Hasil pemikiran yang tertuang dalam karya perdananya ini muncul sebagai respon kegelisahannya melihat fenomena pemikiran Islam yang menetapkan sekaligus menerapkan hukum di masa kini dengan menggunakan alat yang menurutnya pantas digunakan pada masa lampau. Aplikasi ini mengesankan Islam tidak lagi berstatus universal yang dinarasikan dengan shâlih li kulli zaman wa al-makân, tetapi hanya cenderung bersifat temporal dan lokal saja. Kegelisahan ini diungkapkan secara rinci oleh Syahrûr dalam beberapa poin berikut ini:
1. Tidak adanya pegangan berupa metode ilmiah objektif dari para penulis muslim. Menurut Syahrûr, mereka dalam menuliskan karya selalu dilandasi dengan sentiment dan pangalaman pribadi mereka. Dengan ini maka otomatis para penulis muslim ini lebih mengedepankan subjektifitas dan cenderung menafikan objektifitas. Para penulis muslim tidak pernah menerapkan metode ini dalam mengkaji teks-teks agama seperti ayat-ayat yang diwahyukan kepada Muhammad SAW yang disakralkan. Padahal syarat utama penelitian ilmiah adalah melakukan studi teks tanpa mengikutsertakan sentiment apapun. Dari sentiment inilah yang sangat berpotensi menjerumuskan mereka dalam keraguan.
2. Prakonsepsi yang lebih dahulu dimunculkan daripada sebuah kajian dan penelitian terhadap kasus tertentu. Salah satu contohnya posisi perempuan yang dianggap telah pas dan proporsional (sebagaimana dalam masa awal Islam) dan Islam merupakan agama yang paling adil kepada mereka. Pada sisi yang lain terutama peneliti Barat justru lebih dahulu menyimpulkan. Kedua poros ini merupakan poros yang terjebak pada sebuah situasi yang pada akhirnya tidak akan ilmiah dalam berkesimpulan.
3. Tidak diaplikasikannya filsafat humaniora dan tidak berinteraksi dengan konsep-konsep dasar teorinya.
|
Al Quran |
4. Tidak adanya teori Islam kontemporer dalam ilmu humaniora khususnya yang berhasil diperas dari ayat-ayat Alquran. Secara fungsional (jika teori ini memang telah ada) maka akan dapat melakukan Islamisasi pengetahuan dan sekaligus memantapkan kaum muslimin untuk melangkah dan berinteraksi dengan siapapun dan apapun dengan tanpa memandang apa “baju”nya. Kehampaan ini yang pada akhirnya kaum muslimin terjangkit “penyakit” yang disebut taqlîd buta yang berujung pada fanatisme mazhab dan berakhir pada kekacauan dalam ranah politik yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
5. Saat ini kaum muslim sedang mengalami krisis ilmu fikih. Mereka hanya terpaku pada warisan dari imam lima saja. Dalam hal inilah Sya hrûr akan melakukan deskontruksi sekaligus rekonstruksi sehingga akan menghasilkan baik usul fikih sekaligus fikih terapan yang sama sekali berbeda dari kelimanya.
Kegelisahan sebagai sebuah fase awal penulisan al-Kitâb wa al-Qur`ân Qirâ`ah Mu’âshirah dilaluinya pada tahun 1970-1980. Kegelisahan ini dimulai saat ia melanjutkan studinya di Dublin, Irlandia. Ketika itu ia merasa bahwa kajian keislaman yang diketahui dan didapatkannya tidak menghasilkan sesuatu yang bermakna terutama saat ia mengkaji tentang masalah “al-Dzikr”. Kesia-siaan yang ia rasakan mencakup ranah metodologis, istilah-istilah pokok, maupun pemahaman tentang risâlah dan kenabian. Ia melihat bahwasanya kajian keislaman; dulu dan kini yang ia dapatkan tidak mengalami sebuah perkembangan yang berarti. Menurutnya, hal ini dikarenkan kajian tersebut telah terjebak tradisi dalam taqlîd yang telah menggurita. Demikian halnya dalam kajian tradisi kalâm dan fiqh. Dalam ranah ilmu kalâm misalnya, secara riil telah terjebak dalam tradisi pemikiran Islam monumental dan fenomenal dua kubu besar; Asy’ariyyah dan Mu’tazilah. Sedangkan dalam kajian fiqh terjebak dalam tradisi pemikiran al-fuqahâ al-khamsah. Keadaan ini pada akhirnya menjadi ideologi dan asas yang disakralkan sehingga membunuh pembahasan-pembahasan yang bersifat ilmiah. Kegelisahan inilah yang menuntut dan membawanya pada sebuah pemikiran yang berkesimpulan bahwa sebenarnya Islam tidaklah seperti yang ada dalam kajian awal, yang bersifat taqlîdî dan terjebak dalam tradisi pemikiran pendahulunya. Keadaan ini dikarenakan generasi kini tidak dapat menghadirkan produk pemikiran yang memiliki relevansi pada masa yang dialaminya Oleh karena itu, ia menegaskan perlunya umat Islam membebaskan diri dari bingkai pemikiran yang cenderung taqlîdî.
