BAB I PENDAHULUAN
Dalam menjalankan roda pemerintahan, nampaknya nabi Muhammad SAW memisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dibawah naungan wahyu Al-Qur’an dan nabi Muhammad SAW menjalankan kekuasaan legislative.
Pada masa nabi Muhammad SAW sudah ada negara dan pemerintahan dalam Islam , maka dengan demikian tertuju pada masa beliau sejak menetap di kota Yastrin. Kota ini berganti nama menjadi Madinah al-Nasi, dan popular disebut dengan nama Madinah. Negara dan pemerintahan yang pertama dalam sejarah Islam.
Perubahan besar yang dialami oleh nabi dan pengikutnya dari kelompok tanap kekuasaan menjadi komunitas yang memiliki kekuatan social politik yang ditandai dengan beberapa peristiwa penting. Pada tahun 621-622 M berturut-turut memperoleh dukungan moral dan dukungan politik dari sekelompok orang arab di kota Yastrib yang menyatakan masuk Islam.
Praktek pemerintahan yang dilakukan nabi Muhammad Saw sebagai kepala negara lainnya tampak pula pada kesepakatan. Tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam Madinah diakui sebagai pimpin tertinggi, berarti pemegang kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam prakteknya beliau mendelegasikan tugas-tugas ini kepada para sahabatnya yang dianggap mampu.
Dari sinilah muncullah masalah pemerintahan dalam Islam tentang Legislatif, Eksekutif, dan yudikatif, yang akan di bahas secara rinci.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian.
1. Legislatif.
Lembaga legislatif secara etimologi dalam kemelut politik adalah lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat/mengeluarkan UU sedangkan Legislatif dalam terminology fiqh disebut sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa.
Istilah lembaga legislative dalam Islam lebih popular dengan sebutan Afl al-Halli wa al-‘aqd. Secara harfiah Ahl al-Halli wa al-‘aqd berarti orang yang dapat memusatkan dan mengikat. Adapun para ahli fiqh siyasah merumuskan istilah ini sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat, dengan kota lain ahl-Halli wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi/suara masyarakat. Di era modern sekarang, lembaga ini di kenal dengan parlemen/DPR khususnya di Indonesia.
Para ahli fiqh Siyasah dalam menamai istilah Ahl-al-Halli wa al-‘aqd berbeda-beda. Al-Mawardi misalnya ia memyembunyikan lembaga ini ini dengan ahl-Ikhtiyar karena mereka dianggap kualifikasi tertentu dan mewakili aspirasi umat untuk memiliki khalifah yang hanya sampai pada garis terpilihnya calon iman.
Adapun dalam pemerintahan Islam, pembentukan lembaga Ahl al-Halli wa al-‘aqd perlu mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam sehingga mampu menjaga kemaslahatan umat. Para ahli fiqh Siyasah memberikan beberapa alasan dalam pelembagaan ini, adalah:
a. Musyawarah hanya bisa dilakukan dengan jumlah peserta terbatas.
b. Kewajiban taat kepada Ulil Amri baru mengikat apabila pemimpin itu di pilih
c. Ajaran Islam sendiri menerangkan seperlunya pembentukan masyarakat.
d. Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Mungkar hanya bisa dilakukan apabila lembaga yang berperan untuk menjaga kemaslahatan antara pemerintah dan rakyat.
e. Rakyat secara individu tidaklah bisa dikumpulkan untuk melakukan masyarakat dalam satu tempat, mereka tertentu tidak mampu mengemukakan pendapat dalam masyarakat akibatnya akan mengganggu aktivitas kehidupan bermasyarkat.
2. Eksekutif
Eksekutif yaitu suatu badan pemerintahan negara yang memiliki kekuasaan untuk menyeleggarakan pemerintahan dan perundang-undang. Dalam system kabinet presidensial, presiden disamping berfungsi sebagai kepala negara juga berfungsi sebagai kepala eksekutif.
3. Yudikatif.
Dalam kamus umum ilmu politik, Yudikatif adalah kekuasaan yang mempunyai hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan.
B. Pembagian Kekuasaan Negara Dalam Islam
1. Kekuasaan Legislatif
Dalam sistem pemerintahan Islam, khalifah adalah pemegang kendali pemimpin umat segala jenis kekuasaan berpuncak padanya dan segala garis politik agama dan dunia bercabang dari jabatannya, karena itulah khalifah merupakan kepada pemerintahannya yang bertugas menyelenggarakan undang-undang untuk menegakkan Islam dan mengurus Negara dalam bingkai Islam.
