau terus memberi fatwa, tetapi walaupun demikian beliau tetap belajar ilmu pengetahuan.
Setelah beliau belajar ilmu fiqh dari Imam Muslim bin Khalid kemudian beliau ke Madinah dan menjadi murid Imam malik serta mempelajari Al-Muwatta’ yang telah dihafalnya, sehingga Imam Malik melihat, bahwa Asy-Syafi’i termasuk orang yang sangat cerdas dan kuat ingatannya. Oleh sebab itu Imam malik sangat menghormati dan dekat dengannya.3
Setelah belajar dari Imam Malik lalu beliau ke Irak, di sana beliau bergaul dengan sahabat-sahabat ‘Abu Hanifah. Dan beliau terus ke Persia dan beberapa negeri lain. Kira-kira dua tahun dihabImam Syafi’ikan untuk perjalanan ini.
Sesudah dua tahun lamanya mengembara Iman Syafi’i kembali belajar kepada guru besarnya Imam Malik di Madinah sampai Imam Malik meninggal. Setelah itu ia pergi merantau ke Yaman. Di Yaman pernah mendapat tuduhan dari khalifah Abbasiyah bahwa Imam Syafi’i telah membai’at Alawy atau dituduh sebagai syi’i. Karena tuduhan itu, maka ia dihadapkan kepada Harun Al-Rasyid, kahlifah Abbasiyah. Tetapi akhirnya Harun Al-Rasyid membebaskannya dari tuduhan tersebut. peristiwa itu terjadi pada tahun 184 H, ketika Imam Syafi’i di perkirakan berusia 34 tahun.
Tahun 195 H, Imam Syafi’i pergi ke Bagdad dan menetap di danan selama 2 tahun. Selama tinggal di Bagdad beliau menyiarkan agama, dan pendapat-pendapat beliau diterima oleh semua lapisan, baik rakyat maupun pemerintah dimana beliau tinggal. Secara intens ia bertukar pikiran dengan ulama-ulama terutama sahabat-sahabat Imam Abu Hanifah.
Kemudian beliau kembali ke Makkah untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu dan pengalaman keagamaannya. Dan pada tahun 198 h ia kembali lagi ke Bagdad dan menetap di sana beberapa bulan. Lalu pergi ke Mesir dan menetap di Mesir dsampai wafat pada tanggal 29 Rajab 198 h sesudah menunaikan sholat ‘Imam Syafi’iya’. Imam Syafi’i dikuburkan disuatu tempat di Qal’ah, yang bernama Misru Al-Qadimah.
Imam Syafi’i mempunyai dua pandangan yang dikenal dengan qoul qodim dan qoul jaded. Qoul qodim terdapat dalam kitabnya yang bernama Al-Hujjah, yang dicetuskan di Irak. Qoul Jadidnya terdapat dalam kitabnya Al-Umm yang dicetuskan di Mesir.4
Adanya dua pandangan hasil ijtihad itu, karena situasi dan kondisi turut mempengaruhi ijtihad Imam Syafi’i. Keadaan di Irak dan di Mesir memang berbeda sehingga membawa pengaruh terhadap pendapat-pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i. Qoul qodim Imam Syafi’i merupakan perpaduan antara fiqh Irak yang bersifat “rasional” dan fiqh Ahlul hadis yang bersifat “tradImam Syafi’iional”. Sedang qoul jadid Imam Syafi’i dicetuskan setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari fiqh dan hadis dari mereka serta adat-istiadat, situasi dan kondisi pada waktu di Mesir.5
2. Dasar-Dasar Hukum Yang Dipakai oleh Imam Syafi’i
Adapun pegangan Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas dan istidlal (istishab) Hal ini sesuai dengan yang disebutkan Imam Syafi’i dalam kitabnya, Al-RIsalah, sebagai berikut ;
ليس لأحد ابدا ان يقول في شيئ حل ولا حرم الا من جهة العلم – وجهة العلم الخير في الكتاب والسنة والاجماع والقياس 6
“sekali-kali tidak boleh seseorang berkata dalam hukum, ini halal dan tidak haram kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan itu adalah kitab suci Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas,”
كان علي العالم ان لا يقول إلا من جهة العلم – وجهة العلم الخير اللاوم – والقياس بالدلائل على الصواب حتى يكون صاحب العلم ابدا متبعا خيرا وطالب الخير بالقياس وطالبا قصده بالاستدلال بالاعلام مجتهدا 7
“orang yang berilmu tidak boleh berkata tentang masalah hukum kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu aadalah khabar yang tetap, dan mengqiyaskan pada dalil-dalil yang benar, sehingga seseorang ilmuwan selalu mengikuti khabar dan menggunakan khabar sebagai sandaran qiyas, serta menggunakan Istidlal untuk menggapai tujuannya dalam menetapkan hukum dengan beberapa pengetahuan sebagai seorang mujtahid”.