Selanjutnya pada 1980-1986 Syahrûr bertemu dengan Ja’far Dakki al-Bab (baca: Ja’far), teman sejawatnya di Universitas Damaskus dalam sebuah organisasi etnis di Uni Soviet antara tahun 1958-1964. Dalam karir akademis Ja’far mengambil jurusan al-Lisâniyyat yang lulus doktoralnya tahun 1973 di University Moskow. Dalam pertemuan keduanya ini Ja’far menunjukkan disertasinya yang membahas teori linguistik Abdul Qâhir al-Jurjânî dan posisinya dalam konstelasi linguistik umum. Saat itu Ja’far telah mendalami otentisitas linguistik Arab dan menyimpulkan bahwa linguistik Arab merupakan bahasa otentik yang berdiri sendiri dan tidak bersumber dari bahasa Semit yang lain. Ja’far inilah yang mengenalkannya dengan pemikiran-pemikiran al-Farra`, Abû ‘Alî al-Fârisî, Ibnu Jinnî, dan Abd al-Qâhir al-Jurjânî. Pertemuan dengan Ja’far akhirnya membuahkan kesimpulan bahwasannya alfâdza khâdim al-ma’nâ (lafadz itu mengikuti makna atau lafadz merupakan manifestasi dari makna) yang berakhir pada sebuah kesimpulan bahwa bahasa Arab tidak memiliki sinonim dalam bahasa Arab. Sedangkan adanya klaim tarâduf (sinonimitas) dalam bahasa Arab adalah sebuah kebohongan. Bertolak dari hal inilah kemudian ia mengadakan kajian yang intensif terhadap mushaf dengan wajah dan gaya baru. Kajian ini baik itu berkenaan dengan istilah pokok dalam Alquran seperti: al-Kitâb, al-Qur`ân, al-Furqân, al-Dzikr, Umm al-Kitâb, al-Lauh al-Mahfûdz, al-Imâm al-Mubîn.
Simpulan baru ini akhirnya matang dalam ide Syahrûr pada Mei 1982. Setelah itu ia juga mengkaji dalam perspektif barunya terma-terma seperti al-inzâl wa al-tanzîl dan al-ja’l. Sejak 1984 Syahrûr menulis tema-tema pokok dan pemikiran utama yang disimpulkannya dari ayat-ayat al-Kitâb. Di setiap tahun; yang berakhir pada 1984 pada musim panas Syahrûr menemui Ja’far di Damaskus untuk melakukan diskusi tentang berbagai pemikiran dan ide-ide baru yang digagas Syahrûr. Diskusi ini terus berlanjut hingga tahun 1986. Fase ini menghasilkan berbagai macam pemikiran yang meskipun telah baku namun masih terpisah sehingga perlu dirangkai.
Pada tahun 1986-1990 inilah Syahrûr melakukan upaya sistematisasi dari berbagai tema-tema yang telah dikumpukannya pada fase sebelumnya. Dimulai pada musim panas tahun 1986 hingga 1987 ia berhasil menyelesaikan bab pertama yang merupakan bagian tersulit. Setelah itu diselesaikannya tema prinsip dialektika umum dan dialektika manusia pada musim panas 1988. Kemudian bersama Ja’far, Syahrûr menyempurnakan pasal pertama dari bab kedua. Tidak hanya itu Syahrûr meminta Ja’far untuk memberi pengantar dan menulis tentang makalah sederhana yang berisi rahasia linguistik Arab yang nantinya akan diterbitkan bersama buku ini. Akhirnya karya ini diterbitkan untuk kali pertama pada tahun 1990 oleh al-Ahâlî li al-Thabâ`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi` di Damaskus.
