Pada dasarnya ilmu yang satu dengan ilmu yang lain atau ajaran yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Hubungan tersebut bisa dekat, pertengahan atau jauh. Ajaran akhlaq dapat dikatakan dekat dengan ajaran tasawuf, tauhid, juga filsafat. Disebut pertengahan dengan hukum, sosial. Sangat jauh dengan biologi dan politik.
Ahli tasawuf pada umumnya membagi tasawuf pada tiga bagian. Pertama tasawuf akhlaki dan tasawuf amali. Ketiganya bertujuan sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan tasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlaq mulia.
Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran. Pada tasawuf akhlaqi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlaq yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dariakhlaq yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlaq yang terpuji) dan tajalli (terbukanya dinding penghalang [hijab]) yang membatasi manusia dengan Allah.
Berawal dari hubungan antara ilmu akhlaq dengan ilmu tasawuf menurut Harun Nasution ketika mempelajari tasawuf ternyata pula bahwa al-Qur’an dan al-Hadits mementingkan akhlaq. Al Qur’an dan al-Hadits menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa sosial, keadilan, tolong menolong, murah hati, suka memberi ma’af, sabar,baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berfikiran lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang Muslim dan dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil.
Dalam tasawuf ibadah sangat unggul karena pada hakekatnya melakukan serangkaian ibadah shalat, puasa, haji, zikir. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf sangat erat hubungannya dengan akhlaq. Ibadah dalam al Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan Tuhan.
Hubungan akhlaq dengan tauhid dapat diuraikan, misalkan masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu, akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia, sehingga perbuatan yang dilakukan manusia itu akan tertuju semata-mata karena Allah SWT. Dengan demikian tauhid akan mengarahkan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlaq yang mulia.
Uraian lainnya tauhid menghendaki seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enamdengan dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu. Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang beriman kepada Allah danRasulNya, kemudian itu mereka tidak ragu-ragu dan senantiasa berjuang dengan harta dan dirinya di jalan Allah. Itulah orang-orang yang benar (keimanannya) (Q.S al Hujurat 49: 15).
Jika diperhatikan ayat tersebut secara seksama akan tampak bahwa ayat-ayat tersebut seluruhnya bertemakan keimanan dalam hubungannya dengan akhlaq yang mulia. Ayat tersebut memberi petunjuk dengan jelas bahwa keimanan harus dimanifestasikan dalam perbuatan akhlaq dalam bentuk kerelaan dalam menerima keputusan yang diberikan nabi terhadap perkara yang diperselisihkan di antara manusia, patuh dan tunduk terhadap keputusan Allah dan RasulNya, bergetar hatinya jika mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bertawakal, melaksanakan shalat dengan khusyu’, berinfakdi jalan Allah, menjauhi perbuatan yang tidak ada gunanya, menjaga farjinya, dan tidak ragu-ragu dalam berjuang di jalan Allah. Disinilah letak hubungan antarakeimanan dengan membentuk akhlaq.
Ajaran yang lebih berfaedah lagi ialah hubungan antara etika, moral dan susila dengan akhlaq. Dapat dikatakan sebenarnya sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai dan tenteram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriahnya.
Perbedaan antara etika, moral dan susila dengan akhlaq adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlaq ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-
Qur’an dan al-hadits.
Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang. Dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian. Selanjutnya yang baik itu juga adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberi kepuasan. Yang baik itu juga dapat berarti sesuatu yang sesuai dengan keinginan. Dan yang disebut baik dapat pula berarti sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang dan bahagia. Tingkah laku manusia adalah baik, jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan dapat disebut nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang kongkret.
Mengetahui sesuatu yang baik sebagaimana disebutkan akan mempermudah dalam mengetahui yang buruk. Diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, dibawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baikdan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku. Definisi tersebut memberi kesan bahwa sesuatu yang disebut baik atau buruk itu relatif sekali, karena bergantung pada pandangan dan penilaian masing-masing yang merumuskannya. Dengan demikian pengertian tersebut bersifat subyektif, karena bergantung kepada individu yang menilainya.