Dari pendapat beliau tersebut, dapat diambil kesimpulan,bahwa pokok-pokok pikiran beliau dalam mengistinbatkan hukum adalah :
a. Al-Qur’an
Imam Syafi’i mengambil dengan makna (arti) yang lahir kecuali jika didapati alasan yang menunjukkan bukan arti lahir itu, yang harus dipakai atau dituruti.
b. As-sunnah
Beliau mengambil As-Sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi ahad pun dibuat sebagai hujjah, walaupun tidak menempatkannya sejajar dengan Al-Qur’an dan Hadis Muatawatir,
Imam Syafi’i dalam menerima hadis ahad mensyaratkan sebagai berikut :
1. Perawinya terpercaya
2. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkan.
3. Perawinya dabit (kuat ingatannya)
4. Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadis itu dari orang yang menyampaikan kepadanya.
5. Perawinya tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis itu.8
c. Ijma’
Imam Syafi’i menerima ijma’ sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterngkan dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Ijma’ menurut pendapat Imam Syafi’i adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam. Namun Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijma’ yang paling kuat adalah ijma’ sahabat.9
Di samping itu Imam Syafi’i berpendapat bahwa kemungkinan ijma’ dan persesuaian paham bagi segenap ulama itu, tidak mungkin. Dengan demikian, ajaran tentang ijma’ ini pada hakekatnya bersifat negatif. Artinya, ia dirancang untuk menolak otoritas kesepakatan yang hanya dicapai pada suatu tempat tertentu – Madinah misalnya. Dengan demikian, diharapkan keberagaman yang bias ditimbulkan oleh konsep, konsensus oleh kalangan ulama di suatu tempat yang ditolaknya dapat dihilangkan.
Ijma’ yang dipakai Imam Syafi’i sebagai dalail hukum itu adalah ijma’ yang disandarkan kepada nas-nas atau ada landasan riwayat dari rasulullah SAW. Secara tegas ia mengatakan, bahwa ijma’ yang berstatus dalil hukum itu adalah ijma’ sahabat.
d. Qiyas
Imam Syafi’i memakai qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum di atas tidak tercantum. Juga dalam keadaan memaksa. Hukum qiyas yang terpaksa diadakan itu hanya mengenai kedunian atau mu’amalah, karena segala sesuatu yang bertalian dengan urusan ibadah telah cukup sempurna dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
e. Istidlal (istishab)
Maulana Muhammad Ali dalam bukunya Islamologi menyatakan bahwa Istidlal makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dengan barang lain. Dua sumber utama yang diakui untuk ditarik kesimpulannya ialah adat kebiasaan dan UU agama yang diwahyukan sebelum Islam. Diakui, bahwa adat kebiasaan yang lahir di tanah Arab pada waktu datang Islam yang tidak dihapus oleh Islam, mempunyai kekuasaan hukum. Demikian pula pada adat dan kebiasaan yang lazim dimana-mana, jika tidak bertentangan dengan jiwa Al-Qur’an atau tidak terang-terangan dilarang oleh Al-Qur’an, juga diperbolehkan karena menurut peribahasa ahli ilmu yang sudah terkenal : “Diijinkan sesuatu atau al-Ibahah adalah prinsip asli, oleh karena itu apa yangtidak dinyatakan haram diijinkan”. Oleh karena itu Imam Syafi’i memakai jalan Istidlal dengan mencari alasan atas kaidah-kaidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus oleh Al-Qur’an. Beliau tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau hasil pemikiran manusia.10
3. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Batasan Minimal Mahar Dalam Perkawinan
Menurut Imam Syafi’i mahar adalah termasuk syarat sahnya nikah, sehingga tidak boleh mengadakan persetujuan untuk meniadakannya. Dan Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa nikah dan jual beli adalah berbeda. Hal ini tercemin dalam pendapat beliau :
إن عقد النكاح يصح بغير فريضة صداق وذالك ان الطلاق لا يقع إلا على من عقد نكاحه واذا جاز ان يقعد النكاح بغير مهر فيثبت فهذا دليل على الخلاف بين النكاح والبيوع والبيوع لا تنعقد الا بثمن معلوم والنكاح ينعقد بغير مهر 11
“sesungguhnya akad nikah itu sah tanpa ditentukan maskawinnya yang demikian itu, bahwa talak itu tidak jatuh, kecuali bagi orang yang telah melakukan akad nikah. Apabila akad nikah boleh dilakukan tanpa mahar, lalu berbeda. Jual beli tidak terjadi tanpa ditetapkan harga pastinya dan akad nikah itu sah dengan tanpa menyebutkan mahar.”
Dengan demikian jelas bahwa Imam Syafi’i membedakan antara akad nikah dengan jual-beli. Sehingga mahar yang diberikan suami kepada calon Istrinya bukan sebagai alat beli kehormatan Istri, melainkan sebagai tanda cinta suami kepada Istrinya.
