Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlahkerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan, Indonesia merupakan negara paling korup nomor enam dari 133 negara. Di kawasan Asia, Bangladesh dan Myanmar lebih korup dibandingkan Indonesia. Nilai indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia ternyata lebih rendah daripada negara-negara tetangga, seperti Papua Nugini, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Singapura. Sementara itu di tingkat dunia, negara-negara ber-IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan negarayang sedang mengalami konflik seperti Angola, Azerbaijan, Tajikistan, dan Haiti.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Beberapa contoh kasus korupsi yang telah ditangani KPK di antaranya: kasus korupsi Akbar Tanjung, Syahril Sabirin, Probo Soetejo, Rahardi Ramlan, Hamas Ghanny, dan kasus DPRD Sukoharjo. Konsepsi korupsi mulai ada ketika orang melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum, artinya korupsi mulai dikenal saat orang mengenal sistem politik modern. Sistem politik tradisional tidak mengenal pemisahan antara uang negara dengan uang penguasa/raja. Prinsip pemisahan antara uang negara denganuang pribadi muncul di Barat sejak permulaan abad ke-19 setelah adanya revolusi Perancis, Inggris, dan Amerika. Sejak saat itu penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi khususnya dalam soal keuangan dianggap sebagai tindak korupsi. Namun demikian konsep pemisahan antara uang negara dengan uang pribadi kehadirannya tidak melulu dimonopoli oleh Barat, dalam sejarah Islam kerangka konsep pemisahan antara uang negara dan uang pribadi sudah mulai dipraktekkan oleh nabi dan para sahabat. Di zaman Khalifah Umar bin Khaththab sudah ada pemisahan antara uang umat dengan uang pribadi, bahkan Khalifah Umar tidak pernah mau menggunakan uang umat kecuali apa yang menjadi bagiannya sebagai khalifah, bahkan pada suatu ketika datang tamu pribadi Umar, umar memadamkan lampu yang dibiayai oleh negara, karena tamu itu tidak untuk keperluan umat.
Indonesia sebagai negara terkorupkeenam dari 133 negara yang disurvei pada tahun 2003 oleh Transparency International(TI) yang berbasis di Berlin, Jerman IPK RI sejak 2001 hingga sekarang masih tetap berada di angka rendah 1,9. Nilai indeks persepsikorupsi Indonesia adalah 1,9 dari rentang nilai 1-10. Dengan nilai itu, Indonesia masuk ranking 122 dari 133 negara yang disurvei. Peringkat itu disebabkan oleh korupsi dari level atas ke bawah yang begitu menjamur di Indonesia. Tiga sektor paling rawan terhadap tindak pidana korupsi adalah partai politik, kepolisian, dan pengadilan. Sementara itu, kecenderungan masyarakat memberikan suap paling banyak terjadi di sektor nonkonstruksi, pertahanan keamanan, migas, perbankan, dan properti.
Menarik untuk dicatat apa yang dikemukakan oleh Hadiyah Salim sebagai berikut: Korupsi, mencuri dan menggarong hakekatnya sama, ialah mengambil harta orang dengan cara tidak sah.Tetapi istilah korupsi ini dalam masyarakat Indonesia, terkenal menggaruk uang negara dalam jumlah yang sangat besar, sehingga negaramenderita kerugian karenanya. Seorang koruptor besar, apabila dia sudah tertangkap dan diajukan ke pengadilan, dan apabila hakim telah memutuskan hukuman berat kepadanya, mereka itu tidak akan terlepas pula dari hukuman Tuhan di kemudian hari. Orang yang korupsi,adalah pengkhianat bangsa dan penganiaya rakyat, dan perbuatannya mempengaruhi pula kepada keadaan ekonomi, sehingga kerugianrakyat itu harus dipikul pula oleh rakyat bersama-sama. Padahal mereka tidak berdosa dan tak tahu apa-apa, maka tenaga/keringat rakyat yang diambil untuk menutupi kerugian Negara dan akhirnya perekonomian Negara juga turut pula terancam.
Korupsi merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dan/atau bersama-sama beberapa orang secara profesional yang berkaitan dengan kewenangan atau jabatan dalam suatu birokrasi pemerintahan dan dapat merugikan departemen atau instansi terkait. Lain halnya perbuatan mencuri
yang adakalanya dilakukan langsung dalam bentuk harta dan adakalanya pula dalam bentuk administrasi. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan pelanggaran bidang administrasi seperti memberikan laporan melebihi kenyataan dana yang dikeluarkan merupakan jenis perilaku yang merugikan pihak yang berkaitan dengan laporan yang dibuatnya. Perbuatan semacam ini jika berkaitan dengan jabatan atau profesi dalam birokrasi jelas merugikan departemen atau instansi terkait. Perbuatan dimaksud, disebut korupsi dan pelaku akan dikenai hukuman pidana korupsi.