Kewenangan khalifah sebagai kepala eksekutif, adalah:
a. Mengangkat dan memecat para pejabat tinggi
b. Membimbing dan mengawasi pekerjaan mereka.
c. Memimpin angkatan perang.
d. Mengumumkan perang.
e. Mendatangani perjanjian damai.
Kekuasaan legislatif dalam Islam merupakan kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Dengan demikian unsur legislatif dalam Islam, adalah:
a. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam.
b. Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya.
c. Isi peraturan atau hukum ini sendiri harus sesuai dengan nilai-nilai dasar syariat Islam.
Kekuasaan legislatif dalam teori Islam dipandang sebagai lembaga tertinggi dalam negara. Disamping diwajibkan memilih kepala negara, legislatif juga menempatkan undang-undang dan ketetapan yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif ini akan dilandaskan secara efektif oleh lembaga eksekutif dan akan diperintahkan oleh lembaga eksekutif dan akan dipertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan.
Dalam Al-qur’an di terangkan bahwa jika Allah dan Rasulnya telah memberi peraturan didalam suatu masalah. Tidak seorang Muslim pun berhak untuk memutuskannya sesuai pendapatnya sendiri, karena menetapkan syari’at hanyalah wewenang Allah sebagaimana dalam surat Al-Qashash ayat 38, yang berbunyi:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَاهَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَلْ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ(38)
Dan berkata Fir`aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta".
Dari perintah diatas timbul prinsip bahan lembaga legislatif dalam negara Islam sama sekali tidak berhak membuat perundang-undang yang bertentangan dengan tuntutan Allah dan rasulnya dalam semua cabang legislatif. Meskipun disahkan oleh lembaga legislatif harus secara ipso facto dianggap ultravires dari undang-undang dasar.
Jadi tugas dan wewenang lembaga legislatif hanya sebatas menggali dan memahami sumber syariat Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits dan menjelaskan hukum yang berkembang di dalamnya.
As-Maududi secara umum berpandangan bahwa fungsi legislatif adalah:
1. Menetapkan peraturan yang ditentukan secara tegas dalam syariat menjadi undang-undang.
2. Memutuskan salah satu penafsiran dari pedoman-pedoman syariat yang punya kemungkinan penafsiran lebih dari satu.
3. Menegakkan hukum yang di syariatkan dengan selalu menjaga jiwa hukum Islam.
4. Merumuskan hukum suatu masalah yang berpedoman dan sifat dasarnya tidak diatur dalam syariat sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat syariat.
2. Kekuasaan Eksekutif.
Dalam pandang abdul Kadir Audah berpendapat bahwa kekuasaan pembuat undang-undang dipegang oleh ulil Amri dan Ahlu Ra’yi. Ulil amri disini adalah kumpulan dari umaroh dan ulama.
Dalam suatu negara dalam Islam, lembaga eksekutif memiliki tujuan yaitu untuk menegakkan pedoman-pedoman Allah yang disampaikan melalui al-Qur’an dan Al-Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari karakteristik lembaga eksekutif inilah yang membedakannya dari lembaga eksekutif non muslim.
Dalam teori kedaulatan hukum, demokrasi, triaspolitika, bahkan teori kekusaan eksekutif karena itu apabila kita menurut teori ini dan praktek negara Islam pertama ada kemiripan dan perbedaan. Dalam membahas masalah kekuasaan eksekutif menurut sistem negara Islam adalah istilah khilafah. Menurut al-Qur’an istilah khilafah termuat dalam surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(30)
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Jadi istilah khalifah identik dengan istilah presiden dalam negara sekuler walaupun dalam kriteria calon seorang presiden dan sistem pertanggung jawaban dalam negara sekuler berbeda dengan pandangan Islam akan tetapi dalam pelaksanaan fungsi eksekutif atau khalifa sama-sama mengutamakan kepentingan warga negara atau umat dalam Islam.
3. Kekuasaan Yudikatif.
Kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara perbantahan dan permusuhan, pidana dan penganiayaan, mengambil hak dari orang durjana dan mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi harta wakaf dan persoalan-persoalan lain yang diperkarakan dipengadilan. Sedangkan tujuan kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan kedudukan hukum kepala negara
Ruang lingkup lembaga Yudikatif (dalam terminology hukum Islam dikenal dengan Qhadhi), juga di isyaratkan maknanya oleh pengakuan asas kedaulatan de jure oleh Allah SWT. Ketika Islam menegakkan negaranya sesuai dengan prinsip-prinsip abdinya, Rasulullah SAW berdiri yang menjadi hakim pertama negara tersebut dan beliau melaksanakan fungsi ini selaras dengan hukum Allah: orang-orang melanjutkan tidak memiliki aternatif lain kecuali mendasarkan keputusan mereka pada hukum allah sebagaimana yang telah sampaikan kepada mereka oleh Rasulullah SAW.