Pada waktu akad nikah, disunnahkan menyebut kadar mahar yang dinerikan kepada calon Istrinya, karena Rasulullah SAW senantiasa menyebutkan mahar pada waktu akad nikah. Hal tersebut dimaksudkan untuk menafikan terjadinya khusumah antara suami Istri. Apabila tidak menyebutkan mahar pada waktu akad nikah, maka nikahnya tetap sah tetapi makruh hukumnya12. Karena maksud dari nikah oitu adalah wuslah (pertalian saudara) dari Istimta’, buakn mahar, sehingga akad nikah itu sah tanpa menyebut mahar13. tapi menyebutkan mahar pada waktu akad nikah adakalanya wajib jika calon Istri tidak layak untuk mentasarrufkan harta, karena masih kecil, idiot, atau gila.14
Mengenai kadar mahar yang harus diberikan kepada Istri, Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal mahar yang harus diberikan suami kepada Istrinya.15 Hal ini berdsarkan firman Allah:
وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَة
“Dan kamu telah memberikan kepada salah seoarang mereka (Istri-Istri) mahar yang banyak.”16
Sedangkan tentang batasan minimal mahar yang harus diberikan kepada Istri beliau berpendapat :
فأقل ما يجوز في المهر اقل ما يتمول الناس وما لو إستهلكه رجل لرجل كانت له قيمة وما يتبايعه الناس بينهم 17
“ sekurang-kurangnya yang boleh dibuat mahar adalah sedikitnya yang dipandang harta oleh manusia, dan kalau dirusakkan oleh seseorang, maka ada nilai harga (ganti rugi) baginya. Dan apa yang diperjualbelikan oleh manusia diantara sesama mereka.”
Pendapat tersebut berdasarkan hadis Rasulullah SAW :
عن ابن عباس قال : قال رسول الله صلعم : (انكحوا الايامى) ثلاثا قيل : ما العلائق بينهم يا رسول الله : ما تراضى عليه الأهلون (رواه الدارقطنى) 18
“Dari Ibn Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Nikahkanlah wanita-wanita yang tidak bersuami (janda / perawan) sampai tiga kali. Beliau ditanya apa yang menghubungkan (‘alaqah) diantara mereka wahai Rasullah ? Beliau menjawab apa yang direlai oleh yang mempunyainya.”
Tidaklah terdapat nam ‘alaqahi kecuali yang mempunyai harga, walaupun sedikit. Tidaklah terdapat nama mal dan alaqah selain sesuatu yang bernilai dan diperjualbelikan. Dan apabila dirusakkakn oleh yang merusakkan, maka ia membayar nilai harga, walaupun sedikit.
Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa segala yang boleh dijual atau disewakan boleh dijadikan mahar, dan yang tidak boleh dijual atau disewakan, maka tidak boleh dijadikan mahar19. Imam Syafi’i juga membolehkan mahar dengan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi calon Istrinya. Seperti mengajar membaca Al-Qur’an atau yang lainnya20. Pendapat tersebut berdasarkan hadis Nabi SAW :
عن سهل بن سعيد قال جاءت إمرأة إلى ؤسول الله فقالت إني وهبت من نفسي فقامت طويلا فقال رجل زوجنيها إن لم تكم لك بها حاجة قال هل عندك من شيئ تصدقها فال ما عندي إلا إزاري فقال إن أعطيتها اياه جلست لا إزارلك فلتمس شيئا فقال إلتمس ولو خاتما من حديد فلم يجد فقال امعك من القرأن شيء قال نعم سورة كذا لسور سماها فقال زوجنا بما معك من القرأن (رواه اليخاري ) 21
“ Dari Sahl bin As’ad, Sahl berkata : seorang perempuan pernah datang kepada Rasulullah lalu berkata : “sesungguhnya aku berikan diriku untukmu”, maka wanita iu tetap saja berdiri dalam waktu yang lama, maka seoarang lelaki berkata “kawinkah dia denganku jika engkau tidak berminat kepada dia”, maka rasulullah berkata “adakah engkau memiliki sesuatu yang dapat disedekahkan kepadanya ?”, lelaki itu menjawab “saya tidak punya sesuatu pun kecuali kainku ini”, maka rasulullah SAW berkata “jika kain itu kau berikan kepadanya, maka kamu akan duduk tanpa memakai kain. Maka carilah sesuatu yang lain” lelaki itu berkata “ saya tidak mendapatkan sesuatu pun”, maka rasulullah berkata “carilah walaupun sebuah cincin dari besi”, tapi lelaki itu juga tidak mendapatkan sesuatu pun. Lalu Rasulullah bertanya “ apakah engkau hafal surat dari al-Qur’an”, laki-laki itu menjawab “Ya, saya hafal surat ini, surat ini”, beberapa ayat disebutkannya. Maka Rasulullah SAW berkata “telah kunikahkan kamu dengan mahar surat Al-Qur’an yang engkau hafal.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa mahar itu boleh dalam jumlah yang sedikit, termasuk cincin dan besi, atau mengajar Al-Qur’an. Bahkan Imam Syafi’i membolehkan mahar dengan sepasang sandal atau segenggam gandum22. Imam Syamsuddin Muhammad dalam kitab Nihayatul Muhtaj menerangkan bahwa mahar itu disunnahkan tidak kurang dari 10 dirham perak murni, karena Imam ‘Abu Hanifah berpendapat mahar tidak boleh kurang dari 10 dirham serta tidak berlebih-lebihan dalam mahar.23
Walaupun Imam Syafi’i tidak membatasi jumlah maksimal mahar, tetapi beliau menganjurkan agar kadar mahar yang diberikan kepada Istri tidak melebihi lima ratus dirham, karena mencari barakah dengan menyesuaikan perbuatan yang diperbuat oleh Rasulullah SAW24. Sebab mahar yang diberikan Rasulullah SAW. Kepada Istri-Istrinya kecuali Ummu Habibah adalah dua belas setengan Uqiyah, satu Uqiyah = 40 dirham25, sehingga dua belas setengah sama dengan 500 dirham. Dan satu dirham beratnya 1,12 gram emas26. Sehingga 500 dirham beratnya 560 gram emas. Sedang yang diberikan Rasulullah kepada Ummu Habibah adalah 400 dinar. Satu dinar sama dengan 12 dirham, berarti 400 dinar sama dengan 4800 dirham atau seberat 5376 gram emas.