Permasalahan yang sedang mendera kaum muslimin sebagaimana diungkapkan di atas membawa Syahrûr untuk mengibarkan bendera reinterpretasi terhadap nash agar nash yang ada; khususnya Alquran agar selalu bersifat shâlih likulli zamân wa al-makân. Reinterpretasi atas ayat al-Dzikr sebagaimana yang tertuang dalam al-Kitâb wa al-Qur`ân Qirâ`ah Mu’âshirah, didasarkan pada beberapa asumsi antara lain :
1. Adanya hubungan (ta’alluq) antara kesadaran (al-wâ’i) yang melekat pada diri manusia dengan bentuk materi (al-wujûd al-madî). Berpijak pada hal ini ia menyimpulkan bahwa sesungguhnya pengetahuan manusia bersumber dari semua hal yang ada di luar dirinya (materi). Dari hal ini pula ia menolak pendapat aliran idealisme yang mengatakan bahwa “Pengetahuan manusia adalah tidak lebih dari sekadar pengulangan pikiran-pikiran yang sudah ada dalam dunia ide”. Selain menolak pendapat aliran idealisme Syahrûr juga menolak pengetahuan intuitif seperti yang dimiliki oleh ahl al-kasyf atau ahl Allâh. Asumsi ini diperkuat diperkuat dengan ayat al-Tanzîl pada QS. al-Nahl ayat 78. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur”.
2. Sesungguhnya akal yang dimiliki manusia mampu mengetahui dan menyingkap seluruh rahasia yang ada di dalam alam, hanya saja harus melalui tahapan tertentu. Bahkan sesuatu yang kosong (farâgh kauniyyan) adalah sebenarnya sesuatu yang materi. Karena sesungguhnya sesuatu yang kosong adalah bagian dari materi.
3. Pengetahuan manusia senantiasa mengalami perkembangan. Hal ini terbukti pada awalnya pengetahuan didapati dari sesuatu yang bersifat empirik-konkrit melalui indera yang dimilikinya yang berevolusi pada pengetahuan yang abstrak-teoritis. Dengan demikian, alam konkrit (materi) dan alam abstrak (immateri) keduanya bersifat materi. Sejarah peradaban dan ilmu pengetahuan yang ada di sekitar manusia merupakan ekspansi terus-menerus pada alam realitas (alam materi) dan pada saat yang sama terjadi reduksi terus-menerus pada alam metafisik (immateri). Karena itu dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang belum bisa diketahui manusia saat ini (hal-hal immateri) bukan berarti tidak bersifat materi, hanya saja perkembangan ilmu pengetahuan belum memungkinkan untuk mengetahuinya.
4. Adanya keselarasan antara pengetahuan yang didapat dari Alquran dan pengetahuan dari filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan. Karenanya, dalam kerangka ini, proses pentakwilan Alquran (salah satu bagian dari al-Tanzîl yang termasuk kategori ayat-ayat mutasyâbih) adalah merupakan hal yang urgen untuk membuktikan kebenaran ilmiah. Proses pentakwilantersebut akan lebih tepat dan proporsional bila dilakukan oleh orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan (al-râsikhûn). Hal ini dikarenakan kemampuan yang dimiliki mereka dalam mengajukan argumentasi dan data-data ilmiah, dengan tetap konsisten berpegang pada prinsip-prinsip takwil dalam linguistik Arab.
5. Adanya keselarasan antara pengetahuan yang didapat dari Alquran dan pengetahuan dari filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan. Karenanya, dalam kerangka ini, proses pentakwilan Alquran (salah satu bagian dari al-Tanzîl yang termasuk kategori ayat-ayat mutasyâbih) adalah merupakan hal yang urgen untuk membuktikan kebenaran ilmiah. Proses pentakwilan tersebut akan lebih tepat dan proporsional bila dilakukan oleh orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan (al-râsikhûn). Hal ini dikarenakan kemampuan yang dimiliki mereka dalam mengajukan argumentasi dan data-data ilmiah, dengan tetap konsisten berpegang pada prinsip-prinsip takwil dalam linguistik Arab.