Dalam al-Qur’an membahas masalah ini yang mana uraian ini dimulai dengan sejarah Israil, beranjak kesejarah orang-orang Kristen dan akhirnya kepada orang-orang Islam. dinyatakan bahwa Tuhan telah menurunkan kepada Musa As dan sesudah itu kepada rasul orang Israil dan Robi Yahudi menurutnya sebagai hukum dalam semua sektor kehidupan untuk memutuskan perselisihan yang terjadi dikalangan rakyat sejalan dengannya. Sesudah itu turunlah isa As dengan wahyu baru dan al-Qur’an memberitahu kita bahwa para penganutnya tidak juga diwajibkan untuk memutuskan urusan-urusan mereka sejalan dengan wahyu tersebut. Kemudian diceritakan oleh Rasulullah dan Allah berfirman kepada beliau, dalam surat al-Hadid ayat 25 berbunyi:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ(25)
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Sepanjang penjelasan ini, dinyatakan dengan penuh tekanan bahwa orang-orang yang tidak memutuskan perkara sesuai dengan hukum Allah adalah orang-orang kafir, dzhalim, dan fasik. Setelah ini, harus ditekankan bahwa peradilan-peradilan hukum dalam suatu negara Islam ditegakkan untuk menegakkan hukum Allah SWT dan bukan untuk melanggarnya sebagaimana yang dilakukan dewasa ini di hampir semua negara muslim.
C. Hubungan antara lembaga legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif dalam pemerintahan Islam.
Dalam hal ini, tidak terdapat perintah-perintah yang jelas. Tetapi konvensi-konvensi di masa Rasulullah saw dan empat khalifah memberi kita cukup pedoman. Dan dari pedoman-pedoman ini kita dapat menggali kesimpulan bahwa kepala negara Islam merupakan pimpinan tertinggi dari semua lembaga yang berbeda ini. Rasulullah saw menikmati kedudukan yang sama dan posisi ini di pertahankan oleh empat khalifah yang lurus .
Tetapi di bawah kepala negara, ketiga lembaga tinggi negara berfungsi secara terpisah serta mandiri satu sama lainnya. Lembaga yang disebut ahl-al’aqd wa al aqd yang bertugas memberi nasihat kepada kepala negara mengenai masalah-masalah hukum, pemerintahan dan kebijaksanaan negara merupakan kesatuan yang terpisah. Kemudian ada pejabat eksekutif yang tidak mengurus masalah-masalah yudisial yang harus diurus secara terpisah dan mandiri oleh para hakim
Dalam semua masalah penting negara, seperti perumusan kebijaksanaan atau pemberian peraturan-peraturan dalam berbagai masalah pemerintahan atau hukum khalifah mau tidak mau harus berkonsultasi dengan ahl-al’aqd wa al aqd dan segera setelah itu tercapai kesepakatan yang di isyaratkan. Maka lembaga itu bubar, hadir dan melakukan pembelaan dihadapan qadi sebagaimana orang kebanyakan.
Dan hubungan penegakan hukum dalam konvensi yang ditegakkan lembaga yudikatif di zaman khalifah tidak membatasi kekuasaan legislatif atau paling tidak tak seorang pun qadhi melakukan itu karena alasannya anggota legislatif pada zamannya memiliki wawasan yang berbobot dan didasari al-qur’an, hadist dan khalifah merupakan orang-orang yang diandalkan.
Untuk menjamin bahwa legislatif akan menegakkan hukum tentang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadist maka lembaga legislatif membutuhkan otoritas untuk membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadist.
Dan sedangkan kedudukan yang benar dalam Islam untuk lembaga legislatif bukan hanya merupakan lembaga penasihat kepala negara, yang nasehatnya dapat di terima dan ditolak sesuai dengan kehendak kepala negara yang bersangkutan akan tetapi juga untuk menegakkan hukum yang sesuai dengan al-Qur’an .