Imam Zakariya Al-Ansari (salah satu ulama golongan Syafi’iyah) berpendapat bahwa mahar yang lebih dari 500 dirham ketika akad hukumnya makruh27. Dan sahabat Umar dalam salah satu khutbahnya berkata : “janganlah kamu semua berlebih-lebihan dalam memberikan mahar pada wanita, karena seandainya wanita itu dimuliakan di dunia atau taqwa di sisi Allah, maka Rasulullah SAW. lebih utama daripada kamu semua tentang masalah tersebut.”28
Dari dalil tersebut, Imam Syafi’i berpendapat bahwa makruh hukumnya berlebih-lebihan dalam memberikan mahar kepada wanita. Maksudnya berlebih-lebihan yang sampai menyulitkan suami. Serta disunnahkan meringankan beban mahar. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW :
إن أعظم النكاح بركة ايسر مؤنة (رواه احمد) 29
“Perkawaiann yang paling besar berkahnya ialah yang paling ringan maskawinnya”
Kalau seorang suami akad nikah dengan mahar sesuatu yang tidak mempunyai nilai harga seperti kerikil atau biji (kelungsu = jawa) maka nikahnya tetap sah tetapi penyebutan mahar menjadi batal dan wajib membayar misil.30
B. Imam Malik
1. Biografi Imam Malik Dan Latar Belakang Pendidikannya.
Imam Malik adalah imam yang kedua dari imam empat serangkai dalam Islam. Dari segi umur beliau dilahirkan dikota Madinah suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H. / 712 M. dan wafat pada hari ahad – 10 rabiul Awal 129 H./798 M. di Madinah pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaan Harun Al-Rasyid, nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Al-Harits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Zu Asbah sebuah dusun di kota Himyar, jajahan negeri Yaman. Ibunya bernama Siti Al-‘Aliyah binti Syuraik bin Abdul Rahman bin syuraik Al-Azdiyah. Ada riwayat yang menyatakan bahwa Imam Malik berada dalam kandungan rahim ibunya dua tahun. Ada pula yang menyatakan sampai tiga tahun.
Makna tafsirnya, dihafalnya Al-Qur’an di luar kepala ketika ia mempelajari hadis Nabi SAW. dengan tekun dan rajin, sehingga mendapatkan julukan sebagai ahli hadis.
Para ahli hadis sangat mengagumi kepandaian im tentang ilmu hadis. Diantaranya adalah Imam Yahya bin Mu’in, beliau berkata : “Imam Malik adalah seorang raja bagi orang-orang yang beriman tentang ilmu hadis, yakni seoarang yang tertinggi tentang ilmu hadis. ”
Imam Syafi’i dan Imam Abdurrahman Bin Mahdi dengan Imam Yahya juga berpendapat yang sama.
Sebagai seorang ahli hadis, beliau sangat menghormati dan menjunjung tinggi hadis Nabi SAW. sehingga bila hendak memberi pelajaran hadis beliau berwudu terlebuh dahulu, kemudian duduk di atas alas sembahyang dengan tawadu’.
Adapun guru pertama yang bergaul lama serta erat adalah Imam Abdur Rahman bin Hurmuz, salah seorang ulama besar di Madinah, kemudian dia belajar fiqih kepada salah seorang ulama besar di Madinah yang bernama Robi’ah ar-Ro’yi (wafat th. 136 H). selanjutnya Imam Malik belajar ilmu hadis kepada Imam Nafi Maula Ibnu Umar (wafat Th. 177 H). dan juga belajar pada Imam Ibnu Syihab al-Zuhri.
Menurut riwayat yang dinukil Moenawar Cholil, bahwa diantara para guru Imam Malik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang. Diantara sekian banyak gurunya itu, terdapat 300 orang yang tergolong ulama tabi’in.
2. Dasar – dasar Istinbat Hukum Imam Malik
Adapun dasar – dasar Istinbat hukum Imam Malik adalah
a. Al-Qur’an
Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas Zahir nas Al-Qur’an atau keumumannya, meiputi mafhum al-Mukhafah dan mafhum al-‘Aula dengan mempertimbangkan illatnya.
b. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya penta’wilan (metafora), maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wiltersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zhahir Al-Qur’an dengan makna yang yang terkandung dalam sunnah – sekalipun syahir (jelas) – maka yang dipegang adalah makna zhahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh Al-Sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah daripada zhahir dalam Al-Qur’an (sunnah yang dimaksud di sini adalah al-Mutawatiran atau al-Masyhurah).
c. Ijma’ Para Ulama Ahli Madinah
Yang dimaksud ijma’ di sini adalah ijma’ yang asalnya dari naql, artinya ijma’ ahli Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-almalan yang berasal dari Nabi SAW. sedangkan kesepakatan ahli Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Dengan dasar ini kadang-kadang beliau menolak hadis apabila berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
d. Qiyas
Qiyas ini hanya dipegangi, kalau tak ada hadis dan asar sahabat serta ijma’ ulama Madinah.
e. Istislah (Masalihul Mursalah)
Istislah adalah mengekalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini. Adapun Masalihul Mursalah ialah memelihara tujuan – tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk.
