Konsep manusia dalam Kalam Suci yang dikenal dengan istilah Al-Qur'an merupakan makhluk yang paling sempurna penciptaannya, disamping sempurna penciptaannya manusia juga dilengkapi dengan akal pikiran, tujuan diberikannya akal pikiran agar manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga ia dapat memperoleh kedudukan yang tertinggi, karena manusia dibekali dengan ilmu sehingga Sang Maha Pencipta mengangkatlah derajat orang-orang yang berilmu.
Akal pikiran yang membedakan antara manusia dengan hewan, kalau manusia sudah tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang halal dan haram, antara perintah (kewajiban) dan larangan, maka tidak ada bedanya antara manusia dengan hewan, sehingga kedudukan manusiapun menjadi rendah bahkan hina dina melebihi hewan.
Menurut seorang tokoh filsuf Islam Ibnu Thufail bahwa manusia yang terdiri dari badan dan jiwa, yang memiliki akal pikiran, ia selalu menggunakan akalnya untuk berpikir mengetahui hal-hal yang belum ia ketahui, tetapi akal tersebut kadang-kadang mengalami kebuntuan dan ketidak mampuan dalam memahami rahasia Illahi, mengungkap misteri kehidupan dan mengemukakan dalil-dalil pikiran. Akal yang sehat akan berpikir dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan kedua-duanya dapat bertemu dalam satu titik tanpa harus diperselisihkan lagi.
Manusia yang terdiri dua unsur tidak dapat dipisahkan, kedua unsur tersebut adalah jasad dan jiwa merupakan satu kesatuan. Karena bila dipisahkan ia bukan manusia lagi. Jasad dapat bergerak karena adanya jiwa, dan jiwa itu adalah tuan daripada jasad, namun kehidupan jasad tidak hanya bergantung pada jiwa semata hal ini disebut dengan kehidupan ragawi (lahiriyah), ia membutuhkan yang namanya pakaian, makanan, tempat tinggal, harta kekayaan dan sebagainya. Beda dengan jasad, untuk dapat hidup selalu dalam kebenaran maka jiwa juga membutuhkan makanan, sementara makanan yang dibutuhkan jiwa tidak serupa dengan apa yang dimakan oleh jasad, makanan itu berupa ajaran-ajaran agama, memegang teguh Kalam Suci (Al-Quran), menjalankan apa-apa yang telah disyari'atkan oleh Sang Maha Pencipta, dan juga bersabar, yakni sabar dalam menjalankan perintah dan larangan-Nya, menghadapi musibah dan menerima nikmat-Nya. Kalau kedua unsur pokok telah terpenuhi kebutuhannya, terdapatlah keseimbangan, maka kehidupan menjadi lebih tenang tentram dan bahagia. Inilah yang disebut kepribadian manusia dalam totalitasnya.
Melihat segala tingkah laku manusia, tokoh Barat yang mengembangkan teori psikologi humanistik Abraham Maslow, memiliki asumsi dasar, bahwa tingkah laku manusia dapat ditelaah melalui kecenderungan dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga bermakna dan terpuaskan.
Berkaitan dengan hal itu seorang tokoh tasawuf ulama besar
Imam Al-Ghazali memeta-metakan tingkah laku manusia atau kepribadian (kejiwaan) manusia ke dalam beberapa dimensi, secara dimensi pada diri manusia terkumpul empat dimensi kejiwaan:
1. Dimensi ragawi (al-Jism)
2. Dimensi nabati (al-Natiyyah)
3. Dimensi Hewani (al-Hayawaniyyun)
4. Dimensi insani (al-insaniyah).
Pada dasarnya pengetahuan manusia tentang dirinya secara umum masih pada tahap awal, pengetahuan itupun menjadi terbatas sebab; pertama, Pembahasan masalah manusia terlambat dilakukan karena pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi. kedua, ciri khas akal manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks, ketiga, karena disebabkan multi kompleknya manusia.
Akhir-akhir ini persaingan kehidupan yang terkotak-kotak pada bidang-bidang tertentu semakin ketat membuat perjalanan peradaban yang semakin cepat seperti terjadi sekarang ini menjadikan manusia yang hidup di dalamnya harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi, teknologi makin canggih, krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat perekonomian di masayarakat semakin parah, hingga akhirnya kelangkaan pangan makin menjadi.
Demi melangsungkan kehidupan manusia tentunya memerlukan kebutuhan dasarnya, meskipun kebutuhan manusia sudah terpenuhi tetapi manusia memiliki sifat dasar yang tidak akan pernah merasa puas karena kepuasan manusia lebih bersifat sementara, sehingga manusia harus mampu memotivasi dirinya sendiri dengan sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama antara jiwa dan raga, seperti; kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki, dan kebutuhan akan aktualisasi diri, supaya hal itu terpenuhi dan terdapat keseimbangan dalam kehidupan,maka harus ada kontrol diri, baik yang bersifat lahir maupun batin. Tanpa adanya kontrol atau prinsip kehidupan, maka sesuatu yang bersifat spiritual (batin) maupun materi akan berubah menjadi musibah.
Kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut senantiasa muncul, meskipun dimungkinkan tidak secara berurutan.Dalam pengertian bahwa kebutuhan yang paling dasar akan bergejolak dan mendominasi untuk muncul terlebih dahulu dan menuntut dapat terpuaskan. Seringkali kebutuhan dalam hidup tidak selamanya akan dapat tercukupi dan terpuaskan, karena keinginan dan kebutuhan yang dimiliki oleh manusia begitu beragam dan sangat komplek, sementara kemampuan manusia sungguh sangat dibatasi oleh kehendak Allah Swt (Sunnatullah).
Apabila dipandang dengan kaca mata Islam, tidak terpenuhinya keinginan-keinginan dalam hidup ini tidak hanya semata-mata karena kesalahan mekanisme dan prosesnya saja, tetapi selaku umat Islam harus memiliki keyakinan bahwa dibalik itu semua terdapat kekuatan (ketentuan) lain yang berasal dari Allah Swt, inilah yang sering dipahami dengan ujian, cobaan atau musibah dari Allah Swt , sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah; Ayat 155 Artinya: "Dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar" (Q.S. Al-Baqarah: l55).
Maka tidak reda-redanya Allah Swt., memberi peringatan kepada hamba-Nya untuk tabah dan berpegang teguh dalam menghadapi segala cobaan, sebagaimana Allah Swt., memberi peringatan kepada para Rasul dan nabi dan pembawa da'wah pada umumnya, bahwa mereka akan berjumpa dan mengalami bermacam-macam cobaan.
Dari sini pentingnya konsep sabar diterapkan oleh manusia dalam menyikapi cobaan, ujian, musibah dan berbagai masalah lainnya. Dari sekian banyaknya konsep sabar, maka konsep M. Quraish Shihab menarik untuk dikaji. Alasannya karenakonsepnya jelas dan lugas. Hal ini tidak berarti konsep pakar lainnya kurang menarik dan jelas. Namun, konsep M. Quraish Shihab bisa dijadikan salah satu alternatif membangun mental yang sehat. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, perlu kiranya peneliti mengkaji Konsep Sabar Menurut M. Quraish Shihab dan Hubungannya dengan Kesehatan Mental.