6. Saya telah membangun teori ilmiah bahwa kemunculan alam semesta ini merupakan akibat ledakan besar (al-infijâr al-hâil) yang menyebabkan perubahan karakter materi. Terjadinya ledakan terakhir identik dengan ledakan pertama akan merubah kondisi dan karakter materi yang ada di dalamnya. Ledakan ini menyebabkan hancurnya alam semesta yang ada saat ini dan berganti dengan terciptanya alam baru yang memiliki kondisi dan karakter materi yang berbeda. Dengan demikian alam semesta tidak terjadi dari ketiadaan, namun dari bahan yang telah ada dan memiliki karakter tertentu. Maka, yang disebut kehidupan akhirat adalah kehancuran alam ini dan diganti dengan alam lain yang memiliki kondisi berbeda.
Berdasarkan asumsi di atas maka, Syahrûr melakukan reinterpretasi terhadap tema-tema al-Dzikr berdasarkan prinsip-prinsip berikut:
1. Memaksimalkan seluruh potensi dari karakter liuguistik Arab dengan berlandaskan kepada metode liuguistik Abû 'Alî al-Fârisî (w. 377 H./987 M.) yang tercermin dalam pandangan dua tokohnya Ibnu Jinni (w. 392H./1002 M.) dan 'Abd al-Qâhir al-Jurjâni (w. 471 H. 1078 M.), di samping juga berpegang kepada syair-syair Jâhilî.
2. Bersandar kepada produk akhir ilmu linguistik modern yang menyatakan bahwa bahasa manapun tidak memiliki karakter sinonim dan yang benar adalah sebaliknya. Sebuah kata dalam koridor sejarah akan membawa kepada pertama hilangnya kata tersebut dan kedua pengembangan dari makna aslinya dan fenomena ini ditemui Syahrûr dalam bahasa Arab. Sehingga Syahrûr menggunakan Mu’jam Maqâyis al-Lughah sebagai referensi utamanya dengan tetap tidak menafikan keberadaan kamus yang lain; terlepas digunakan dalam penelusurannya untuk menemukan arti dari redaksi ayat Alquran atau tidak.
3. Jika Alquran bersifat shâlih likulli zamân wa al-makân, maka Alquran juga diperuntukkan dan diturunkan kepada orang-orang yang berada pada abad 20 ini. Dengan relevansi ini hendaknya orang-orang yang ada di abad 20 ini mengambil posisi layaknya orang-orang yang telah diajar Alquran (baca: sahabat) oleh Nabi Muhammad SAW dan baru saja ditinggal wafat.
4. Alquran secara utuh diperuntukkan kepada manusia. Karena hal inilah maka, apa yang ada di dalam Alquran dapat difahami sesuai dengan kemampuan akal. Dengan lisân Arabiyyîn Mubîn (bahasa Arab) sebagai media transmisinya maka sesungguhnya Alquran tidak ada kontradiksi dengan pemikiran. Karena hal ini Syahrûr menolak jika ada yang mengungkapkan bahwa ayat-ayat Alquran tidak dapat difahami karena pemahaman Alquran selalu bersifat relatif, historis dan temporal.
5. Allah meninggikan posisi akal sebagaimana yang dinarasikan dalam firman-Nya. Asumsi ini didasarkan kepada pertama tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu dan kedua tidak ada pertentangan antara wahyu dan realitas yang berupa kebenaran informasi dan rasionalitas penerapan hukum.
6. Allah meninggikan posisi akal maka begitu pula saya (Syahrûr). Karena saya lebih menghargai akal pembaca daripada gejolak emosinya.
Asumsi utama Syahrûr yang dijadikan landasan dalam pembacaannya adalah asumsi universalitas Alquran. Asumsi ini berimplikasi bahwa permasalahan yang terjadi pada masa kontemporer atau bahkan pada masa kapanpun akan tetap dapat dijawab oleh Alquran. Jawaban dari Alquran akan ditemukan selama seorang mufasir melakukan pendekatan kontekstualisasi penafsiran terus-menerus seiring dengan semangat dan tuntutan era; misalnya pada era kontemporer di mana ia hidup. Asumsi ini sebenarnya telah ada dan juga difahami semenjak tradisi penafsiran klasik. Namun asumsi ini dalam masa itu difahami dengan cara sedikit “memaksakan” konteks apapun ke dalam teks Alquran. Dengan metode seperti ini maka, pemahaman yang dihasilkan akan cenderung tekstualis. Terlepas dari adanya motif dan tendensi terhadap kepentingan tertentu asumsi di atas memang sangat rasional. Dari asumsi di atas sedikit memberi gambaran bagaimana seorang Syahrûr memposisikan rasionya. Dari sisi ini nampak bahwa ia seorang yang sangat rasionalis dan memiliki kesamaan dengan kalangan Mu’tazilah. Bahkan tidak menutup kemungkinan ia seorang Mu’tazilah kontemporer; sungguhpun dalam kata pengantarnya Mu’tazilah diklaim sebagai sebuah warisan dari tradisi yang pernah ada (al-turâts) yang perlu dikritisi dengan mendalam.