3. Pendapat Imam Malik Tentang Batasan Minimal Mahar
Menurut Imam Malik mahar termasuk rukun nikah. Dan nikah sah tanpa menyebutkan mahar pada waktu akad nikah, kecuali dengan siqat hibbah. Jika memakai sigat hibbah maka wajib menyebutkan mahar.
Beliau juga berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal dari jumlah mahar yang wajib diberikan kepada Istri. Pendapat tersebut berdasarkan pada firman Allah:
واتيتم احداهن قنطارا
“Dan kamu telah memberikan kepada salah seorang mereka (Istri-Istri) mahar yang banyak.”
Sedangkan paling sedikitnya mahar adalah seperempat dinar, sebagaimana pendapat beliau dalam kiab Al-Muwatta’ :
لا ارى ان تنكح المرأة بأقل من ربع دينار وذلك ادنى ما يجب فيه القطع
“ Saya tidak pernah melihat seorang wanita dinikahkan dengan mahar kurang dari seperempat dinar. Dan itu dalah batasan minimal yang mewajibkan adanya potong tangan.”
Dalam hal ini, im menganalogikan mahar dengan sesuatu yang mewajibkan adanya potong tangan dalam masalah Sariqoh. Dengan jami’ “ setiap anggota tubuh yang boleh dihalalkan dengan harta, maka mesti boleh dikira-kirakan dengan harta”. Artinya im berpendapat bahwa dalam perkawinan terdapat anggota tubuh yang dihalalkan karena harta, oleh karenanya mahar harus ditentukan batas (terendah) harta yang dicari untuk dapat menghalalkan adanya hukuman potong tangan dalam sariqoh.
Ukuran seperempat dinar itu sama dengan tiga dirham atau sesuatu yang bermanfaat dan untuk dimiliki yang sebanding dengannya. Kalau satu dirham sama dengan 1,12 gram emas, maka tiga dirham sebesar 3,36 gram emas. Dalam redaksi yang lain Umar Yusuf mengungkapkan pendapat im sebagai berikut :
وكل ما يجوز بيعه جاز عقد النكاح به إذا بلغ ثمنه المقدار المذكور تحديده عند مالك
“segala sesuatu yang dijualbelikan maka boleh digunakan sebagai mahar dalam akad nikah, apabila harganya sampai pada ukuran yang ditentukan (tiga dirham) menurut im”
Apabila mahar tersebut kurang dari tiga dirham maka akadnya tetap sah, tetapi jika suami telah dukhul, maka suami wajib membayar 3 dirham secara keseluruhan, sedang kalau suami belum dukhul maka boleh memilih di antara membayar seperempat dinar/tiga dirham atau akadnya fasakh. Dan kalau memilih fasakh maka wajib membayar separuh mahar yang telah disebutkan ketika akad.
Disunnahkan bagi suami untuk membayar kontan mahar sebesar tiga dirham sebelum melakukan dukhul. Menurut im seorang wanita berhak memiliki mahar secara keseluruhan jika telah dukhul atau suami meninggal dunia, walaupun suami belum mendukhulnya.
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM MALIK
TENTANG BATASAN MINIMAL MAHAR
A. Persamaan Dan Perbedaan Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik
Setelah mencermati pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang batasan minimal mahar dalam perkawinan nampaknya hanya sedikit didapati adanya persamaan. Persamaan itu hanya didapati khusus pada masalah adannya batasan minimal, walaupun kadarnya berbeda.
Im berpendapat bahwa batsan minimal mahar adalah sesuatu yang dianggap mempunyai nilai harga oleh manusia. Seperti pendapat beliau :
فأقل ما يجوز في المهر اقل ما يتمول الناس وما لو إستهلكه رجل لرجل كانت له قيمة وما يتبايعه الناس بينهم
“paling sedikitnya sesuatu yang boleh dibuat mahar adalah sedikitnya yang dipandang harta oleh manusia, dan kalau dirusakkan oleh seseorang, maka ada baginya nilai harga. Dan apa yang diperjualbelikan oleh manusia diantara sesama mereka.”
Dalam redaksi yang lain beliau berpendapat :
وكل ما جاز ان يكون مبيعا او مستأجرا او بثمن جاز ان يكون صداقا وما لم يجز فيهما لم يجز في الصداق
“ Setiap barang yan boleh dijual atau disewakan dengan suatu harga maka boleh dijadikan mahar dan yang tidak boleh, maka tidak boleh dijadikan mahar.”