Menurut Zainuddin Ali bahwa dalam hukum Islam klasik belum dikemukakan oleh para fuqaha tentang pidana korupsi. Hal ini, didasari oleh situasi dan kondisi pada waktu itu karena sistem administrasi belum dikembangkan. Akan tetapi menurut Zainuddin Ali bahwa dilihat dari asas pidana bahwa korupsi dan pencurian mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama merugikan sepihak. Perbedaan antarakeduanya hanya dari teknis bukan prinsip. Atas dasar itu korupsi merupakan delik pidana ekonomi yang sanksi hukumnya dapat disamakan dengan pidana pencurian baik mengenai yang dikorupsi maupun sanksi yang diberlakukan terhadap pelakunya begitu pula persyaratannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Iyas bin Mu'awiyah yang menjatuhkan hukuman (hadd) potong tangan dalam kasus perampasan secara halus (korupsi/ikhtilas), karena hal ini diriwayatkan dari Nabi Saw.
Dalam hukum pidana Islam (fiqh jinayah), tindak pidana (jarimah/delik) jika dilihat dari berat ringannya hukuman dibagi menjadi tiga macam : 1) tindak pidana yang sanksinya dominan ditentukan oleh Allah, disebut jarimah hudud, 2) tindak pidana yang sanksinya dominan ditentukan
oleh Allah, tetapi haknya lebih ditekankan kepada manusia, disebut jarimah qishas-diyat, dan 3) tindak pidana yang sanksinya merupakan kompetensi pemerintah untuk menentukannya, disebut jarimah ta'zir.
Jarimah hudud adalah suatu jarimah(tindak pidana) yang diancam padanya hukuman hadd, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya yang menjadi hak Allah. jarimah hududada 7 (tujuh) macam, yaitu: zina, qadzaf(menuduh berzina), sukr(minum-minuman keras), sariqah (pencurian), hirabah (perampokan), riddah(keluar dari Islam) dan bughah(pemberontakan).
Dengan demikian korupsi yang identik dengan tindak pidana pencurian masuk dalam jarimah hudud. Al-Qur'an menyatakan, orang yang mencuri dikenakan hukuman potong tangan. Hukuman potong tangan sebagai sanksi jarimah as-sariqah (delik pencurian) didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Ma'idah ayat 38: Artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dariAllah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. al-Maidah: 38).
Selain dasar hukum yang bersumber dari al-Qur'an yang diungkapkan tersebut, juga dapat dilihathadis Nabi Muhammad Saw., di antaranya sebagai berikut. Artinya: "Telah mengabarkan kepada kamidari Qutaibah bin Said dari Laits dari Muhammad bin Rumhin dari Laits dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah ra. katanya: Sesungguhnyaorang-orang Quraisy merasa kebingungan dengan masalah seorang wanita Makhzumiyah yang mencuri. Mereka menawarkan: "Siapakah yang berani membicarakan masalah ini kepada Rasulallah Saw.?" Dengan serentak mereka mengatakan: "Kami kira tidak ada yang berani kecuali Usamah. Dia adalah kekasih Rasulallah Saw." Maka majulah Usamah untuk berbicara kepada Rasulallah Saw. Kemudian Rasulallah Saw., bersabda: "Jadi maksud kamu ialah memintakan syafaatterhadap salah satu hukum Allah?" Kemudian beliau berdiri dan berpidato: Wahai manusia! Sesungguhnya yang membikin binasa orang-orang sebelum kamu ialah, manakala mereka mendapat ada orang mulia mencuri, mereka membiarkannya saja. Tetapi manakala orang lemah di antara mereka yang mencuri, mereka akan menjatuhkan hukuman atasnya. DemiAllah, sekiranya Fatimah puteri Muhammad mencuri, maka akan aku potong tangannya". (HR. Muslim).
Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa hukuman potong tangan jangan hanya dikenakan pada penjahat kecil tetapi juga koruptor kelas berat. Itulah sebabnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pernah dijuluki"undang-undang sapu jagat" karena terlalu luas jangkauannya. Karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, undang-undang itu diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Disamping itu, ada juga Tap. MPRNomorXI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Dari undang-undang itu muncul lembaga Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Namun demikian, kenyataannya hingga saat ini korupsi masih cenderung meningkat,bahkan sudah menyebar sampai ke tingkat para wakil rakyat.
Keterangan tersebut dibuktikan oleh peristiwa tindak pidana korupsi di Kabupaten Kendal yang dilakukan olehanggota DPRD Kabupaten Kendal yang dilakukan oleh orang yang bernama Sutrimo sebagai ketua DPRD dan H. Abdul Wakhid sebagai wakil ketua DPRD Kabupaten Kendal periode 1999-2004. Kedua orang tersebut dinyatakan telah melakukan tindak pidana korupsi yaitu memperbesar penghasilan anggota DPRD dalam penyusunan maupun penggunaan anggaran DPRD Kabupaten Kendal.
Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum, yaitu melakukan perbuatan memperkaya dirisendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka perbuatannya itu akan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 4 tahun, dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).