Selain berdasar pada beberapa keempat asumsi di atas, Syahrûr dalam melakukan reinterpretasi berpijak pada beberapa landasan filosofis, antara lain:
1. Kainûnah yang merupakan derivasi dari kata kâna berarti berada atau kondisi berada (being).
2. Sairûrah yang merupakan derivasi dari kata sâra yang bermakna berjalan atau perjalanan sejarah atau kondisi berproses.
3. Shairûrah yang merupakan derivasi dari kata shâra yang bermakna kondisi menjadi (becoming).
Ketiga istilah ini saling terkait satu sama lain dan selalu menjadi landasan inti dalam kajian apapun dalam filsafat. Dari ketiga terma tersebut menunjukkan masalah-masalah ke-Tuhanan, alam dan manusia sebagai eksistensi akan selalu mengalami kondisi berada (kainûnah) yang tak lepas dari perjalanan masa (sairûrah) sebagai kondisi berproses yang terus-menerus mengalami perkembangan dan perubahan dalam tiap tahapannya dan karenanya selalu mengalami “kondisi menjadi” (shairûrah sebagai tujuan). Singkatnya sesuatu yang berada pasti terikat dengan dimensi waktu. Keterkaitan dengan dimensi waktu inilah yang disebutnya sebagai sairûrahatau proses. Kemudian mengadakan perkembangan untuk menjadi sesuatu yang menjadi shâra. Kejumudan terjadi jika hanya mengalami “kondisi berada” dan “kondisi berproses” atau hanya mengalami “kondisi berada” yang hanya dimiliki Tuhan dan karena itu mengapa Allah berfirman dalam ayat Alquran “segala sesuatu pasti akan binasa kecuali Allah” (al-Qashas:88).
Ketiga landasan sebagaimana diungkapkan di atas juga memiliki pemaknaan bahwa bagaimanapun keadaan “sesuatu” pasti terikat oleh dimensi waktu. Karena hal ini maka sadar dan kemauan mengkroscek kesejarahan merupakan sebuah piranti yang tepat untuk membedah esensi dari sebuah objek. Piranti yang digunakan dalam pemahaman sebuah objek ini merupakan bagian dari sairûrah. Dalam konteks pemahaman Alquran piranti ini disebut sebagai tafsir dan ilmu tafsir. Dengan mengapliksikan ketiga landasan tersebut bisa jadi tafsir dan ilmu tafsir telah “menjadi” pada masa tertentu. Sehingga pada masa yang berbeda tidak mustahil diperlukan adanya pembacaan ulang agar apa yang telah “menjadi” pada masanya akan juga bisa diaplikasikan pada masa yang berbeda dengan sedikit modifikasi dan tanpa merubah esensi dan pesan yang termuat dalam objek tersebut. Syahrûr memposisikan tafsir adalah sebagai produk dari pemikiran sekaligus peradaban yang bersifat relatif dan tentatif (ijtihâdî). Karena hal inilah pembacaan ulang serta reformasi dari visi dalam memandang Alquran sangat diperlukan. Menurutnya dalam memahami Alquran hendaknya Alquran diposisikan sebagai wahyu Allah yang seolah-olah baru saja diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan nabi seolah baru saja wafat. Implikasi teoritis dari pandangan ini adalah bahwa kita atau siapapun yang hidup pada era kontemporer perlu menggunakan perangkat keilmuan kontemporer dalam memahami Alqurantanpa terbebani secara psikologis dan teologis oleh karya tafsir klasik.
Landasan filosofis sebagaimana dipaparkan di atas membuat seorang Syahrûr yang belajar ilmu-ilmu keislaman secara otodidak semakin percaya diri untuk melakukan proyek besarnya. Meskipun demikian bukan berarti ia tidak memiliki kompetensi sama sekali dalam kajian keislaman; khusunya dalam diskursus ilmu tafsir. Fakta mencatatnya sebagai seorang yang dengan berbekal kemampuan teknik dan eksakta serta kemampuan linguistik justru berhasil menelurkan sebuah metodologi yang terbilang baru dalam teori intrepretasi al-Tanzîl yang disebut dengan teori batas (nadzâriyyah al-hudûd).