Dari pendapat tersebut penulis simpulkan bahwa Imam Syafi’i membatasi batasan minimal mahar, walaupun beliau tidak menentukan kadar minimal mahar secara spesifik. Hal ini dapat dilihat dari pendapat beliau :
فأقل ما يجوز في المهر اقل ما يتمول الناس
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa batasan minimal mahar adalah seperempat dinar atau tiga dirham. Hal ini seperti penjelasan beliau dalam kitab Al-Muwatta’ :
لا ارى ان تنكح المرأة بأقل من ربع دينار وذلك ادنى ما يجب فيه القطع
“ Saya tidak pernah melihat seorang wanita dinikahkan dengan mahar kurang dari seperempat dinar. Dan itu dalah batasan minimal yang mewajibkan adanya potongan tangan.”
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa Imam Syafi’i dan Imam malik sama-sama membatasi batasan minimal mahar walaupun kadarnya tidak sama. Sedangkan masalah perbedaan pendapat antar keduanya penulis menemukan beberapa hal, diantaranya :
1. Imam Syafi’i tidak membatasi minimal mahar secara spesifik. Beliau hanya berpendapat bahwa sesuatu yang mempunyai nilai harga bagi manusia atau sesuatu yang dijual maka dapat dijadiakan sebagai mahar. Beliau tidak menentukan besar minimal mahar secara spesifik. Beliau berpendapat bahwa batasan minimal mahar yang wajib diberikan kepada Istri adalah seperempat dinar atau tiga dirham atau sesuatu yang mempunyai nilai seharga seperempat dinar atau tiga dirham.
2. Imam Syafi’i tidak menganalogikan batasan minimal mahar dengan sesuatu yang mewajibkan adanya potong tangan. Dalam ari beliau berpendapat bahwa mahar tidak dijadikan sebagai hal yang menghalalkan adanya hubungan seksual suami Istri, seperti halnya halalnya penggunaan barang yang dibeli. Bahkan dengan jelas Imam Syafi’i berpendapat bahwa antara nikah dan jual beli tidak sama. Kalau nikah itu sah walaupun tanpa penyebutan mahar, sedangkan jual beli tidak sah kecuali dengan harga yang diketahui. Sedangkan Imam malik menganalogikan kadar minimal mahar dengan sesuatu yang mewajibkan adanya potong tangan. Karena beliau berpendapat bahwa dalam perkawinan terdapat anggota tubuih yang dihalalkan karena harta, oleh karenannya mahar harus ditentukan batas (terendahnya) sebagaimana terdapat batasan (terendah) pada hukuman potong tangan.
3. Imam Syafi’i bependapat bahwa kalua suami memberikan mahar kepada Istrinya dengan sesuatu yang tidak mempunyai nilai harga (kurang dari batasan minimal), maka wajib membayar mahar misil. Sedangkan menurut Imam Malik kalau membayar mahar kurang dari batasan minimal maka ditafsil. Kalau suami telah dukhul maka wajib meyempurnakan membayar tiga dirham. Sedangkan kalau belum dukhul maka boleh memilih antara membayar seperempat dinar atau nikahnya di fasakh.
B. Analisis Terhadap Persamaan Dan Perbedaan Pendapat Antara Imam Syafi’i Dengan Imam Malik
Telah penulis kemukakan dalam bab IV awal bahwa antara pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik terdapat persamaan dan perbedaan.
Adanya persamaan antara kedua pendapat tersebut karena antara Imam Syafi’i dan Imam Malik sama-sama memandang bahwa mahar adalah bagian esensial dalam sebuah pernikahan dan tidak dapat dihapuskan. Keduanya sama-sama berlandaskan pada firman Allah pada surat an-Nisa’ ayat 4 :
وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَة
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.”
Sedangkan adanya perbedaan antara kedua pendapat tersebut adalah karena Imam Syafi’i dalam memberikan pendapat tentang batasan minimal mahar berlandaskan pada nash, baik yang berasal dari Al-Qur’an ataupun as-Sunnah sedangkan Imam Malik berlandaskan pada qiyas seperti yang penulis jelaskan pada bab III.
Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut penulis sepakat dengan pendapat yang diformulasikan oleh Imam Syafi’i karena pendapat tersebut berlandaskan dengan nash baik dari al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Bahkan di dalam sebuah kaidah ushul fiqh ada kaidah :
إذا جاء النص بطل القياس
“Apabila telah adanya nash maka qiyas itu menjadi batal.”
Sehingga jelas kalau menurut kaidah tersebut tidak diperbolehkan qiyas kalau sudah ada nash, dan kalau menggunakan qiyas itu hukumnya batal.
C. Analisis Terhadap pendaPat Imam Syafi’i Dan Imam Malik Tentang Batasan Minimal Mahar.
Telah penulis kemukakan pada bab III bahwa Imam Syafi’i di dalam menetapkan sebuah hukum beliau berlandaskan kepada al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, bahwa “paling sedikitnya sesuatu yang boleh dibuat mahar adalah sedikitnya yang dipandang mempunyai nilai harga oleh manusia, dan kalau dirusakkan oleh seorang, maka ada baginya nilai harga”. Dan dalam redaksi yang lain beliau mengemukakan bahwa “segala sesuatu yang boleh dijual maka boleh dijadikan mahar”.
