Ulama ahli tafsir dalam menguraikan pendapatnya tentang tasbih 
kebayakan ketika ia menafsirkan Qur’an surat al-Isra`:44 yang berbunyi:
Artinya:“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih 
kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, 
tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah 
Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”. 
37
Pendapat Ulama tentang Tasbih 
Hamka dalamTafsir Al Azhar, menafsirkan surat Al-Isra’ ayat 44 
yaitu: bertasbih adalah mengucapkan kesucian yang berarti juga tunduk akan 
perintahnya, melaksanakan apa yang dikehendakinya, baik dengan lidah atau 
perbuatan atau dengan bukti kepatuhan, langit tujuh telah bertasbih. Bumipun 
bertasbih, dan segala penduduk siapapun yang berdiam disemua langit dan 
bumi itu semuanya bertasbih.
38
Pendapat Hamka ini hampir sama dengan pendapat M. Quraish 
Shihab, yang terdapat di dalam tafsir  al-Misbahmemahami Ayat ini dengan 
mengutip pendapatnya Thabatha’i yang mengatakan bahwa ayat di atas
sebagai penyempurnaan argumentasi ayat yang lalu, dan dengan demikian 
hubungannya menjadi sangat erat, bahkan keduanya menjadi satu kesatuan. 
Seakan-akan ayat yang lalu dan ayat ini menyatakan: seandainya ada tuhan-tuhan bersama-Nya pastilah kekuasaan-Nya menjadi rebutan, tetapi kekuasaan 
di langit dan di bumi serta siapa saja yang di dalamnya, semuanya 
mensucikan-Nya dan menyaksikan bahwa tiada sekutu bagi-Nya dan tidak 
berakhir kecuali kepada-Nya dan tidak pula sujud kecuali kepada-Nya, dan 
dengan demikian tidak ada yang memiliki kekuasaan dan tidak pula yang 
wajar menyandangnya kecuali Allah Swt, karena tidak ada tuhan selain Dia.
39
Ayat di atas jelas dan tanpa diragukan lagi bahwa adanya pentasbihan 
itu dilakukan oleh alam semesta. Akan tetapi bagaimana caranya alam semesta 
bertasbih? Ulama berbeda pendapat dalam memahmi ayat di atas. Sementara ada yang memahami bahwa tasbihnya alam semesta dalam arti  majazi, yakni 
kepatuhannya mengikuti hukum-hukum Allah yang berlaku atasnya. 
Keserasian dan kecermatan Allah itu menunjukkan bukti bahwa ciptaan Allah 
sangatlah sempurna
40
dan serasi bukan saja pada wujudnya atau sistem 
kerjanya sebagai satu kesatuan, tetapi juga dalam bagian dan rincian masing-
masing satuan. Keserasian itulah sebagai tasbihnya. Tetapi semua manusia 
tidak mampu mengerti secara mendalam – sebagaimana makna  tafqahuun– 
semua bukti yang terdapat dalam rincian setiap ciptaan-Nya itu, atau dalam 
istilah ayat ini tidak dimengerti tasbih mereka.
Ada juga yang menafsirkannya bahwa tasbih alam semesta dimaknai 
dengan makna yang  Hakiki  supra rasional.  Seperti halnya al-Biqa’i dan 
Thabathaba’i yang pendapatnya telah dikutip oleh M. Quraish Shihab. Yaitu 
bahwa al-Biqa’i memahami ketidakmampuan memahami tasbih itu tertuju 
kepada kebanyakan orang, tetapi bagi orang-orang yang taat dan kukuh
ketaqwaannya dapat memahaminya. Dengan pendapatnya itu al-Biqa’i
menunjukkan beberapat hadits yaitu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari 
tentang mukjizat nabi Muhammad Saw. Ketika air keluar dari celah jari-jari 
beliau sebagaimana yang telah disampaikan oleh Abdullah ibn Mas’ud yang 
menyatakan, “kami mendengar tasbihnya makanan ketika dimakan”, dan HR 
al-Bazzar tentang “tasbihnya batu-batu”, dari sini kemudian al-Biqa’i 
menyatakan bahwa orang-orang khusus dapat memahami tasbih segala 
sesuatu, tetapi tidak demikian dengan kebanyakan orang. Atas dasar ini  al-
Biqa’i berpendapat bahwa kata kamuditujukan kepada kebanyakan orang.