Dalam menjalankan roda pemerintahan negara Madinah, nampaknya nabi Muhammad tidak memisahkan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, dibawah naungan al-Qur’an, nabi Muhammad saw menjalankan kekuasaan legislatif, beliau menyampaikan ketentuan-ketentuan Allah swt tersebut kepada masyarakat Madinah. Untuk permasalahannya yang tidak diatur secara tegas oleh al-Qur’an, nabi Muhammad yang mengaturnya. Rasulullah yang menentukan sendiri hukum terhadap permasalahan yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an .
Untuk ,mengadili pelanggaran-pelanggaran ketertiban umum, nabi membentuk lembaga hisbah. Lembaga bertugas mengadakan penertiban terhadap perdagangan agar tidak terjadi kecurangan yang dilakukan oleh pedagang pasar dan bahkan tidak jarang nabi melakukan inspeksi langsung ke tempat-tempat strategis.
Islam telah mengkonsepkan bagaimana seharusnya hubungan antara ketiga lembaga itu. Satu masalah pokok yang sering diangkut dalam tema hubungannya ialah tentang kebebasan lembaga peradilan. Mengenai hubungan antara lembaga yudikatif dan eksekutif, bentuk penegasannya tidak terlampau sulit, misalnya cara mengatur kedudukan pengadilan dan cara mengangkat para hakim. Hakim dapat di angkat oleh kekuasaan eksekutif atau oleh kekuasaan legislatif, atau dapat pula langsung dipilih rakyat. Menurut cara yang umum dilakukan, pengangkatan hakim itu dilakukan oleh kekuasaan eksekutif .
Para khalifah adalah yang mengangkat hakim, namun mereka tetap bebas merdeka setelah ia di angkat oleh khalifah untuk duduk dalam jabatannya. Hakim tetap berhak dan harus memperlakukan khallifah seperti halnya rakyat biasa dan mengadili mereka apabila ada gugatan. Indahnya gambaran hubungan antara hakim dan khalifah itu dapat di angkat dari satu kisah sebagai berikut :
Demikian pula Ali r.a pernah terlibat dalam suatu perkara dengan seorang non muslim yang dilihatnya menjual baju besi milik Ali di pasar Kuffah, ia tidak merampasnya dari tangannya, dalam kedudukannya sebagai Amirul Mu’minin dan kepala negara pada waktu itu, tapi ia mengadu halnya kepada hakim. Dan ketika itu ia tidak berhasil mengajukan suatu bukti atau saksi-saksi atas tuduhannya itu, sang hakim menjatuhkan putusan yang merugikannya
D. Dasar pemerintahan Islam
Suatu pemerintahan yang diselenggarakan oleh masyarakat muslim harus mengindahkan dasar-dasar yang telah diberikan oleh Nas syara’. Artinya suatu pemerintahan dapat dikatakan pemerintahan Islam apabila didasarkan pada ajaranoslam . Dengan demikian maka suatu pemerintahan Islam selalu harus mendasarkan politik dan perundang-undangan kepada la-Qur’an dan Sunnah rasul.
Al-Qur’an dan As-sunnah rasul telah memberikan nilai-nilai politik atau dasar-dasar penyelenggara pemerintahan , adalah :
1. Syura ( musyawarah )
Dalam dasar-dasar pemerintahan Islam, masyarakat dinilai sebagai lembaga yang penting artinya persatuan kebijaksanaan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Islam haruslah didasarkan azas masyarakat musyawarah . Dalam al-Qur’an disebutkan yang terdapat pada surat Ali Imron ayat 159 tentang musyawarah, Allah berfirman :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ(159)
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Maksud dari urusan diatas adalah urusan yang menyangkut peperangan hal-hal duniawiyah lainnya seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan.
2. Keadilan
Syari’at Islam menempatkan aspek keadilan pada posisi amat tinggi dalam sistem perundang-undangan.
Keadilan dalam Islam bersifat mutlak dan menyeluruh, baik terhadap diri sendiri maupun pada orang lain atau pada sesama dan tidak boleh keadilan itu dipengaruhi oleh hubungan kerabat, kebesaran dan kekuasaan juga oleh rasa benci atau permusuhan. Dalam al-Qur’an disebutkan pada surat An Nahl ayat 90, Allah berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ(90)
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Dalam pandangan Islam penyelenggaraan pemerintahan hanya bertujuan untuk melaksanakan keadilan dalam arti yang seluas-luasnya, tidak saja keadilan hukum tetapi juga keadilan sosial ekonomi. Dengan demikian kelompok masyarakat dapat dihindarkan.