Pendapat Imam Syafi’i tersebut berdasarkan salah satu hadis sahih
عن سهل بن سعيد قال جاءت إمرأة إلى ؤسول الله فقالت إني وهبت من نفسي فقامت طويلا فقال رجل زوجنيها إن لم تكم لك بها حاجة قال هل عندك من شيئ تصدقها فال ما عندي إلا إزاري فقال إن أعطيتها اياه جلست لا إزارلك فلتمس شيئا فقال إلتمس ولو خاتما من حديد فلم يجد فقال امعك من القرأن شيء قال نعم سورة كذا لسور سماها فقال زوجنا بما معك من القرأن (رواه اليخاري )
“ Dari Sahl bin As’ad, Sahl berkata : seorang perempuan pernah datang kepada Rasulullah lalu berkata : “sesungguhnya aku berikan diriku untukmu”, maka wanita iu tetap saja berdiri dalam waktu yang lama, maka seoarang lelaki berkata “kawinkah dia denganku jika engkau tidak berminat kepada dia”, maka rasulullah berkata “adakah engkau memiliki sesuatu yang dapat disedekahkan kepadanya ?”, lelaki itu menjawab “saya tidak punya sesuatu pun kecuali kainku ini”, maka rasulullah SAW berkata “jika kain itu kau berikan kepadanya, maka kamu akan duduk tanpa memakai kain. Maka carilah sesuatu yang lain” lelaki itu berkata “ saya tidak mendapatkan sesuatu pun”, maka rasulullah berkata “carilah walaupun sebuah cincin dari besi”, tapi lelaki itu juga tidak mendapatkan sesuatu pun. Lalu Rasulullah bertanya “ apakah engkau hafal surat dari al-Qur’an”, laki-laki itu menjawab “Ya, saya hafal surat ini, surat ini”, beberapa ayat disebutkannya. Maka Rasulullah SAW berkata “telah kunikahkan kamu dengan mahar surat Al-Qur’an yang engkau hafal.”
Penulis sepakat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i bahwa segala sesuatu yang mempunyai nilai harga dan dapat diperjualbelikan dapat digunakan sebagai mahar. Terbukti dalam hadis itu Rasulullah SAW.mengemukakan dengan lafaz “ ولو خاتما من حديد ” (walau sebuah cincin dari besi). Padahal cincin dari besi hanya mempunyai nilai harga ang sangat sedikit sekali. Ini menunjukkan bahwa tidak ada batasan terendahnya secara spesifik, tentu beliau menjelaskannya, padahal menurut kaidah ushul fiqh tidak boleh mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan, seperti kaidah
تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز
“penundaan penjelasan dari waktu dibutuhkannya itu tidak boleh terjadi”
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari juga menunjukkan bahwa mahar iu juga boleh dengan sesuatu yang bermanfaat seperti mengajar al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat dari hadis زوجنا بما معك من القرأن (kunikahkan kamu dengan mahar surat Al-Qur’an yang kamu hafal). Dari yang disampaikan Rasulullah SAW. ini semakin memperkuat bahwa tidak ada batasan minimal mahar secara spesifik. Menurut penulis, mengajar al-Qur’an disini dieprbolehkan sebagai mahar karena mengajar itu mempunyai nilai harga, dalam arti orang yang mengajar itu boleh untuk mendapatkan upah mengajar, dan segala sesuatu pekerjaan yang boleh dinilai dengan harta, maka boleh dijadikan mahar. Asalkan pekerjaan itu diperbolehkan oleh syariat Islam. Bahkan di dalam al-Qur’an surat al-Qasas ayat 27 Allah menjelaskan bahwa Nabi Syuaib menikahkan salah satu putrinya dengan Nabi Musa dengan mahar bekerja sebagai pengembala selama delapan tahun, seperti dalam firman Allah :
قال إني اراد أن أنكحك احدى ابنتي هاتين على ان تأجر ني ثماني حجج
“Berkata dia (syu’aib): sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku selama delapan tahun.”
Pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada batasan minimal mahar secara spesifik, juga sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 24 :
وأحل لكم ما وراء ذلكم ان تبتغوا بأموالكم
“Dan dihalalkan bagi kamu sekalian yang demikian (selain dari macam – macam wanita yang disebutkan dalam ayat 23 dan 24) yaitu mencari Istri-Istri dengan hartamu”.
Pada ayat tersebut tidak ditentuakan jumlah harta benda (mal) yang dijadikan mahar, sehingga ayat tersebut diamalakan secara mutlak.
Bahkan dalam sebuah hadis Nabi SAW. dijelaskan :
عن عامر بن ربيعة ان امرأة من بني فزارة تزوجت على نعلين . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ارضيت عن نفسك ومالك بنعلين ؟ فقالت نعم . فأجزاه (رواه الترمذى)
“Dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang perempuan dari bani fazarah dinikahkan dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah SAW. bersabda “apakah engkau relakan dirimu dan milikmu dengan sepasang sandal ?” jawabnya, “ya”. Lalu Nabi membolehkannya.” (HR.at-Tirmizi)
Menurut Imam ‘Abu ‘Isa Hadis tersebut adalah hadis hasan sahih
sedangkan dalam hal adanya hadis yang membatasi batasan minimal mahar seperti hadis yang diriwayatkan dari jabir :
لاصداق دون عشرة دراهم
“Tidak ada mahar dengan jumlah yang kurang dari sepuluh dirham”
penulis berpendapat bahwa andai hadis itu sahih, tentu dapat menghilangkan silang pendapat. Karena dengan adanya hadis itu maka seharusnyalah hadis Sahl bin Sa’ad diartikan kepada pengertian khusus. Tetapi hadis itu dianggap lemah oleh para ahli hadis mereka mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Mubasysyir bin ‘Ubaid dari al-Hajjaj bin Arta’ah dari ‘Ata’ dari jabir RA. Padahal Mubasysyir dan Hajjaj keduanya dianggap lemah, sementara ‘Ata’ sendiri tidak pernah bertemu dengan Jabir. Oleh kerenanya dapat dikatakan bahwa hadis Jabir RA. bertentangan dengan hadis Sahl bin Sa’ad.