Sebelum mencapai pada sebuah simpulan penafsiran yang terepresentasi dalam teori batas terlebih dahulu Syahrûr mendekati ayat-ayat yang hendak ditafsirkannya dengan berpijak pada beberapa metodologi, antara lain :
1. Analisis linguistik semantik yang ia sebut dengan manhaj al-tarikhî al-‘ilmî.
2. Penerapan ilmu-ilmu eksakta modern, seperti matematika analitik, teknik analitik, dan teori himpunan.
Berkaitan dengan bentuk linguistik ia menggabungkan metode linguistik yang diusung oleh Ibnu Jinnî (diakronik) dan Abd al-Qâhir al-Jurjânî (sinkronik) yang tersimpulkan dalam madzhab linguistiknya Abû ‘Alî al-Farisî. Mazhab linguistik Abû ‘Alî al-Farisî memiliki beberapa karakteristik pertama, bahasa adalah bentuk sistem, kedua, bahasa merupakan fenomena sosial dan ketiga, kesesuaian antara bahasa dan pemikiran. Dari ketiga hal tersebut maka Syahrûr berkesimpulan dalam bahasa Alquran (Arab) tidak ada sinonim. Simpulan ini berkonsekwensi untuk selalu menggunakan dan membuatnya menjadikan Mu’jam Maqâyis al-Lughah karya Ibnu Fâris sebagai rujukan wajibnya meskipun tidak menafikan kamus kebahasaan yang lainnya.
Dengan berpegang terhadap prinsip al-Fârisî maka, Syahrûr mengkonstruk prinsip metode penafsiran terkait dengan kebahasaan sebagai berikut:
1. Ada keterkaitan antara ucapan, pemikiran dan fungsi bahasa sebagai alat penyampai gagasan.
2. Bahasa sebagaimana pemikiran, tidak tumbuh sekaligus dengan sempurna (sinkronik). Awalnya pemikiran hanya bersifat indrawi dan personifikasi kemudian menjadi bersifat abstrak. Sedang bahasa awalnya hanya untuk mengungkap hal yang terindra kemudian terabstraksikan dalam tata bahasa (nahwu dan sharf).
3. Mengingkari sinonimitas. Konsep ini berimplikasi kepada adanyaredefinisi terhadap sejumlah terma yang selama ini dianggap memiliki artiyang sama (ber-sinonim). Misalnya kata al-kitâb didefinisikan berbeda dengan kata alquran dan al-furqân, begitu pula kata inzâl dan tanzîl serta beberapa terma yang lain.
Dalam hal menganalisis makna ayat-ayat dalam Alquran Syahrûr berusaha untuk konsisten dengan teori yang telah dipaparkan di atas. Dalam pemaparan penafsiran ayat-ayat Alquran Syahrûr menggunakan metode al-tartîl atau intratektualis.Metode ini dalam istilah ilmu tafsir konvensional dikenal dengan tafsir tematik (tafsîr maudhû’î). Sedangkan dalam ilmu linguistik, metode ini dikenal dengan istilah “sintagmatik-paradigmatik”.Sintagmatik adalah konsep yang berpandangan bahwa satu kata mempunyai hubungan linier yang bisa menjelaskan kata-kata di sekelilingnya sehingga jika posisinya berubah akan mempengaruhi makna. Sedangkan analisa paradigmatik adalah hubungan kata yang dipilih untuk diucapkan dan kata yang tidak terpilih untuk diucapkan.
Bertolak dari beberapa metodologi sebagaimana diuraikan di atas, peneliti berasumsi bahwa sesungguhnya hingga kapanpun dan di manapun al-tanzîl al-hâkim akan selalu relevan dan bersifat universal, serta tidak pernah usang kandungannya. Ke-universalan muncul karena kajian hanya terbatas pada teks saja yang berarti kajian ini bersifat ahistoris. Kajian ahistoris sebagaimana yang diterapkannya berfungsi agar ayat-ayat Alquran tidak dibatasi dengan budaya, kepentingan yang menyelinap dalam sabâb nuzûl ayat. Karena pada dasarnya struktur penyusun ayat yang terbangun secara sistemis dan sistematis telah cukup untuk menghasilkan makna yang utuhtanpa harus disisipi oleh kepentingan yang termanifestasikan dalam asbâb al-nuzûl.