Thabathaba’i berpandangan lain dengan al-Biqa’i walaupun 
sebenarnya sama-sama memaknainya dengan makna hakiki. Thabathaba’i 
tidak sepenuhnya memahami makna tasbih itu dalam pengertian majazi, walau 
dalam saat yang sama ia tidak memahami dalam arti  hakiki. Seperti 
pemahaman makna “ucapan dan kalam” dalam bahasa manusia. Tasbih adalah penyucian dengan  ucapanatau  kalam, sedang hakikat  kalamadalah 
mengungkapkan apa yang terdapat dalam benak dengan cara tertentu.
41
M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah dia menguraikan panjang 
lebar tentang pendapatnya at-Thabataba’i yaitu at-Thabataba’i  mengatakan 
bahwa tasbih harus dimaknai dengan  hakikibukan dengan  majazi, karena 
tasbih jika dimaknai dengan segala sesuatu menjadi bukti ke-Esaan Allah. 
Maka hal ini di mengeti – dalam bentuk luas dan dalam oleh manusia baik 
mukmin maupun kafir, atau mungkin orang kafir lebih memahaminya - 
padahal ayat ini menafikannya. Demikian juga bila tasbih itu dimaknaidengan 
kepatuhan segala sesuatu pada sistem yang ditetapkan Allah, ini pun 
dimengerti oleh manusia – bahkan untuk masa kini – boleh jadi orang kafir 
lebih memahaminya dari pada orang muslim – sedang ayat diatas  secara tegas 
menyatakan bahwa  kamuhai seluruh manusia – atau  kamuhai orang-orang 
musyrik tidak mengerti tasbih mereka.
Ibnu ‘Arabi memahami tasbih segala sesuatu dalam ayat ini dalamarti 
hakiki yang suprarasional. Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwasannya segala 
sesuatu memiliki keistimewaannya masing-masing, kemudian Ibnu ‘Arabi 
menjelaskan bahwa sesungguhnya tasbih langit yang tujuh itu dengan 
menunjukkan sifat kesempurnaan Allah, keluhuran Allah sebagai Pemberi 
bekas, Pewujud, dan dengan sifat-sifat Ketuhanan. Oleh karena itu, setiap saat 
Allah melakukan suatu perbuatan. Sedangkan tasbih bumi yaitu dengan 
mengakui kelanggengan dan ketetapan Allah, serta mengakui bahwa Allah 
sebagai Pencipta, Pemberi rizki, Pendidik, Pemberi kasih sayang, serta 
memberikan pahala kepada segala sesuatu yang taat dan bersyukur 
kepadaNya, dan sejenisnya.
42Ibnu katsir dalam kitab tafsirnya dengan secara tidak langsung dia 
mengutip hadits-hadits bahwa tasbih alam dengan menggunakan bahasa 
mereka sendiri-sendiri.
43
Berbeda dengan Mahmud Yunus dalam menafsirkan ayat QS. 17: 44, 
Mahmud Yunus dalam memaknai tasbih dia lebih condong ke majazi yaitu: 
langit yang tujuh dan orang-orang yang di atasnya, semuanya bertasbih 
memuji Allah. Tetapi kamu tidak mengerti tasbihnya itu. Adapun tasbih langit 
dan bumi itu bukanlah seperti tasbih manusia, yaitu dengan lidah, melainkan 
tasbihnya itu ialah dengan hal keadaannya saja, yaitu menunjukkan atas 
adanya Allah dan kekuasanNya.
44
Pendapat Mahmud Yunus ini sama dengan pendapatnya Zaglul an-
Najjar akan tetapi zaglul dalam menerangkannya secara panjang lebar dalam 
memaknai tasbih dengan makna Majazi. Dan juga Nisywah Al-Ulwani,
Rahasia Istighfar dan Tasbih. 
Ar-Razi menjelaskan bahwa sesuatu yang hidup dan mukallaf 
bertasbih kepada Allah dengan dua cara.  Pertamayaitu dengan mengucapkan 
melalui lisan dengan ucapan “subhanAllah”.  Kedua, yaitu dengan keadaan 
masing-masing yang menunjukkan ke-Esaan Allah dan Maha Suci-Nya. 
Sedang yang tidak berakal, seperti hewan/binatang dan benda-benda mati 
hanya mampu bertasbih kepada Allah dengan cara yang kedua. Yakni, dengan 
keadaannya sebagai makhluk yang baru, menunjukkan dengan jelas tentang 
mesti adanya Allah Ta’ala ke-Esaan dan kekuasaan-Nya, serta Maha Suci dari 
kebaruan. Karena tasbih dengan cara yang pertama tidak akan berhasil kecuali 
dengan pemahaman, ilmu, kemampuan, dan pengucapan. Padahal empat hal 
tersebut tidak mungkin ada pada benda-benda mati. Sehingga ia hanya bisa
bertasbih dengan cara yang kedua. 