3. Kebebasan
Islam mengakui adanya kebebasan berfikir, bahkan menjamin sepenuhnya dan dinilai sebagai hak dasar setiap manusia. Adanya kebebasan ini ditandai dengan firman Allah sebagai dasarnya kebebasan dalam memilih. Terdapat adalah surat al hajj ayat 18, Allah berfirman :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ(18)
Artinya: Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.
Semua makhluk dimuka bumi dan langit kecuali manusia sujud kepada Allah. Karena prinsip kebebasan memilih yang di berikan kepada manusia itulah, sebagian beriman dan tunduk bersujud kepada Allah. Sebagian lagi inkar atau kafir.
4. Persamaan
Persamaan yang dimaksud adalah salah arti sah bukan faktual yaitu manusia itu berdiri sama di depan hukum, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, asal usul, bahasa, keyakinan, pangkat atau latar belakang sosial, dimana masing-masing orang dimintai sesuai dengan kemampuannya, kepada masing-masing diberikan sesuai dengan kebutuhannya. Dalam al-Quran disebutkan surat al Hujurat ayat13, Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ(13)
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Prinsip persamaan yang ada dalam Al-qur’an dan As-sunnah Islam itu merupakan prinsip dasar dari sistem hukum Islam dan karenanya menjadi salah satu dari norma-norma umum dalam ajaran Islam. Dari dasar itulah, prinsip- prinsip tersebut di kembangkan dalam segala aspeknya.
Dengan dasar, baik Rasulullah maupun sahabt-sahabat beliau, yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khatab memerdekakan budaknya. Yaitu untuk menunjukkan bahwa persamaan derajat dijamin dalam masyarakat Islam.
5. Pertanggung jawaban pemerintah terhadap rakyatnya.
Pemerintah adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Jabatan ini dimaksudkan agar ia dapat mengatur umat dengan hukum Allah dan syariatnya serta membimbingnya ke jalan kemaslakhatan dan kebaikan, mengurus kepentingan secara jujur dan adil dan memimpinnya ke arah kehidupan mulia dan terhormat . Dalam al-quran disebutkan dalam surat al An’am ayat 163, Allah berfirman :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ(165)
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil sebagai bahan kesimpulan, sebagai berikut:
Lembaga Legislatif lembaga yang memberikan sumbangan terhadap rakyat yang melalui dengan aspirasinya, serta pemberi dan memutuskan suatu fatwa. Lembaga Eksekutif adalah lembaga yang mempunyai penyelenggaraan dalam suatu undang-undang dalam pemerintahannya. Sedangkan Yudikatif adalah lembaga yang mempunyai dengan pengadilan terhadap masyarakat.
Ketika lembaga tersebut mempunyai pembagian masing-masing sera mempunyai fungsi dalam pemerintahan Islam. lembaga legislatif berfungsi sebagai pemegang pemerintahan yang dilandaskan dengan syariat Islam yang bersumber dengan al-Qur’an dan Hadits. Ekseekutif berfungsi sebagai menegakkan hukum Islam yang berpegang dengan Allah yang menyampaikan melalui dengan al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan Yudikatif berfungsi sebagai menyelesaikan suatu urusan perkara dalam hukum pidana dalam suatu masyarakat.
Dari fungsi masing-masing dari lembaga tersebut yang mempunyai hubungan satu sama lain yang secara harmonis dan tidak dapat dipisahkan dalam pemerintahan Islam. dalam pemerintah Islam lembaga tersebut mempunyai dasar-dasar dalam al-Qur’an
DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, M., Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, Cet I, 2001
al-Akhkam, al-Sulthonia Al-Mawardi, , Terj: Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah. Cet I, 2000
Marbun, B.N, Kamus Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1996
Bahry, Zainul, S.H. Kamus Umum Bidang: Angkasa Cet, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Al-Maududi, A’la, Abul, Hukum dan Kontstitusi: sistem politik Islam, Tetj. Drs. Asep Hikmat, Bandung: Mizan, 1990
Jaelani, Abdul Kadir, Negara Ideal menurut Konsepsi Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu Cet I, 1995
Salabi, Ahmad, Prinsip-prinsip Pemerintahan Islam, terjemahan Salim Nabhan, Surabaya, 1983
Rais, Amin, Cakrawala Antara Cita-cita dan Fakta, Bandung, Mizan, 1899
el-Na, Muhammad, Sistem Politik Dalam Pemerintahan Islam, Terj Anshori Tadjib, Surabaya, Bina Ilmu, 1983