1. Pengertian Pengolahan Data
Pengolahan data adalah kegiatan pendahuluan dari analisa kuantitatif, dan pembicaraannya akan meliputi pokok-pokok soal mengenai editing dan koding. Setelah kegiatan pendahuluan ini selesai dibicarakan, barulah menyusul uraian tentang tabulasi, baik yang dibuat untuk menyusun distribusi atau persebaran frekuensi data, maupun yang dibuat untuk menysun klarifikasi silang. Sebagai penutup akan ditambahkan sekedar uraian tentang beberapa prosedur yang mudah untuk mengukur besar-kecilnya hubungan yang ada antara dua variabel yang tengah ditabulasi silang.1
2. Editing
Apabila para pencari data (pewawancara ataupun pengobservasi) telah memperoleh data-data, maka berkas-berkas catatan informasi akan diserahkan kepada pengolah data. Kewajiban pengolah data yang pertama adalah meneliti catatan para pencari data itu untuk mengetahui apakah catatan-catatan itu sudah cukup baik dan dapat segera disiapkan untuk keperluan proses berikutnya. Aktivitas ini dikenal dengan proses editing.
Lazimnya editing dilakukan terhadap kuesioner-kuesioner yang disusun terstruktur, dan yang pengisiannya melalui wawancara formal. Para editor bertugas mengorek isinya kembali. Dengan cara ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas kebaikan data yang hendak diolah dan dianalisis.
Dalam editing ini, yang dikoreksi kembali adalah meliputi hal-hal : (1) lengkapnya pengisian kuesioner; (2) keterbacaan tulisan atau catatan petugas pengumpul data, (3) kejelasan makna jawaban; (4) keajegan dan atau kesesuaian jawaban satu dengan yang lainnya; (5) relevansi jawaban; dan (6) keseragaman satuan data.2
3. Koding
Koding yaitu proses untuk mengklasifikasikan jawaban-jawaban para responden menurut kriteria atau macam yang ditetapkan.3Klasifikasi itu dilakukan dengan jalan menandai masing-masing jawaban itu dengan tanda kode tertentu, lazimnya dalam bentuk angka. Di sini setiap macam jawaban (atau secara teknisnya disebut “setiap kategori jawaban”) mempunyai angka kode tersendiri. Dengan demikian, membubuhkan kode pada suatu jawaban tertentu (ialah “melakukan Koding”) pada dasarnya berarti menetapkan kategori mana yang sebenarnya tepat bagi sesuatu jawaban tertentu itu.4 Contoh:
Pertanyaan: Bagaimana kesan Bapak/ ibu/ Saudara terhadap kebersihan di desa ini?
Jawaban : Bersih sekali 01 (kode)
Bersih 02
Cukup bersih 03
Kotor 04
Kotor sekali 05
Tidak tahu 06
Tidak bersedia menjawab 07
Mengingat pertimbangan bahwa seyogyanya pengumpul data mengetahui terlebih dahulu kategori-kategori jawaban apa yang (akan) ada untuk mengklasifikasi ragam jawaban ke dalam suatu sruktur klasifikasi, maka sering juga dilakukan aktivitas bernama pracoding di mana setiap pertanyaan dalam kuesioner selalu diikuti dengan serangkaian alternatif jawaban, yang pada dasarnya merupakan kategori-kategori yang telah diberi kode sebelumnya. Ini dikenal dengan “pertanyaan tertutup”, seperti dicontohkan di atas.
Agar data yang diperoleh mudah dianalisis serta disimpulkan untuk menjawab masalah yang dikemukakan di dalam penelitian, maka jawaban-jawaban yang beranekaragam dari para responden harus diringkas terlebih dulu, dengan cara menggolong-golongkannya ke dalam kategori-kategori tertentu yang telah ditetapkan.
4. Menghitung Frekuensi
Setelah koding selesai dikerjakan, maka diketahui bahwa setiap kategori telah menampung dan memuat data-data dalam jumlah (frekuensi) tertentu. Pada akhir tahap koding ini peneliti akan memperoleh distribusi data dalam frekuensi-frekuensi tertentu pada masing-masing kategori yang ada.