Tasbih langit dan bumi dalam ayat ini dipahami oleh ar-Razi dalam arti 
majazi, yakni dalam arti kepatuhannya mengikuti hukum-hukum Allah yang berlaku atasnya. Keserasian dan kecermatan ciptaan Allah itu menunjukkan 
bahwa ciptaan Allah amat sempurna dan serasi, bukan saja pada wujudnya 
atau sistem kerjanya sebagai satu kesatuan, tetapi juga dalam bagian dan 
rincian masing-masing satuan. Keserasian itulah tasbihnya.
 Menurut ar-Razi ayat ini ditujukan kepada semua manusia yang tidak 
mampu mengerti secara mendalam – sebagaimana makna  tafqahun– semua 
bukti-bukti yang terdapat pada rincian setiap ciptaan-Nya itu, atau dalam 
istilah ayat ini tidak mengerti tasbih mereka. Memang boleh jadi mereka 
memahami tasbihnya yakni keserasian yang menjadi bukti ke-Esa-an Allah – 
dalam wujudnya sebagai satu unit. Katakanlah alam raya ini sebagai satu unit 
dapat dijadikan bukti ke-Esa-an-Nya melalui wujud dan sistem kerjanya, 
tetapi bagian-bagian rinci dari alam raya tidak dapat dipahami dan  dijadikan 
oleh banyak orang sebagai bukti ke-Esa-an Allah dan kuasa-Nya. Ar-Razi 
memberi contoh dengan sebuah apel. Apel tersebut terdiri dari sekian banyak 
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari wujudnya sebagai sebuah apel. Akan 
tetapi kendati demikian, terdapat pada setiap bagian dari apel itu ciri dan sifat-
sifat, misalnya rasa, warna, aroma, dan bentuk tertentu yang kesemuanya 
secara berdiri sendiri sangat serasi dan yang dapat menjadi buktike-Esa-an 
Allah Swt. Tentu saja setiap apel dapat mengambil ciri dan bentuk yang lain. 
Dan wujudnya dalam bentuk real itu tidak mungkin terjadi tanpa ada yang 
mewujudkannya. dalam hal ini adalah Allah Swt. Rincian-rincian yang 
dimaksud tersebut tidak dapat dimengerti secara mendalam oleh manusia.
45
Ulama fiqhmengatakan ”Tasbih” adalah pengagungan tingkat 
tertinggi, yang tidak ada yang berhak untuk mendapat pengagungan seperti itu 
kecuali Allah Swt, sebagaimana halnya ibadah dan shalat yang dianggap 
sebagai puncak syukur dan pujian terhadap berbagai nikmat Allah yang tak 
terhitung jumlahnya, seperti halnya pula bahwa shalat itu ditegakkan hanyalah 
untuk Allah semata.
46
Sumber: 
37
QS. al-Isra’ : (44). Op.Cit.hlm 430
38
Hamka, Tafsir al-Azhar, Pustaka Panji Mas, JakartaJuz XV. Hlm 72-73
39
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.Lentera hati, Jakarta, 2006, cet 5. Juz 7. hlm. 472
40
Yang dimaksud sempurna ialah jauh dari segala kekurangan dan bahwa pencipta dan
penguasanya hanya Allah, dan tiada sekutu bagi-Nya
41
Manusia menggunakan lafal-lafal tertentu yang merupakan suara yang disepakati 
maknanya untuk mengungkap apa yang ingin disampaikan, dan boleh jadi juga dengan 
menggunakan isyarat tangan, kepala atau selain keduanya dari anggota badannya atau 
menggunakan tulisan atau menetapkan tanda untuk tujuan mengungkap maksud hati itu. 
Betapapun mengungkap apa yang diinginkan tidak selalu harus dalam bentuk suara.
42
Ibn ‘Arabi,  Tafsir Al-qur’an al-Karim(Beirut: Dar Yaqzah al-Arabiyah, 1968) Vol. 1, 
hlm. 717
43
Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Ringkasan Ibnu Katsir, Gema Insani, Jakarta, 2000, Juz 3. 
hlm 63
 44
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim,PT Hidakarya Agung, Jakarta, Cet 19. hlm 407-
408
45
Fakhr al-Din al-Razi,  Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Jilid 10, Dar al Kutub al-
Ilmiah, Beirut, t.th, hlm. 175
46
M. Ishom El-Saha, M.A., Saiful Hadi, S.Ag. Op.Cit. hlm.726