Sedangkan dalam hal pendapat im yang menyatakan bahwa “batasan minimal mahar adalah seperempat dinar atau tiga dirham”, penulis kurang sepakat. Karena dasar yang digunakan im adalah qiyas. Beliau mengqiyaskan jumlah minimal mahar dengan jumlah harta yang diberi yang mewajibkan adanya potong tangan dengan jami’ “setiap tubub yang dihalalkan dengan harta maka mesti boleh dikra-kirakan dengan harta”. Artinya dalam perkawinan terdapat anggota tubuh yang dihalalkan karena harta, oleh karenanya mahar harus diputuskan batas (terendah, sebagaimana batasan (terendah) pada hukuman potong tangan). Penulis kurang sepakat dengan pengqiyasan tersebut karena terdapat beberapa kelemahan diantaranya :
a. Potong tangan merupakan suatu kebolehan sebagai suatu hukuman, penderitaan dan pengurangan anggota badan, sedangkan jima’ merukan suatu kebolehan sebagai suatu kenikmatan dan kasih sayang.
b. Dalam hal potong tangan bukan penggunaan (pemanfaatan) anggota, tetapi pemotongan, sedang dalam jima’ merupakan penggunaan (pemanfaatan) anggota tubuh, bukan pemotongan.
c. Akad nikah tiak hanya membolehkan pemanfaatan satu anggota tubuh saja, tetapi seluruh anggota tubuh, sedangkan dalam masalah sariqah hanya boleh menggunakan (pemotongan) satu anggota tubuh saja.
Dan penulis berpendapat bahwa Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar yang harus diberikan kepada calon Istri. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara sesama manusia. Ada orang yang kaya, ada pula yang miskin, ada yang lapang dan ada pula yang sempit rizkinya. Disamping itu setiap masyarakat mempunyai masalah mahar diserahkan berdasarkan kemampuan masing-masing orang, sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku di masyarakat. Segala nas yang memberikan keterangan tentang mahar tidaklah dimaksudkan, kecuali untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa melihat besarnya jumlah. Jadi boleh memberi mahar misalnya dengan cincin besi, segantang kurma atai mengajarkan Al-qur’an, dan sebagainya, asal saja sudah saling disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan akad.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Imam Syafi’i berpendapat bahwa batasan minimal mahar adalah sedikitnya yang dipandang harta oleh manusia, atau setiap barang yang boleh dijualbelikan. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa batasan minimalnya adalah seperempat dinar atau tiga dirham.
2. Imam Syafi’i tidak membatasi jumlah minimal mahar secara spesifik karena berlandaskan hadis “carilah walau sebuah cincin dari besi”, dan kalau mahar berupa barang yang tidak mempunyai nilai harga (kurang dari batasan minimal) maka akad nikahnya tetap sah, tetapi suami wajib membayar mahar misil. Sedangkan Imam Malik membatasi jumlah minimal mahar secara spesifik karena menganalogikan mahar dengan hukuman potong tangan dalam masalah sariqoh, sedang kalau mahar kurang dari tiga dirham akadnya tetap sah, tetapi jika suami telah dukhul maka wajib menyempurnakan tiga dirham.
3. Pesamaan dan perbedaan penadapat Imam Syafi’i dan Imam Malik adalah :
- persamaan : sama – sama membatasi batasan minimal mahar.
- Perbedaannya :
a. Kadar minimal menurut Imam Syafi’i tidak ada batasan secara spesifik sedangkan Imam Malik ada (tiga dirham)
b. Imam Malik menganalogikan batasan minimal mahar dengan potong tangan, sedang Imam Syafi’i tidak menganalogikan batasan minimal mahar dengan potong tangan karena bersandar pada nash.
c. Jika mahar kurang dari minimal, menurut Imam Syafi’i suami wajib membayar mahar misil. Sedangkan Imam Malik bukan mahar misil.
B. Saran – Saran
1. Penelitian ini hendaknya dijadikan barometer (tolak ukur) bahwa tidak semua pendapat yang benar itu pantas untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat.
2. Kepada seluruh pembaca, janganlah adanya perbedaan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, terutama dalam hal batasan minimal mahar, yang dijadikan ajang untuk menjatuhkan individu atau kelompok yang satu dengan individu atau kelompok lain yang berbeda.
3. hendaknya permasalahan mahar jangan dijadikan kendala bagi insane yang sudah ada himmah untuk melaksanakan pernikahan.