Cara yang paling sederhana untuk menghitung frekuensi ini adalah dengan cara “tallying”, seperti contoh berikut: (dari contoh di atas)
Kategori Tally (f)
Bersih sekali
Bersih
Cukup bersih kotor
kotor
Kotor sekali
Tidak tahu
Tidak bersedia menjawab 5
4
10
16
17
3
5
(f) frekuensi
5. Tabulasi
Tabulasi adalah proses penyusunan data ke dalam bentuk table. Dari contoh di atas dapat ditabulasikan adalah sebagi berikut:
TABEL X: Penilaian Warga Desa Y Terhadap Kebersihan Desanya
Penilaian f %
Bersih
Cukup bersih
Kotor
Tidak tahu
Tidak bersedia menjawab 9
10
23
3
5 15
16,66
38,33
5
8,33
Disamping tabulasi sederhana seperti di atas, dikenal pula yang disebut: tabulasi silang yang dibuat dengan cara memecah lebih lanjut setiap kesatuan data dalam setiap kategori, menjadi dua atau tiga (atau mungkin lebih) sub kesatuan. Pemecah data ini dilakukan atas dasar suatu kriteria baru yang lain, seperti contoh berikut ini :
TABEL X-1: Penilaian Warga Desa Y Yang Berbeda Lama Menghuninya Terhadap Kebersihan Desanya.
Penilaian Lama Menghuni
- 5 th 5 – 10 th 10 th +
Jumlah
Bersih
Cukup bersih
Kotor
Tidak tahu
Tidak bersedia menjawab 110 62 19
81 99 67
102 238 60
14 28 5
4 6 7 191
247
400
47
17
311 433 158 902
Dari contoh di atas terlihat bahwa terdapat dua perangkat susunan kategori, yaitu tersusun kategori, yaitu yang tersusun vertikal untuk mengklasifikasikan hasil penilaian warga desa terhadap kebersiahan desanya, dan satu perangkat lagi tersusun secara horisontal, untuk mengklasifikasikan jangka waktu lamanya para warga tinggal didesa tesebut.
6. Table Sebagai Kerangka Analisis Data
Apabila peneliti bersifat deskriptif dan hipotesisnya hanya dengan variabel tunggal (one variable hypothesis),maka kerangka tabelnya hanya akan terisi satu perangkat kategori saja (yang disusun secara vertikal). Kerangka tabel seperti ini memang hanya akan membawa sampai analisis deskriptif, sedangkan tabelnya sendiri lebih berfungsi sebagai pemapar gambaran deskriptif mengenai sesuatu variabel tertentu saja. Karenanya tabulasi yang digunakan adalah tabulasi sederhana.
Melalui analisis deskriptif, di satu sisi akan didapatkan informasi yang bersifat kuantitatif dan relatif cermat mengenai persebaran frekuensi data.di sisi lain akan di peroleh informasi lanjutan berupa: (1) apakah yang lazim, normal, atau unik pada suatu kelompok; (2) bagaimana atau berapa besar variasi-variasi yang ada pada suatu kelompok tertentu.
Apabila penelitian yang dijalankan tersebut bersifat menerangkan dengan hipotesis yang mempergunakan adanya hubungan antara dua variabel (two variabel hypothesis), maka jalan yang ditempuh dengan memanipulasi analisis statistik yang dikerjakan, jelas tidak akan berhenti sampai pada penyajian-penyajian deskriptif belaka, akan tetapi menjurus pada usaha variabel, dan karena itu, tabulasi yang digunakan adalah tabulasi silang, seperti terlihat pada tabulasi yang digunakan adalah tabulasi silang, seperti terlihat pada contoh Tabel X-1 di atas. Yang memperagakan ada tidaknya hubungan antara dua variabel, yaitu “penilaian warga desa” dengan “lamanya warga menghuni desa”.
7. Mengukur derajat besarnya hubungan antar variable
Sudah menjadi kesepakatan bahwa derajat besarnya hubungan antara dua variabel itu (di sani disebut koefisien) selalu diukur dengan hasil yang dinyatakan dalam lambing bilangan antara: 0,00 dan 1,00 (atau – 1,00). Apabila diperoleh hasil 0,00 berarti hubungan antara dua variabel tersebut tidak ada, dan apabila angka yang diperoleh adalah 1,00 atau –1,00 berarti hubungan itu ada secara sempurna.
Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam tabel berikut ini:
Kejahatan terhadap badan dan nyawa orang Kejahatan terhadap harta kekayaan orang
Suku Bali 67 20
Suku Sasak 120 445
Dengan rumus Yule’s Q yang menyatakan:
ad – bc
Q=
ad + bc
Maka kita akan dapat mengukur dengan mudah koefisien asosiasi variabel – variabel tersebut. Dari rumus tersebut dijabarkan:
Q adalah koefisien asosiasi;
a adalah frekuensi yang terletak di petak kiri;
b adalah frekuensi yang terletak di petak kanan;
c adalah frekuensi terletak dipetak kiri-bawah;
d adalah frekuensi terletak dipetak kanan-bawah
apabila dihitung :
(67 x 445) – (20 x 120)
Q=
(67 x 445) + (20 x 120)
29815 – 2400
=
29815 + 2400
27415
=
32215
= 0,85
Angka 0,85 adalah lebih dekat dengan 1,00, maka jelaslah bahwa derajat hubungan antara dua variabel tersebut sangat besar.
Rumus Yule’s Q ini lazimnya hanya dipakai apabila variabel-variabel yang akan ditentukan besar koefisien hubungannya bersifat kualitatif dan diskret, apabila bersifat kuantitatif dan kontinyu, maka runus lain yang akan digunakan . salah satu diantaranya adalah rumus Spearman’s Rho, yang cara penggunaanya dapat dicontohkan sebagai berikut:
TABEL X – 2: Lama istirahat dan besar produktivitas 8 pekerja per 6 jam kerja di pabrik Z
Nama pekerja Laama istirahat (dalam menit) besar produktivitas(dalam kesatuan)
Abdullah 30 60
Bagong 28 62
Cecep 27 61
Durahman 25 58
Engkus 24 53
Firmansyah 23 55
Gatot 21 49
Hazmi 20 50
Menurut rumus Spearman’s ini, pertama-tama disusun posisi (rank) dari masing-masing pekerja itu dalam tat urut yang ditentukan menurut lama waktu istirahatnya, atau yang ditentukan menurut lama besar produktivitasnya. Setelah itu dicoba ditemukan besar selisih antara posisi urutan si pekerja menurut lama waktu istirahatnya dengan posisi urutannyamenurut produktivitasnya. Setelah selisih dikuadratkan, maka dapat dibuat pengukuran dengan menggunakan rumus:
6 D2
R = 1-
N3 - N
Dengan rumus itu, hasil perhitungan tabel di atas adalah sebagai berikut :
Nama Pekerja Lama Istirahat (X) Besar Produktivitas (Y) Posisi
X
(RX) Posisi
Y
(RY) RX – RY
(D) D2
Abdullah 30 60 1 3 -2 4
Bagong 28 62 2 1 1 1
Cecep 27 61 3 2 1 1
Durahman 25 58 4 4 0 0
Engkus 24 53 5 6 -1 1
Firmansyah 23 55 6 5 1 1
Gatot 21 49 7 8 -1 1
Hazmi 20 50 8 7 1 1
6 D2
r = 1-
N3 - N
6 x 10
r = 1-
83 – 8
60
= 1-
504
= 0,88
di mana, 6 = Jumlah jam
N = Jumlah Pekerja (8)
Dari hasil tersebut jelaslah bahwa variable “waktu istirahat” berhubungan secara positif dengan variable “produktivitas”. Dengan demikian, kesimpulannya adalah bahwa kian cukup istirahat seorang pekerja, semakin cenderung daya produktivitasnya untuk naik, di mana kecenderungan ini menurut hasil perhiyungan di atas adalah amat besar 5